Mohon tunggu...
Devira Sari
Devira Sari Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis

Saya adalah Psikolog yang menyukai dunia tulis menulis dan Sastra. Tarot Reader. A Lifelong Learner. INFJ-A. Empath. Sagittarian.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sulthan

26 Juni 2021   10:00 Diperbarui: 27 Juni 2021   06:28 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Love and pain always come together. It can hurt you and it also can heal you," 

Nasihat yang paling aku ingat darinya, Si Aneh itu. Kata-katanya selalu benar. Bahkan hingga kini, di saat aku sendirian, kegetiran itu selalu datang merayap perlahan di dada hingga melelehkan air mataku.

Sulthan, sahabat karibku, lelaki kutu buku, misterius, penyendiri, dan bisa dibilang aneh. Dia punya kebiasaan aneh dan punya kemampuan yang aneh pula. Secara fisik dia biasa saja, untuk standarku. Matanya sangat dalam dan sering terlihat seperti menerawang jauh sekali. Dia hanya berkutat dengan hal-hal yang diminatinya, terlalu pendiam, dan tidak suka berinteraksi sosial. Dia seperti memiliki dunia dan 'teman-temannya' sendiri, dan dia nyaman berada di sana. Namun, dia juga sangat cerdas. Kecerdasannya sudah diakui dimana-mana dengan berbagai penghargaan dan hak paten.

Dua puluh tahun lalu, ia pindah ke SMA tempat aku bersekolah. Kami berada di kelas dan meja yang sama. Bukan suatu kebetulan, bukan pula kemauanku. Tak ada yang tahan duduk semeja dengannya atau sekadar menjadi teman satu kelompoknya. Orang-orang tidak nyaman dengan tatapan matanya yang terkesan menyepelekan. Dengan terang-terangan dia mengatakan pada guru bahwa dia tidak mau dekat-dekat dengan manusia yang tolol. Dia tak butuh bantuan atau interaksi personal dengan siapa pun. Semua tugas sekolah mampu dikerjakannya sendiri. Si Aneh itu hanya kooperatif jika dibiarkan sendirian. Jika didekati, sikapnya akan sangat buruk dan bisa membuat geger satu sekolah. Bukan, bukan itu alasan dia berpindah-pindah sekolah. Sekolah-sekolahnya dulu berusaha mempertahankannya dengan berbagai iming-iming. Hal ini karena dia memiliki banyak prestasi. Selain ketololan, kebosanan adalah hal yang paling tidak dapat dia toleransi. Aku tak tahu mengapa, hanya denganku dia tidak banyak bertingkah. Begitulah, kami mulai dekat dan bersahabat.

Kami melewati banyak hal bersama. Lulus sekolah, kami kuliah di kampus yang sama. Kemudian pindah ke kota yang sama untuk meniti karir di bidang masing-masing. Entahlah, aku merasa dia selalu mengikuti kemanapun aku pergi, meskipun dia tidak pernah menyatakannya. Aku pun tidak pernah menanyakannya.

Dia tidak banyak bicara, namun bisa menjadi sangat bijak memberikan nasihat selevel orang-orang tua yang sudah memakan asam garam kehidupan. Dia juga tidak pernah melarangku dekat dengan siapa pun atau pergi kemanapun yang aku inginkan. Hanya saja dia selalu memberikan pandangan tentang mereka, apa yang akan terjadi jika aku memilih keputusan A, apa yang terjadi jika aku pergi dengan si B, siapa yang akan aku temui di lokasi C, dan apa yang harus aku lakukan jika hal tertentu terjadi padaku. Dia menjelaskan secara singkat dan jelas dengan wajah serius sehingga aku tak punya nyali untuk membantahnya. Dan, semuanya benar-benar terjadi. Herannya, aku selalu selamat setelah mengikuti saran-saran yang pernah diberikannya. Darimana dia mengetahui itu? sering kali aku tanyakan padanya soal ini. Dia hanya memandangku datar dan berkata, "Dari bisikan semesta." Oh, baiklah, jadi semesta berkonspirasi dengannya?

Sulthan, sahabat yang selalu setia berada di sisiku dan melindungiku. Menemaniku menangis berjam-jam, mendengarkan ide dan imajinasiku yang sering kali tidak realistis, memberikan peringatan dan solusi. Dia selalu ada di saat yang tepat. Semakin aku dekat dengannya, semakin aku membutuhkannya. Semakin aku mengenalnya, semakin aku mengaguminya. Aku tidak tahu apakah dia mengetahui perasaanku atau tidak. Aku tak pernah benar-benar paham apa yang ada di dalam pikirannya. Dia terlalu misterius. Mungkin saja dia mengetahuinya. Ah... pastilah dia mengetahuinya. Namun, orang sepertinya tidak membutuhkan teman, apalagi romansa. Dia tidak pernah cemburu, tidak pernah pula berusaha menyentuhku, dia tidak pernah meresponsku.

"Cinta memang sesakit ini, ya?" tanyaku di sela-sela isak tangis dan suara sesegukan setelah putus dengan salah satu kekasihku. "Kenapa aku selalu jatuh cinta pada orang yang menyakitiku?"

"That's not the pain of love. That's the pain of stupidity," katanya dengan wajah yang sengaja dibuat jenaka, meski tidak pas. Tahu apa si Aneh ini tentang cinta? Teman saja dia tidak punya. Tapi dia benar, dia selalu benar. Aku tidak jenius seperti dirinya, kecerdasanku biasa saja. Mungkin itulah yang membuatku sulit memahami isi pikirannya. Itu pula mengapa aku sering kali salah dalam mengambil keputusan.

"Kenapa kamu biarkan aku terluka berkali-kali? Kalau kamu sudah tahu apa yang akan terjadi, kenapa kamu tidak mencegah semuanya? Kenapa tidak kamu ceritakan padaku apa yang disampaikan semesta padamu?" cecarku dalam keputusasaan akibat ketidakpekaannya.

"Kamu harus melewatinya, supaya kamu belajar. Supaya kamu menjadi perempuan dewasa yang cerdas dan kuat. Tugasku adalah menjamin keselamatanmu, tapi tetap kamu yang harus menghadapinya sendiri. Suatu saat nanti, saat kamu sudah siap, kamu akan bertemu dengan orang yang ditakdirkan untukmu. Dia lelaki hebat, lelaki hebat tidak akan memilih perempuan naif dan lemah untuk menjadi pendampingnya," seperti biasanya, dia selalu bersikap tenang dan menjelaskan dengan pelan meski aku sudah sangat emosional.

"Oh...jadi kamu sudah tahu siapa yang ditakdirkan untuk menjadi pendamping hidupku?" melihatnya begitu tenang membuatku semakin frustrasi.

"Tentu saja aku tahu. Lelaki yang ditakdirkan untukmu adalah seorang lelaki baik yang punya tanggung jawab besar terhadap kesejahteraan orang banyak. Kamu akan bertemu dengannya setelah kamu matang dan siap. Dia akan menyayangimu dan memperlakukanmu dengan sangat baik. Tapi waktunya lebih banyak habis untuk mengurusi pekerjaannya daripada untukmu. Kamu sangat menghormatinya dan kamu akan hidup bahagia bersamanya." Dia berbicara dengan lancar dan yakin. Ada jeda sejenak sebelum ia melanjutkan, "Hanya saja, kamu tidak akan pernah bisa mencintainya."

"Loh, kenapa?" keningku mengernyit mendengarkan skenario omong kosong itu.

"Kamu yang paling tahu jawabannya," matanya melembut dan berubah serius.

Hening merajai masa. Aku tak mampu mendeskripsikan apa yang sedang bekecamuk dalam dadaku. Kesal, frustrasi, segala macam emosi campur aduk. Aku benci kenyataan bahwa sampai saat ini aku masih tidak mampu membaca isi pikirannya.

 

"Kenapa bukan sama kamu saja?" kuberanikan diri untuk bertanya. Bertahun-tahun kami bersahabat, dia selalu menemaniku, menjagaku, menasehatiku, dan datang di saat aku membutuhkan. Hanya satu kalimat yang ingin aku dengar darinya.

"I'm not destined to be your husband. I am destined to be your guardian," dia mengakhiri perdebatan kami dan beranjak pergi dari ruangan itu.

Sekian tahun kemudian, aku bertemu dengan lelaki itu, persis seperti yang dideskripsikannya. Sahabatku, yang selalu berada di sisiku dan menjagaku selama ini, melepaskan genggaman tanganku untuk digenggam lelaki lain. Di hari pernikahanku, dia tampak sangat tampan dengan setelan formal dan rapi, tidak seperti gayanya di keseharian. Kulihat dia dari kejauhan, mata kami beradu dan dia tersenyum padaku. Senyum yang membuatku tidak nyaman. Jauh di lubuk hatiku, aku ingin dirinya lah yang berada di sampingku saat itu.

Kurasa kecerdasanku memang tidak cukup untuk memahami maksud semesta. Berita pagi itu benar-benar mengguncang hidupku. Dia pergi. Sahabatku, guardian-ku, meninggalkanku selama-lamanya. Seketika kurasakan robekan besar di jantungku namun sayangnya tak cukup parah untuk mencabut nyawaku. Sungguh, aku ingin meraungkan kemarahanku ke langit dan menghujat takdir atas segala kesedihanku.

Duniaku runtuh namun hidup terus berlanjut. Aku tak menyangka bisa sekuat ini dan dapat bertahan dengan luka hati yang begitu dalam. Si Aneh itu lagi-lagi benar. Aku sangat beruntung, suamiku orang baik yang menolong banyak orang dan punya perasaan tulus padaku. Menjadi istri seorang pejabat negara memang membutuhkan mental yang luar biasa kuat. Aku tak tahu apakah ini kerinduan mendalam ataukah ketergantungan. Aku memang sebodoh itu, tidak pernah tahu apa-apa. Dalam kegamanganku, batinku meronta memanggil-manggil namanya. Dan di sana lah dia, berdiri di hadapanku, dengan penampilannya yang santai dan tenang, seperti biasanya.

"I'm sorry. I never meant to hurt you."

"Buat apa kamu kemari?"

"I'm your Guardian. I must make sure that you are safe."

"Aku tak mengerti tentang takdir. Tapi kenapa kamu lakukan semua ini?"

Dia menatapku dalam. Tatapan mata yang biasanya terkesan menyepelekan itu berubah sendu.

"Because, I love you."

Masa seakan terhenti. Getar halus di dadaku membuatku bergeming. Terasa hangat. Tanpa kusadari air mataku luruh berderai, membasuh semua luka yang pernah ada. Sulthan, cinta sejatiku yang tidak ditakdirkan untuk bersamaku. Bahkan setelah perpisahan yang menyakitkan, ia tetap menjadi guardian-ku. Ternyata takdir bisa sebegitu keterlaluannya dalam bercanda.

TAMAT

Devira Sari

17 November 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun