Saat sesi konseling, murid tersebut bercerita bahwa di rumahnya hal itu biasa terjadi. Ia juga sering menjadi korban bully dari ayah atau abangnya supaya mau disuruh dan mengerjakan apa yang mereka inginkan.
Di rumahnya juga biasa memanggil anggota keluarga dengan nama-nama ejekan menyembunyikan barang, dan lainnya. Katanya itu semacam guyonan di keluarga saja tapi ia sering menangis karenanya. Sementara anggota keluarga yang lain tertawa melihat reaksinya. Bahkan ayahnya mengajarkan jika ingin mendapatkan sesuatu adalah dengan cara semacam membully itu. "Jangan mau kalah", atau "tunjukkan kalau kamu lebih kuat, mereka semua lemah", kata ayahnya. Dan ia menerapkan perilaku membully itu kepada setiap orang, di setiap kesempatan. Sudah menjadi kebiasaan. Hanya saja ia lebih sering kalah dalam perbullyan dan berakhir sama dengan yang terjadi di rumahnya, ditertawakan teman-teman yang lain dan dibawa ke BK.
Sukurnya, setelah tamat sekolah dasar, siswa tersebut melanjutkan sekolah di luar kota dan tinggal dengan pamannya. Dengan pola didikan yang berbeda, siswa tersebut belajar untuk berperilaku lebih baik dan lebih fokus belajar di sekolah.
4. Kesepian.
Semua manusia normal baik anak, remaja maupun dewasa membutuhkan teman untuk berbagi, bermain, maupun bekerja sama. Sementara pembully ini cenderung tidak punya teman kecuali teman atas dasar kepentingan semata atau teman sesama pembully yang berpotensi akan membully dirinya juga. Mereka berpikir dengan membully akan mengembalikan esteem mereka yang jatuh setelah dibully. Nyatanya mereka semakin rendah diri dan dikucilkan dari pertemanan. Siapa pula yang mau berteman dengan pembully? Kesepian juga dapat memicu mental illness hingga tindakan bunuh diri.
Jadi, tidak perlu membalas orang yang pernah membully atau menyakiti Anda. Memang sakit dan sedih menjadi korban bully. Namun, coba telusuri riwayat hidup orang yang membully Anda, besar kemungkinan ia adalah mantan korban bully. Dan karena ia memilih untuk menjadi pelaku bullying, maka dipastikan hidupnya jauh lebih menderita dari Anda.Â
Semoga bermanfaat.
Devira Sari, Psikolog
Repost dari tulisan saya di facebook dengan judul yang sama.
Jakarta, 25 Februari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H