Mohon tunggu...
Devi Puspita
Devi Puspita Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Bisa bila ditekuni

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Tidak Selalu Anarkis, Bukti Nyata Klub Motor Bandung!

22 Maret 2021   17:21 Diperbarui: 23 Maret 2021   00:45 752
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemikiran apa yang terlintas di benak Anda ketika mendengar kata "geng motor"?

Sebagian besar dari Anda mungkin langsung berpikir sekelompok anak remaja yang ugal-ugalan di jalan dengan sepeda motor dan sering membuat keributan. 

Sudah menjadi hal yang lumrah apabila orang tua Anda ataupun jika Anda sebagai orang tua, tidak akan mengizinkan anak remaja kesayangan (re: kita) untuk bergabung sebagai geng/klub motor. Kebiasaan ini kemudian dapat kita sebut sebagai budaya.

Budaya tidak pernah dapat dipisahkan dan akan selalu melekat pada diri seseorang. Segala aktivitas yang kita lakukan sehari-hari merupakan produk dari terapan nilai-nilai budaya kita. 

Maka dari itu, setiap manusia memiliki keunikannya masing-masing tergantung dari latar belakang budayanya. Namun, tanpa disadari ada budaya yang menjadi panutan kita dalam memandang segala hal yaitu, Budaya Populer. 

Apa itu Budaya Populer?

Budaya populer atau popular culture menjadi bahasan yang menarik karena besinggungan secara langsung dengan kehidupan kita sehari-hari. Dalam Storey (2015, h.5), dinyatakan bahwa budaya populer adalah budaya yang secara dominan disukai oleh masyarakat luas. 

Sederhananya, budaya populer dapat dilihat dari nilai dalam kehidupan sehari-hari, adat istiadat, dan stigma dalam masyarakat. Misalnya, anak-anak harus patuh terhadap orang yang lebih tua, harus bersikap unggah-ungguh, dan lain sebagainya.

Kita sebagai manusia yang hidup dalam keberagaman budaya, tentu terkadang memiliki perbedaan pendapat atau pemikiran terhadap satu dan lain hal terkait kebudayaan itu sendiri. Tidak jarang, sekelompok orang dengan pemikiran yang sama akan membentuk sebuah budaya baru selain dari budaya dominan. 

Maka, tidak bisa dihindari, adanya budaya populer akan menimbulkan sub-budaya atau subkultur.

Membahas Subkultur

Melalui sedikit gambaran di atas, subkultur dapat dikatakan sebagai budaya yang mempunyai nilai-nilai berbeda atau bahkan bertentangan dari budaya induk atau dominan. 

Gordon (dalam Wilujeng, 2017), menyatakan bahwa Subkultur merupakan bagian dari kebudayaan umum, yang terdiri dari situasi sosial seperti latar belakang etnis, tempat tinggal, status kelas, agama, yang menyatukan masing-masing individu. 

Pada umumnya, subkultur merupakan sebuah cara untuk memperlihatkan eksistensi kelompok budaya yang pada dasarnya berbeda bahkan menyimpang dari budaya dominan. Terkadang dikaitkan pula dengan perlawanan dan pertentangan.

Salah satu contoh subkultur adalah klub motor. Awal mulanya, klub motor terbentuk karena adanya kesamaan pada pemilik motor dengan merek tertentu dan kemudian sering berkumpul dan membentuk budaya baru (subkultur), misalnya sesama pengguna motor Suzuki atau lainnya. Namun, seiring waktu berjalan, geng motor kerap diidentikkan dengan aksi anarkis yang dilakukan oleh anak remaja.

Beberapa alasan anak remaja yang bergabung dengan geng motor adalah untuk mencari identitas diri yang diekspresikan melalui tingkah laku, gaya bahasa, dan gaya berpakaian yang berlawanan dengan budaya universalnya yaitu norma berperilaku, norma kesopanan dan sebagainya (Irmayani, 2018).

Namun, seperti judul dari Artikel ini, kita akan membahas klub motor di Bandung yang cukup berbeda dari geng motor pada umumnya. Klub motor yang bernama SSMC (Suzuki Satria M150 Club) ini mempunyai tujuan untuk memperbaiki stigma negatif dalam masyarakat serta mengajak masyarakat untuk berpikiran terbuka terhadap kata geng motor dengan melakukan kegiatan positif seperti bakti sosial, sosialisasi dan pelatihan keselamatan berkendara.

Hubungan dengan Politik Identitas

Sebuah budaya dikatakan sebagai politik identitas jika terdapat ideologi untuk memanipulasi perbedaan dengan tujuan tertentu misalnya kekuasaan (Anam, 2019)

Politik identitas dalam kasus ini dapat dilihat dari bagaimana klub SSMC menunjukkan eksistensinya.

Untuk meraih eksistensi yang jelas dimata masyarakat, klub SSMC ini secara rutin akan nongkrong di bawah flyover Jalan Cikapayang. Hal ini secara langsung ataupun tidak, akan membentuk 'identitas' bahwa ruang tersebut identik dengan klub SSMC dan akan menumbuhkan visibilitas mereka dimata masyarakat.

Penempatan ruang secara rutin tersebut juga menjadi cara bagi klub SSMC untuk menarik orang lain agar bergabung dengan klub mereka agar komunitas mereka dapat berkembang dan menghegemoni daerah tersebut (Nurhijrah, 2019).

Semoga Anda bisa menarik benang merah dari budaya dominan, subkultur, dan politik identitas dari penjelasan saya di atas. Semoga Artikel ini dapat bermanfaat! enjoy!

Daftar Pustaka

Anam, H. F. (2019). Politik identitas islam dan pengaruhnya terhadap demokrasi di indonesia. Jurnal Pemikiran Politik Islam, 2(2): 181-188.

Nurhijrah. (2019). Kehadiran subkultur klub motor di ruang publik kota bandung. Jurnal RUAS, 17(1): 43-49.

Storey, J. (2015). Cultural theory and popular culture: An introduction (7th ed). New York: Routledge.

Wilujeng, P. R. (2017). Girls punk: Gerakan perlawanan subkultur di bawah dominasi makulinitas punk. Dialektika Masyarakat: Jurnal Sosiologi, 1(1): 103-115.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun