Mohon tunggu...
Devira Sari
Devira Sari Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis

Saya adalah Psikolog yang menyukai dunia tulis menulis dan Sastra. Tarot Reader. A Lifelong Learner. INFJ-A. Empath. Sagittarian.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Rezeki Tak akan Tertukar

6 April 2020   08:36 Diperbarui: 6 April 2020   08:38 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Abdurrahman bin Auf melihat kesempatan ini dan memberikan semua hartanya untuk memborong semua kurma busuk itu dengan harga normal. Win-win solution. Si petani kurma tidak merugi, dan cita-cita Abdurrahman bin Auf untuk jatuh miskin terwujud.  Kalau sudah miskin berarti ia dapat cepat masuk surga.

Abdurrahman, masih dalam kegembiraannya karena karena kemiskinannya, didatangi orang yang diutus Raja Yaman. Rupanya, di Yaman sedang berjangkit wabah penyakit yang hanya dapat disembuhkan dengan obat berbahan kurma busuk. 

Utusan Raja tersebut akhirnya memborong semua kurma Abdurrahman bin Auf dengan harga berkali-kali di atas harga normal. Ia pun pasrah dengan takdir kekayaannya. (Saat menulis ini saya membatin, kapan saya termasuk dalam golongan orang yang PASRAH jadi orang kaya ahahhaa).

Ini benar-benar kisah yang unik, lucu tapi sekaligus menyebalkan juga yah. Orang lain berusaha keras jadi kaya dan bahkan rela melakukan segala cara untuk menjadi kaya, belum tentu berhasil kaya. 

Sebaliknya, Abdurrahman bin Auf berusaha keras jadi miskin tapi malah tetap saja kaya, dan malah semakin kaya. Begitulah rejeki. Matematikanya berbeda dengan matematika duniawi. 

Kalau di matematika duniawi, semakin banyak mengeluarkan maka akan semakin kecil jumlahnya. Kalau dalam matematika rejeki, semakin banyak mengeluarkan (bersedekah) maka semakin besar jumlah yang yang didapat. Waallahualam bishawab.

Tulisan ini bukan menjadi pembenaran untuk bermalas-malasan yah. Meski rejeki sudah mengetahui alamatnya, masih ada kemungkinan ia mengambil jalan yang panjang atau tersesat atau singgah kemana-mana dulu sebelum sampai pada kita. 

Memang benar rejeki tak akan kemana, yang sudah ditakdirkan menjadi milik kita akan datang pada kita. Rejeki tetap harus diusahakan agar terbuka jalannya untuk sampai ke tangan kita. 

Seumpama ada tamu yang datang ke rumah, harus dibukakan pintu juga. Lebih lagi, jika diundang, maka tamu akan datang dengan bersenang hati. Semakin welcome tuan rumahnya, semakin senang tamu datang ke rumahnya. 

Kalau tidak dibukakan pintu dan tidak dipersilahkan masuk apalagi tidak diundang, tamu yang baik tidak akan masuk sembarangan. Kalau tetap masuk juga, maka itu bukan tamu namanya. Itu namanya maling yang mengendap-endap. Dan maling itu merugikan.

Nah, kembali ke persoalan suku. Saya sendiri berdarah Minang. Saya tidak pintar berbisnis dan saya bukan berasal dari keluarga kaya raya. Namun, sampai saat ini rejeki saya alhamdulillah selalu mencukupi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun