"Aku mau cari (jodoh) orang Minang atau orang Jawa. Rejekinya bagus..."Â
Begitu kata teman saya di suatu sore. Saya hanya mengangguk saja mendengarkannya begitu bercerita dengan antusias. "...soalnya orang Minang pinter berbisnis. Kalau orang Jawa itu pekerja keras," lanjutnya dengan yakin.Â
Koq mulai rasis nih? Memangnya suku lain rejekinya kurang bagus gitu? Sepertinya dia belum tahu kalau orang Batak hebat dalam mengelola kebun berhektar-hektar, yang hasilnya bisa untuk biaya hidup tujuh turunan. Atau orang Bugis yang terkenal kaya dengan emasnya melimpah ruah .
Saya memang pernah membaca mengenai stereotip suku-suku di Indonesia. Namun, saya kurang setuju jika karakteristik suku yang melekat itu menjadi penentu rejeki.Â
Karena rejeki tiap-tiap manusia sudah dijamin sedemikian rupa. Rejeki itu sama seperti hidup, mati dan jodoh, merupakan takdir yang tidak dapat dihindari atau dimanipulasi. Tinggal bagaimana mengusahakannya saja. Jadi, tidak ada hubungannya dengan suku.
Saya pernah mendengarkan suatu ceramah agama (saya lupa dari ustadz yang mana), dikatakan bahwa rejeki diambil dengan cara apapun, diusahakan sekeras apapun, hasilnya akan sama saja.Â
Maksudnya, bahwa rejeki itu sudah ada takarannya atau porsinya untuk masing-masing orang. Ada yang diberikan rejeki lebih banyak karena kemampuannya juga lebih besar. Jadi, jika ada orang yang rejeki sejumlah 5, maka yang akan didapatkannya 5. Orang yang rejekinya 9, maka yang akan didapatkannya 9.
Apakah ada yang rejekinya 5 tapi mendapatkan 7? Ada. Apakah ada yang rejekinya 9 tapi mendapatkan 7? Ada juga. Yang rejekinya 5 tapi mendapatkan 7 itu, ada 2 yang bukan menjadi haknya.Â
Maka yang 2 itu dapat menjadi mudharat. Misalnya diberikan penyakit berat sehingga harus mengeluarkan yang 2 itu, atau bisa jadi kehilangan harta benda. Pada akhirnya jumlah rejeki yang ia miliki ya sejumlah 5 itu saja.Â
Lalu bagaimana dengan yang rejekinya 9 tapi hanya mendapatkan 7? Nah, sebenarnya ada rejeki lain yang mungkin tidak disadarinya, misalnya terhindar dari mara bahaya, atau anak-anaknya mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan sekolah tinggi secara gratis.
Jadi apa yang membedakannya kondisi tersebut? Jawabannya adalah keberkahannya. Ada orang yang kaya raya dan berjabatan tinggi, namun kerjaannya mengambil yang bukan haknya.Â
Maka diambillah ketenangan hidupunya, kesehatan jasmaninya, dan kenyenyakan tidurnya. Ada seorang terkenal yang sangat cantik, selalu mendapatkan  puja-puji dimana-mana. Namun herannya setelah bergonta-ganti suami, rumah tangganya tidak pernah ada yang harmonis.Â
Ada pula yang hanya buruh tani di desa, namun seumur hidupnya tidak pernah mengalami sakit berat. Begitu pula keluarganya selalu harmonis hingga keturunannya dan tidak pernah berkekurangan meski hidup dalam kesahajaan. Itulah yang membedakan berkah atau tidaknya rejeki yang kita miliki.
Begitulah rejeki. Bukan cuma sekedar uang saja, rejeki juga dapat berupa kesehatan, keluarga yang harmonis, ilmu pengetahuan, kesempatan-kesempatan, keberuntungan, kemenarikan fisik, udara bersih, dan lain sebagainya.Â
Dan rejeki itu sudah mengetahui alamatnya sehingga pasti sampai. Kemanapun kita lari, rejeki akan menangkap kita. Dimanapun kita bersembunyi, rejeki akan menemukan kita. Begitu pula sebaliknya, bagaimanapun diusahakan, namun jika bukan hak kita maka cepat atau lambat akan hilang juga.
 "Kalaulah anak Adam lari dari rezekinya (untuk menjalankan perintah Allah) sebagaimana ia lari dari kematian, niscaya rezekinya akan mengejarnya sebagaimana kematian itu akan mengejarnya." (HR Ibnu Hibban No. 1084)
Berbicara tentang rejeki, ada satu kisah tentang rejeki dari zaman Rasulullah SAW. Adalah Abdurrahman bin Auf, seorang sahabat Nabi yang memang ditakdirkan menjadi kaya raya. Ia bertangan emas dan pintar berdagang, dan apapun yang didagangkannya pasti sukses besar.Â
Sejarah mengenalnya sebagai sahabat Nabi paling kaya raya sekaligus dermawan. Nah, sahabat Nabi yang satu ini unik sekali. Ketika orang-orang berlomba-lomba mencari harta sebanyak-banyaknya supaya masuk dalam golongan rangkayo (baca : orang kaya), beda halnya sama salah satu sahabat Rasulullah ini. Ia memiliki cita-cita yang antimainstream yaitu : Â jadi orang miskin donk... (sobat misqueen pasti langsung alert hahaa).
Abdurrahman bin Auf (bahasa Arab: , lahir 10 tahun setelah Tahun Gajah -- meninggal 652 pada umur 72 tahun) adalah salah seorang dari sahabat Nabi Muhammad yang terkenal. Ia adalah salah seorang dari delapan orang pertama (As-Sabiqunal Awwalun) yang menerima agama Islam, yaitu dua hari setelah Abu Bakar.
Suatu ketika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata bahwa semakin kaya seseorang akan semakin lama giliran masuk surganya. Hal ini dikarenakan orang yang paling kaya akan dihisab paling lama.Â
Oleh sebab Abdurrahman bin Auf  RA adalah orang terkaya saat itu, maka ia akan masuk surga paling terakhir. Mendengar ini, Abdulrahman bin Auf menjadi cemas dan mulai berpikir keras untuk mencari cara agar bisa menjadi orang miskin supaya dapat masuk surga lebih awal.
Alkisah, terjadi perang Tabuk sehingga orang-orang meninggalkan Madinah. Setelah perang berakhir dan semua kembali ke Madinah, ternyata kebun kurma yang ditinggalkan seorang petani kurma yang ikut dalam perang telah busuk semua dan tidak layak dijual.Â
Abdurrahman bin Auf melihat kesempatan ini dan memberikan semua hartanya untuk memborong semua kurma busuk itu dengan harga normal. Win-win solution. Si petani kurma tidak merugi, dan cita-cita Abdurrahman bin Auf untuk jatuh miskin terwujud. Â Kalau sudah miskin berarti ia dapat cepat masuk surga.
Abdurrahman, masih dalam kegembiraannya karena karena kemiskinannya, didatangi orang yang diutus Raja Yaman. Rupanya, di Yaman sedang berjangkit wabah penyakit yang hanya dapat disembuhkan dengan obat berbahan kurma busuk.Â
Utusan Raja tersebut akhirnya memborong semua kurma Abdurrahman bin Auf dengan harga berkali-kali di atas harga normal. Ia pun pasrah dengan takdir kekayaannya. (Saat menulis ini saya membatin, kapan saya termasuk dalam golongan orang yang PASRAH jadi orang kaya ahahhaa).
Ini benar-benar kisah yang unik, lucu tapi sekaligus menyebalkan juga yah. Orang lain berusaha keras jadi kaya dan bahkan rela melakukan segala cara untuk menjadi kaya, belum tentu berhasil kaya.Â
Sebaliknya, Abdurrahman bin Auf berusaha keras jadi miskin tapi malah tetap saja kaya, dan malah semakin kaya. Begitulah rejeki. Matematikanya berbeda dengan matematika duniawi.Â
Kalau di matematika duniawi, semakin banyak mengeluarkan maka akan semakin kecil jumlahnya. Kalau dalam matematika rejeki, semakin banyak mengeluarkan (bersedekah) maka semakin besar jumlah yang yang didapat. Waallahualam bishawab.
Tulisan ini bukan menjadi pembenaran untuk bermalas-malasan yah. Meski rejeki sudah mengetahui alamatnya, masih ada kemungkinan ia mengambil jalan yang panjang atau tersesat atau singgah kemana-mana dulu sebelum sampai pada kita.Â
Memang benar rejeki tak akan kemana, yang sudah ditakdirkan menjadi milik kita akan datang pada kita. Rejeki tetap harus diusahakan agar terbuka jalannya untuk sampai ke tangan kita.Â
Seumpama ada tamu yang datang ke rumah, harus dibukakan pintu juga. Lebih lagi, jika diundang, maka tamu akan datang dengan bersenang hati. Semakin welcome tuan rumahnya, semakin senang tamu datang ke rumahnya.Â
Kalau tidak dibukakan pintu dan tidak dipersilahkan masuk apalagi tidak diundang, tamu yang baik tidak akan masuk sembarangan. Kalau tetap masuk juga, maka itu bukan tamu namanya. Itu namanya maling yang mengendap-endap. Dan maling itu merugikan.
Nah, kembali ke persoalan suku. Saya sendiri berdarah Minang. Saya tidak pintar berbisnis dan saya bukan berasal dari keluarga kaya raya. Namun, sampai saat ini rejeki saya alhamdulillah selalu mencukupi.Â
Bahkan di kondisi sangat sulit sekalipun, entah bagaimana, rejeki itu datang saja dari mana-mana. Ternyata rejeki yang diberikan Allah kepada saya lebih berupa keberuntungan. Teman-teman yang baik, kesehatan, bakat dan peminatan, kesempatan-kesempatan dll.Â
Saya ini juga pembawa hoki loh. Karena nyatanya, walaupun saya nya biasa-biasa saja, orang-orang yang dekat dengan saya biasanya jadi orang sukses semua. Hehee (Udah setuju aja, gak berbayar koq)
Semoga di masa-masa krisis akibat pandemi Covid19 ini, jalannya rejeki kita semua tetap dilancarkan. Dan semoga pandemi ini segera berlalu. Aamiin...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H