Mohon tunggu...
Devira Sari
Devira Sari Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis

Saya adalah Psikolog yang menyukai dunia tulis menulis dan Sastra. Tarot Reader. A Lifelong Learner. INFJ-A. Empath. Sagittarian.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Reminisensi

10 Juli 2021   10:00 Diperbarui: 10 Juli 2021   10:16 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tahun ke tujuh pernikahan, putri kecil kami lahir dengan sehat dan cantik seperti ibunya. Lengkap sudah keluarga kecil kami. Aku, dia, ibuku, dan gadis kecil kami hidup bahagia bersama. Merekalah tiga perempuan dalam hidupku, nyawa hidupku. Tiada hari tanpa tawa di rumah kami. Namun, kecelakaan itu mengubah segalanya. Di malam yang naas, aku membawa istri dan anakku keluar. Aku tidak menyadari ada truk besar yang oleng dan menabrak mobil kami dari sebelah kanan. Gadis kecilku yang duduk di belakang terlempar keluar jendela dan tewas seketika. Aku mengalami patah berbagai tulang dan koma selama satu bulan. Istriku cukup parah, namun ia selamat dan sudah berangsur pulih saat aku sadar dari koma. Ibuku merawat kami berdua saat masih di rumah sakit. Ibuku juga yang mengurus pemakaman gadis kecilku.

Kesadaranku bukanlah hal yang kusukuri. Aku sulit menerima kenyataan bahwa gadis semata wayangku yang masih berusia enam tahun itu, yang kehadirannya begitu kami nantikan, sudah tiada. Setiap hari aku juga harus menyaksikan kantung tebal di bawah mata ibuku yang menangis setiap malam. Istriku tampak kelelahan mengurusi segala hal termasuk merawatku yang nyaris tak bisa bergerak. Semua itu akulah penyebabnya. Kurasakan harga diri dan kepercayaan diriku sebagai lelaki hancur seketika.

Aku tidak lagi bekerja dan biaya perawatan medis yang besar membuat kondisi finansial kami menurun drastis. Kami menjual rumah dan pindah ke rumah sederhana orang tuaku yang sempat ibuku sewakan pada anak teman kantornya. Aku menjalani fisioterapi selama dua tahun. Istriku dengan sabar dan telaten merawatku.

Suatu hari aku benar-benar frustrasi dengan kelemahanku. Aku memintanya pergi agar dia dapat menemukan kebahagiaanya. Usianya yang sudah menginjak kepala empat tidak melunturkan kecantikannya. Dia tidak akan sulit menemukan lelaki yang pantas dan mampu membahagiakannya. Dia tidak merespons pertanyaanku dan terus melakukan kegiatannya : merawatku, bekerja, menerima undangan menjadi narasumber, mengurus rumah. Dari hari ke hari tak pernah kudengar keluhan keluar dari mulutnya. Pelan-pelan kondisiku membaik. Dia menyemangati dan membantuku agar mendapatkan pekerjaan baru.

Aku diterima bekerja di sebuah perusahaan swasta di bagian pelatihan dan pendidikan. Setelah lolos dari maut dan menjalani perawatan panjang, fisikku tidak lagi sekuat dulu. Namun otakku dan pengetahuanku masih baik. Aku masih bisa mengajar dan menulis sesuai dengan bidangku. Karirku biasa-biasa saja. Berbeda dengan istriku yang semakin banyak dikenal dan dicari orang. Tidak ada yang meragukan dedikasinya terhadap pekerjaannya.

"Aku tidak ingin ada lagi anak-anak yang mengalami kehidupan seperti kehidupan masa kecilku," begitu yang selalu dikatakannya. Betapa berat pengalaman hidupnya dulu. Aku sering memandangi wajahnya saat ia tidur. Aku hanya ingin membahagiakannya, dan aku telah gagal.

Ibuku yang sudah tua menjadi sangat lemah dan mudah sakit-sakitan. Lagi-lagi istriku dengan sabar dan telaten merawat ibuku, dengan tetap mengerjakan rutinitasnya. Kami hanya mampu membayar seorang asisten rumah tangga setengah hari yang bertugas memasak dan menjaga ibuku saat kami aku dan istriku bekerja.

"Tidakkah kamu menyesal menikah denganku? Mengapa kamu masih bertahan?" Entah sudah berapa kali kutanyakan hal ini padanya. Tak sekalipun ia memberikan jawaban. Dia pasti akan pergi atau mengalihkan pembicaraan seolah-olah aku tidak menanyakan apapun.

Ibuku tutup usia dan aku pun sudah pensiun dari kantor tempatku bekerja. Kami sepakat untuk pindah ke kota yang lebih tenang dan menikmati masa tua di sana. Kami menjual rumah di ibu kota dan membangun rumah baru di tempat baru. Pagi itu, istriku meletakan surat yang ditujukan untukku di meja. Aku membaca tulisan tangannya dengan seksama. Jantungku berdegub kencang membaca setiap kalimatnya yang mendeskripsikan perasaan-perasaannya selama hidup denganku. Di paragraf terakhir ia menuliskan,

"...Aku tidak suka kamu selalu menanyakan hal itu. Namun aku akan menjawabnya supaya kamu tidak perlu bertanya terus. Aku tidak meninggalkanmu karena kamu tidak pernah meninggalkanku. Aku tidak menyerah padamu karena kamu tidak pernah menyerah padaku. Lebih dari itu kamu telah memberikanku apa yang tidak pernah aku miliki seumur hidupku. Sebuah keluarga yang bahagia. Bagiku itu sudah berlimpah. Aku tidak membutuhkan hal yang lain lagi."

Di suratnya terlampir foto keluarga yang kami ambil sekitar dua minggu sebelum kecelakaan maut itu. Fotoku bersama ketiga perempuan yang kucintai. Kami memang keluarga yang sangat bahagia. Hatiku terasa ringan. Kucari istriku dengan berlari kecil dan sedikit terpincang karena aku melupakan tongkatku. Sejak kecelakaan itu aku memang menggunakan tongkat untuk membantuku berjalan karena pijakan kaki kananku tidak ajeg. Kulihat dia sedang sibuk mengatur barang-barang yang hendak diberangkatkan oleh kargo. Aku mendekatinya dan memeluknya erat. Begitu eratnya seperti aku tidak ingin melepaskannya, selamanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun