Ini adalah foto yang paling aku sukai. Foto lawas pernikahan kami, terpajang dalam pigura syang indah di dinding ruang tamu. Aku tak pernah bosan memandangi tawa di wajah kekasih hatiku di foto ini. Sejak awal kami bertemu, tak ada hal yang aku inginkan selain membuatnya bahagia. Aku rela melakukan apapun demi melihatnya tersenyum dan tertawa. Hanya ada tiga perempuan yang pernah mengisi hidupku dan istriku adalah yang paling aku cintai.
Baru tadi pagi dia pergi untuk menjadi pembicara di sebuah instansi yang mengundangnya, sekarang aku sudah merindukannya. Aku tak sabar ingin bertemu dengannya. Sore ini kami berjanji bertemu di sebuah taman kota sekitar sepuluh menit perjalanan dari rumah kami. Sebenarnya aku ingin ke tempat yang lebih bagus, hanya saja aku tidak mampu melakukan perjalanan jauh tanpa menjadi sangat kelelahan. Efek dari kecelakan waktu itu baru terasa setelah fisikku mulai renta. Aku tak ingin sakit-sakitan sehingga dia harus merawatku, terutama di hari ini.
Pertama sekali aku bertemu dengannya aku langsung terpana dengan pesonanya. Saat itu bagian CSR di kantorku bekerja sama dengan yayasan tempatnya bekerja untuk membuat program sosial untuk anak. Dia datang sebagai perwakilan yayasan tersebut. Dia memang cantik alami. Wajahnya syahdu dan polos, bibirnya yang kemerahan membuat kulitnya yang putih tidak terlihat pucat. Pakaiannya juga sederhana saja tapi cocok sekali dengan dirinya. Tatapan matanya sendu namun waspada sekali. Rambutnya yang tidak terlalu panjang dikuncir ekor kuda, ada bagian rambut tipis yang tertinggal di dahi, pelipis dan tengkuknya. Langkahnya gesit sekali. Setiap dia berjalan cepat kuncir rambutnya akan bergoyang. Dari sisi manapun aku tidak dapat menemukan cacatnya. Bagiku ia seperti bidadari yang tersesat di belantara bumi yang fana.
Dari paras wajahnya aku yakin usianya masih sangat muda. Namun pola pikirnya matang sekali, lebih matang dibandingkan perempuan yang sebaya denganku. Dia benar-benar membuatku penasaran. Aku mulai mencari tahu tentangnya.
Ternyata ia masih mahasiswa yang juga sedang bekerja di yayasan yang aktif memperjuangkan isu-isu kesejahteraan dan pengasuhan anak. Yang lebih mengejutkan lagi, dia tinggal di shelter yayasan sejak enam tahun yang lalu. Dia menjadi salah satu pengurus shelter yang bertugasnya mendampingi dan mengajar anak-anak yang ditampung di sana. Empat tahun yang lalu? Apa dia juga salah satu anak yang ditampung di shelter? Kemana orang tuanya?
Aku terus mendekatinya. Dia gadis yang menyenangkan dan mampu membuat orang lain nyaman berada di dekatnya. Akan tetapi, mendapatkan hatinya bukanlah persoalan mudah. Dia tidak mau mengekspresikan perasaannya atau sekedar bercerita tentang kehidupan pribadinya. Aku membawanya ke tempat-tempat bagus dan menghujaninya dengan hadiah-hadiah. Semua hadiah itu dikembalikannya.
Sekian tahun kami berteman, aku sudah mengenal kebiasaannya dan aku menghormati privasinya. Dia pun mulai nyaman denganku dan pelan-pelan mulai membuka diri. Masa kecilnya penuh dengan kekerasan yang dilakukan oleh orang tuanya. Ayahnya yang berwatak keras dan kasar membuat ibunya tidak tahan dan berselingkuh dengan lelaki lain. Kemudian ibunya pergi bersama lelaki itu dengan hanya membawa adiknya. Hidup berdua dengan ayah yang kasar seperti berada di neraka dunia. Namun nasibnya baik, ia bertemu dengan seseorang yang bekerja di bidang perlindungan anak. Mendengar kisah hidupnya, dia dibantu untuk lepas dari dari ayahnya. Kemudian dia dibawa ke sebuah yayasan dan diijinkan tinggal di shelter. Setelah itu hidupnya mulai membaik. Setelah menyelesaikan sekolahnya, dia  bekerja menjadi pengurus shelter. Pihak yayasan juga mencarikan sponsor untuknya agar dapat melanjutkan studi.
Berbeda dengannya, aku adalah anak tunggal yang tidak pernah kekurangan materi maupun kasih sayang dari orang tua. Masa kecilku sangat bahagia. Orang tuaku sangat perhatian dengan kebutuhan dan pendidikanku sehingga aku tumbuh menjadi pemuda yang percaya diri. Mereka lama memiliki anak karena ibuku kurang subur. Aku baru lahir di tahun ke sembilan pernikahan mereka. Kami menjalani kehidupan yang membahagiakan. Lulus kuliah aku langsung mendapatkan pekerjaan bagus di perusahaan bonafit di ibu kota. Ayahku meninggal dunia karena penyakit menahun tak lama setelah aku mendapatkan pekerjaan.
Karirku sangat lancar dan penghasilanku tinggi. Aku membeli sebuah rumah yang lebih besar dan nyaman, lalu mengajak ibuku pindah. Ibuku tidak pernah memaksakan keinginannya padaku. Hanya saja, ibuku selalu mengingatkanku untuk mencari pasangan hidup mengingat aku sudah cukup usia dan mapan. Aku tidak pernah membantah kata-kata ibuku, namun aku tidak menginginkan perempuan yang lain. Walaupun harus berusaha sampai puluhan tahun, aku tetap hanya ingin dengannya.
Butuh tujuh tahun bagiku untuk dapat meluluhkan hatinya. Ibuku sangat senang saat kubawa menantunya tinggal bersama di rumahku. Aku sangat menikmati kemenangan itu. Tahun ketiga pernikahan kami, aku mulai menyadari bahwa aku sama seperti ibuku. Aku perlu menjalani berbagai perawatan untuk dapat memiliki anak. Namun, aku tetap yakin jika ibuku yang hidup di jaman dulu saja bisa punya anak, maka aku pun demikian.
"Mungkin Tuhan menganggapku tidak pantas jadi ibu," kata-kata istriku menggoyahkan kepercayaan diriku. Dia malah menyalahkan dirinya sendiri. Pengalaman dan perlakukan buruk dari orang tuanya di masa kecil tidak hanya membuatnya takut berkeluarga. Dia juga takut tidak mampu menjadi orang tua yang baik bagi anak-anaknya sendiri. Hatiku perih melihatnya nelangsa seperti itu. Aku meyakinkannya bahwa kami pasti akan memiliki anak. Uang tak menjadi soal buatku.