Mohon tunggu...
Devira Sari
Devira Sari Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis

Saya adalah Psikolog yang menyukai dunia tulis menulis dan Sastra. Tarot Reader. A Lifelong Learner. INFJ-A. Empath. Sagittarian.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kalau Dibully, Jangan Membully

2 September 2020   12:50 Diperbarui: 2 September 2020   12:50 568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"if someone treats you badly, just remember that there is something wrong with them, not you. Normal people don't go around destroyong human being." (anonim)

Orang-orang seperti apa sih yang rentan terhadap bullying? Biasanya orang-orang yang dipilih untuk dibully memiliki ciri tertentu yang harus dikalahkan supaya (tetap) berada di bawah. Ciri-ciri orang yang menjadi target bullying antara lain :

1. Posisinya berada di bawah si pembully, seperti junior di sekolah, subordinat (bawahan), adik, istri.

2. Memiliki kekurangan atau masalah fisik/psikis, seperti kurang percaya diri, berasal dari keluarga bermasalah, punya cacat fisik, punya gangguan psikologis, tubuh yang kecil dan ringkih, cengeng.

3. Orang yang lebih suka menyendiri, sedang berjalan seorang diri, tinggal sendirian (jauh dari keluarga).

4. Memiliki kelebihan yang begitu menonjol sehingga dianggap pembully sebagai ancaman.

Selain empat poin di atas, orang yang mudah tersinggung juga sering melaporkan dirinya mengalami bullying, walaupun tidak ada bukti ataupun saksi yang menyatakan bullying telah terjadi.

Dampak dari bullying bermacam-macam seperti peningkatan risiko depresi dan kecemasan, dan risiko lebih tinggi untuk memiliki pikiran bunuh diri dan melakukan tindakan bunuh diri. Ada sebuah penelitian yang menarik dari JAMA Psychiatry (baca postingan sebelumnya tentang dampak jangka panjang bullying) yang menunjukkan efek jangka panjang dari bullying. Penelitian ini dilakukan selama 17 tahun terhadap tiga kelompok anak antara lain : kelompok anak yang dibully, kelompok anak yang membully, dan kelompok anak yang memainkan kedua peran (korban bully yang menjadi pembully). Studi ini benar-benar ditindaklanjuti sampai mereka tumbuh dewasa, dan dilihat apa yang sebenarnya terjadi dari waktu ke waktu.

Hasil penelitian membuktikan bahwa efek dari bullying adalah langsung, pleiotropik, dan bertahan lama, dengan efek paling parah dialami mereka yang menjalankan kedua peran (korban yang menjadi pembully). Jelas ya...efek paling parah dialami oleh korban yang juga membully.

Bahkan setelah mengendalikan variabel-variabel tertentu seperti gangguan kejiwaan masa kanak-kanak, pelecehan, status sosial ekonomi, kesulitan dan ketidakstabilan keluarga, serta beberapa hal ini, tetap dampak ini masih ada. Korban bully masih memiliki risiko untuk gangguan kecemasan. Mereka yang menjalankan kedua peran (korban sekaligus pembully) memiliki risiko lebih besar mengalami depresi dan gangguan panik.

Ini menarik sekali. Saya mencoba menganalisis apa yang terjadi pada korban bully yang juga pembully ini.

1. Mereka tidak memiliki mental natural seorang pembully.

Pembully tulen adalah orang yang memiliki kecenderungan gangguan kepribadian antisosial/psikopat (pada orang dewasa) atau conduct disorder (pada anak). Gangguan ini dicirikan dengan kurangnya rasa bersalah/penyesalan, kurang empati, dan ekspresi emosi yang dangkal.

Pembully tulen tidak memiliki rasa takut saat melakukan bullying dan tidak takut akan resiko yang akan terjadi (korban tersakiti, korban membalas, ditangkap, masuk penjara).

Sementara pembully yang dulunya pernah dibully tidak memilki ciri ini. Mungkin mereka dapat bersikap tidak peduli dan bangga karena telah menunjukkan keberanian. Namun hati nuraninya akan terus menerus memberikan peringatan bahwa ia telah melakukan hal yang salah sehingga membuat hidup mereka tidak tenang. Hati nurani atau dalam psikologi disebut conscience merupakan bagian dari superego sebagai fungsi kontrol dalam struktur kepribadian manusia, yang membuat seseorang sadar akan baik-buruk, benar-salah, pantas-tidak pantas. Nah, pembully tulen tidak memiliki hal ini. 

2. Motif utama melakukan bullying adalah sakit hati, bukan karena kesenangan.

Orang yang dibully akan merasa sakit hati karena telah direndahkan, dirugikan dan dibuat frustrasi. Hal ini mendorong mereka untuk melakukan hal yang sama, yaitu dengan merugikan dan merendahkan orang lain. Saat tidak mampu membalas langsung ke orang yang membully, pilihan jatuh kepada orang yang lebih memungkinkan untuk dibully walaupun tidak ada bersalah apa-apa.

Sebenarnya tujuannya adalah untuk melampiaskan emosi negatif yang mereka rasakan, supaya lega dan impas. Namun nyatanya keadaan mereka menjadi lebih buruk dari sebelumnya. banyak penelitian yang menunjukkan dampak fisik dan psikis dari memendam rasa marah dan sakit hati. Begitu pula dengan tindakan membalas dendam. Balas dendam bukanlah solusi masalah, dan malah akan menambah masalah.

Memang, saat berhasil membalas dendam maka akan timbul perasaan puas dan menang. Ini menjadi candu baru dimana ia berpikir bahwa cara terbaik untuk merasa puas adalah dengan membalas dendam dan berbuat kerusakan pada orang lain sama seperti yang pernah ia alami dulu. Setiap ada hal yang tidak mengenakan di hati dan tidak dapat diterimanya, maka ia akan murka.

Kemudian, ia akan terobsesi dengan pembalasan dendam, hatinya dipenuhi ketakutan akan penyerangan dan kekalahan. Ia juga takut akan ada orang di luar sana yang sakit hati padanya dan hendak membalas dendam sebagaimana ia membalas dendam sebelumnya. Begitu seterusnya sampai seperti hidup dalam lingkaran setan, dan jauh dari ketenangan.

3. Faktor belajar yang salah, bukan karena keinginan.

Seorang guru pernah bercerita pada saya tentang anak didik laki-lakinya yang suka membully temannya di sekolah, mulai dari merebut mainan/alat tulis, mengejek, menarik kursi teman, menarik rambut teman perempuan, hingga bertengkar fisik.

Saat sesi konseling, murid tersebut bercerita bahwa di rumahnya hal itu biasa terjadi. Ia juga sering menjadi korban bully dari ayah atau abangnya supaya mau disuruh dan mengerjakan apa yang mereka inginkan.

Di rumahnya juga biasa memanggil anggota keluarga dengan nama-nama ejekan menyembunyikan barang, dan lainnya. Katanya itu semacam guyonan di keluarga saja tapi ia sering menangis karenanya. Sementara anggota keluarga yang lain tertawa melihat reaksinya. Bahkan ayahnya mengajarkan jika ingin mendapatkan sesuatu adalah dengan cara semacam membully itu. "Jangan mau kalah", atau "tunjukkan kalau kamu lebih kuat, mereka semua lemah", kata ayahnya. Dan ia menerapkan perilaku membully itu kepada setiap orang, di setiap kesempatan. Sudah menjadi kebiasaan. Hanya saja ia lebih sering kalah dalam perbullyan dan berakhir sama dengan yang terjadi di rumahnya, ditertawakan teman-teman yang lain dan dibawa ke BK.

Sukurnya, setelah tamat sekolah dasar, siswa tersebut melanjutkan sekolah di luar kota dan tinggal dengan pamannya. Dengan pola didikan yang berbeda, siswa tersebut belajar untuk berperilaku lebih baik dan lebih fokus belajar di sekolah.

4. Kesepian.

Semua manusia normal baik anak, remaja maupun dewasa membutuhkan teman untuk berbagi, bermain, maupun bekerja sama. Sementara pembully ini cenderung tidak punya teman kecuali teman atas dasar kepentingan semata atau teman sesama pembully yang berpotensi akan membully dirinya juga. Mereka berpikir dengan membully akan mengembalikan esteem mereka yang jatuh setelah dibully. Nyatanya mereka semakin rendah diri dan dikucilkan dari pertemanan. Siapa pula yang mau berteman dengan pembully? Kesepian juga dapat memicu mental illness hingga tindakan bunuh diri.

Jadi, tidak perlu membalas orang yang pernah membully atau menyakiti Anda. Memang sakit dan sedih menjadi korban bully. Namun, coba telusuri riwayat hidup orang yang membully Anda, besar kemungkinan ia adalah mantan korban bully. Dan karena ia memilih untuk menjadi pelaku bullying, maka dipastikan hidupnya jauh lebih menderita dari Anda. 

Semoga bermanfaat.

Devira Sari, Psikolog

Repost dari tulisan saya di facebook dengan judul yang sama.

Jakarta, 25 Februari 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun