Mohon tunggu...
Devira Sari
Devira Sari Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis

Saya adalah Psikolog yang menyukai dunia tulis menulis dan Sastra. Tarot Reader. A Lifelong Learner. INFJ-A. Empath. Sagittarian.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

SAUDADE : Kehilangan dan Kerinduan

2 Juni 2020   19:38 Diperbarui: 2 Juni 2020   20:59 941
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya ingin bercerita mengenai pengalaman kehilangan paling berat dalam hidup saya. Kehilangan ibu. Kejadiannya sudah sangat lama, namun saya sadari emosinya masih terasa dan kadang muncul ke permukaan hingga sekarang.

Ibu saya menderita penyakit kronis selama bertahun-tahun dan memang sudah sering bolak balik dirawat di rumah sakit (bahkan masuk ICU). Ditinggal ibu saya opname berminggu-minggu adalah hal biasa bagi saya.

Saya jarang mengunjungi apalagi sampai menginap di rumah sakit untuk menunggui ibu saya. Selain karena masih anak-anak, rumah sakit tempat ibu saya biasa dirawat berada di luar kota sementara saya tidak bisa bolos sekolah.

Biasanya, tiap tahun di hari ulang tahun saya, ibu saya membuatkan cake ultah kesukaan saya. Ulang tahun saya tidak ada perayaan dan hanya acara makan cake bersama keluarga saja karena saya tidak begitu suka kegiatan ramai-ramai terutama jika saya menjadi pusat perhatiannya. 

Namun hari itu berbeda dari biasanya. Ibu saya opname di rumah sakit selama berminggu-minggu dan bolak balik masuk ICU. Seminggu lebih saya tidak mengunjunginya. Tidak masalah bagi saya, karena saya tahu seberapa lamapun ibu saya tinggal di rumah sakit, ia pasti kembali ke rumah.

Hari itu, sehari sebelum hari ulang tahun saya, katanya ibu saya kangen dan meminta saya datang ke RS. Saya pun bersiap pergi ke RS. Di perjalanan saya terjatuh dan kaki saya terluka. Tidak parah namun berdarah banyak. Waktu itu hujan sangat deras dan baju saya basah kuyup, jadi saya di antar pulang ke rumah.

Tadinya saya hendak ganti baju saja dan mengobati luka di kaki saya. Tapi koq rasanya badan saya sakit semua. Maka saya urungkan niat saya pergi dan menunda sampai besok saja. Seharian saya meringis kesakitan di rumah dan berharap ibu saya ada di situ. Di luar hujan masih sangat deras di luar dan saya sendirian di rumah.

Menjelang subuh ada keluarga yang datang ke rumah, meminta saya bersiap pergi ke RS. Mereka tidak menjelaskan apa-apa pada saya, namun saya paham bahwa kali ini, tidak seperti biasanya, ibu saya tak akan kembali lagi. Ibu saya pergi lewat tengah malam setelah hari ulang tahun saya. Seketika "jalan" di depan saya blur, saya tidak tahu akan kemana hidup membawa saya setelah ini.

Di RS, saya melihat orang-orang bersedih dan sibuk mengurus banyak hal. Saya memutuskan untuk berkeliling RS, bertemu dengan beberapa keluarga pasien. dan mendengarkan cerita-cerita mereka. Beberapa jam kemudian, matahari sudah tinggi, kami semua bersiap membawa ibu saya ke kampung halamannya untuk dimakamkan di sana.

Saya ingat, sejak malam itu hingga pemakaman ibu saya selesai, tidak ada tangis dari mata saya. Tentu saja saya bersedih. Mana mungkin tidak. Saya tidak hanya kehilangan ibu, saya juga kehilangan figur dependen saya, orang tidak pernah menertawakan se-absurd apapun mimpi-mimpi saya.

Orang yang selalu mendukung saya meskipun orang-orang tidak yakin saya mampu berdiri di kaki saya sendiri. Saya kehilangan orang yang menuntun saya menuju masa depan saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun