Mohon tunggu...
Devira Sari
Devira Sari Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis

Saya adalah Psikolog yang menyukai dunia tulis menulis dan Sastra. Tarot Reader. A Lifelong Learner. INFJ-A. Empath. Sagittarian.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kalau Dibully, Jangan Membully

2 September 2020   12:50 Diperbarui: 2 September 2020   12:50 568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1. Mereka tidak memiliki mental natural seorang pembully.

Pembully tulen adalah orang yang memiliki kecenderungan gangguan kepribadian antisosial/psikopat (pada orang dewasa) atau conduct disorder (pada anak). Gangguan ini dicirikan dengan kurangnya rasa bersalah/penyesalan, kurang empati, dan ekspresi emosi yang dangkal.

Pembully tulen tidak memiliki rasa takut saat melakukan bullying dan tidak takut akan resiko yang akan terjadi (korban tersakiti, korban membalas, ditangkap, masuk penjara).

Sementara pembully yang dulunya pernah dibully tidak memilki ciri ini. Mungkin mereka dapat bersikap tidak peduli dan bangga karena telah menunjukkan keberanian. Namun hati nuraninya akan terus menerus memberikan peringatan bahwa ia telah melakukan hal yang salah sehingga membuat hidup mereka tidak tenang. Hati nurani atau dalam psikologi disebut conscience merupakan bagian dari superego sebagai fungsi kontrol dalam struktur kepribadian manusia, yang membuat seseorang sadar akan baik-buruk, benar-salah, pantas-tidak pantas. Nah, pembully tulen tidak memiliki hal ini. 

2. Motif utama melakukan bullying adalah sakit hati, bukan karena kesenangan.

Orang yang dibully akan merasa sakit hati karena telah direndahkan, dirugikan dan dibuat frustrasi. Hal ini mendorong mereka untuk melakukan hal yang sama, yaitu dengan merugikan dan merendahkan orang lain. Saat tidak mampu membalas langsung ke orang yang membully, pilihan jatuh kepada orang yang lebih memungkinkan untuk dibully walaupun tidak ada bersalah apa-apa.

Sebenarnya tujuannya adalah untuk melampiaskan emosi negatif yang mereka rasakan, supaya lega dan impas. Namun nyatanya keadaan mereka menjadi lebih buruk dari sebelumnya. banyak penelitian yang menunjukkan dampak fisik dan psikis dari memendam rasa marah dan sakit hati. Begitu pula dengan tindakan membalas dendam. Balas dendam bukanlah solusi masalah, dan malah akan menambah masalah.

Memang, saat berhasil membalas dendam maka akan timbul perasaan puas dan menang. Ini menjadi candu baru dimana ia berpikir bahwa cara terbaik untuk merasa puas adalah dengan membalas dendam dan berbuat kerusakan pada orang lain sama seperti yang pernah ia alami dulu. Setiap ada hal yang tidak mengenakan di hati dan tidak dapat diterimanya, maka ia akan murka.

Kemudian, ia akan terobsesi dengan pembalasan dendam, hatinya dipenuhi ketakutan akan penyerangan dan kekalahan. Ia juga takut akan ada orang di luar sana yang sakit hati padanya dan hendak membalas dendam sebagaimana ia membalas dendam sebelumnya. Begitu seterusnya sampai seperti hidup dalam lingkaran setan, dan jauh dari ketenangan.

3. Faktor belajar yang salah, bukan karena keinginan.

Seorang guru pernah bercerita pada saya tentang anak didik laki-lakinya yang suka membully temannya di sekolah, mulai dari merebut mainan/alat tulis, mengejek, menarik kursi teman, menarik rambut teman perempuan, hingga bertengkar fisik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun