Mohon tunggu...
Devira Sari
Devira Sari Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis

Saya adalah Psikolog yang menyukai dunia tulis menulis dan Sastra. Tarot Reader. A Lifelong Learner. INFJ-A. Empath. Sagittarian.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

SAUDADE : Kehilangan dan Kerinduan

2 Juni 2020   19:38 Diperbarui: 2 Juni 2020   20:59 941
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ntah lah, mungkin air mata saya sudah habis karena menangis seharian saat kaki saya terluka. Atau mungkin juga karena saya melihat semua orang sudah menangis dan ternyata tak mengubah apapun. Saya belajar bahwa menangis tidak akan menyelesaikan masalah.

Setelah pemakaman selesai, keluarga saya sibuk mengurus banyak hal. Selama beberapa minggu saya tinggal bertiga dengan nenek dan kakek saya dan mendengarkan cerita-cerita mengenai ibu saya dan masa lalu. Sepertinya dari 8 orang anak kakek saya, ibu saya adalah yang paling istimewa.

Saya rasa masa itu adalah titik dimana saya mengalami perubahan minat dari seni ke minat sosial (manusia). Meski ada beberapa orang yang menilai saya cuek dan sombong, but i do love people. I care about people. Terlalu peduli malah ^_^

Saya suka mendengarkan orang-orang bercerita dan menangis. Lucu juga ya, padahal saya sendiri tidak suka menangis dan tidak suka curhat hahaa. Saya juga suka membaca kisah-kisah. Menelaah apa yang terjadi pada diri seseorang dan bagaimana perjalanan hidupnya sehingga ia menjadi dirinya yang sekarang.

Sampai saat ini, bekas luka jatuh di kaki saya masih ada. Bekas lukanya tidak besar, namun setiap melihatnya saya teringat momen itu. Bukan saya tidak mengikhlaskan, bukan pula saya suka hidup di masa lalu.

Saya rasa semua orang yang pernah merasakan kehilangan figur signifikan (orang tua, pasangan, anak, soulmate dll) memahami bahwa terkadang seseorang terlanjur masuk terlalu dalam ke inti jantung kita. Sehingga saat ia keluar dengan paksa dari sana, maka terjadi robekan besar dan membuat lubang permanen yang mungkin tak akan pernah menutup kembali. Jangan tanya tentang sakitnya.

Sebagian kehidupan kita tercabut, namun sayangnya kita tidak ikut mati bersamanya. Kemudian, seperti puzzel yang kehilangan satu kepingannya. Kita berusaha menggantinya dengan kepingan lain, dan menemukan bahwa tidak ada yang benar-benar pas. Pasti akan ada celah, meski itu kecil.

Kita terus memaksanya, mengubah posisinya, mengubah bentuknya, memanipulasinya, namun apapun yang kita lakukan justru hanya membuat kita semakin frustrasi.

Lalu kita belajar, satu-satunya cara adalah menerima. Membiarkan lubang itu tetap di sana dan menerima kondisi itu sebagai bagian dari hidup kita. Menerima bahwa kenangan itu dapat hadir kembali bersama emosi-emosi yang menyertainya. Bahwa orang itu tidak akan tergantikan. Begitulah kenyataannya.

Kita bisa saja menemukan orang baru, namun bukan untuk menggantikan, melainkan untuk meneruskan jalan kehidupan kita dan menuliskan kisah-kisah baru di masa depan.

Sampai saat ini, terkadang ada rasa bersalah dan menyesal dalam hati saya. Kalau saja saya mau sedikit memaksa diri untuk datang ke RS hari itu. Semestinya saya ikut tinggal di RS  Seandainya saja saya lebih berhati-hati di jalan. Tapi berandai-andai tak akan menyelesaikan masalah, malah hanya memberi kendali pada setan. Mungkin memang begitu jalan ceritanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun