Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Queer atau biasa disingkat LGBTQ+ telah menjadi topik hangat di Indonesia akhir-akhir ini. Pasalnya, beredar banyak opini di media sosial yang menganggap bahwa LGBTQ+ merupakan penyakit gangguan kejiwaan.Â
Sejak dahulu, isu ini memang sensitif, terlebih lagi jika dilihat dari kacamata budaya dan agama, kerap kali kaum ini dinilai menyimpang, tak sesuai kaidah, dan tidak normal.Â
Dengan adanya opini tersebut, banyak kelompok masyarakat yang turut memberikan opini, baik mendukung ataupun menentang. Pihak yang menolak opini tersebut memberikan argumen bahwa homoseksualitas adalah preferensi dan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM).
Akan tetapi, bila diselidiki secara komprehensif dan menilik dari sudut kesehatan, apakah benar homoseksualitas dan kaum LGBTQ+ merupakan gangguan kejiwaan?
Pada konferensi pers tentang HIV/AIDS, Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan India, Ghulam Nabi Azad, menyatakan bahwa "homoseksualitas adalah adalah penyakit yang datang dari negara lain".Â
Menanggapi pernyataan kontroversial tersebut, The World Association of Sexual Health (WAS), menyatakan dengan tegas bahwa homoseksualitas ataupun LGBT bukanlah penyakit ataupun gangguan kejiwaan.Â
Dalam dunia medis, ilmu psikologi dan kedokteran, terdapat sebuah publikasi yang diterbitkan secara langsung oleh American Psychiatric Association (APA), yaitu Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM).Â
Publikasi ini kerap dijadikan sumber untuk mendiagnosa penyakit kejiwaan oleh psikiater dan psikolog karena isinya yang akurat. DSM telah mengeluarkan beberapa edisi, dimana pada buku edisi ke-3, dinyatakan dengan jelas bahwa LGBT bukan penyakit mental.Â
Meski sempat terdaftar sebagai penyakit, pada tahun 1974, APA telah menghapus homoseksual dari salah satu gangguan jiwa. Tak hanya DSM, publikasi yang dibuat oleh WHO, International Classification of Diseases (ICD) pada tahun 1990 juga menghapus homoseksual sebagai penyakit gangguan kejiwaan. Melalui DSM dan ICD, LGBTQ+ dianggap perilaku yang alamiah dan normal.
Ahli Neurologi, dr. Ryu Hasan juga menyetujui bahwa lesbian, gay, dan biseksual bukanlah penyakit gangguan kejiwan. Beliau mengungkapkan apabila orang-orang dengan orientasi seksual tersebut merasa tidak nyaman, baru dapat dikatakan gangguan dan boleh dilakukan terapi.Â
Jadi, apabila terdapat kaum LGBTQ+ yang merasa tidak nyaman dengan seksualitasnya, ahli kesehatan akan melakukan terapi yang berfokus pada emosi, perasaan dan penanganan kejiwaannya, bukan untuk 'menyembuhkan' preferensi seksualnya.
LGBTQ+ dari sudut pandang budaya dan agama memang tidak dapat dikatakan normal. Namun, bukan berarti kaum mereka pantas disebut sebagai kaum yang mengidap penyakit.Â
Meskipun telah dilakukan penelitian dan studi intensif selama bertahun-tahun, pakar kesehatan mental dunia tidak dapat menemukan korelasi dasar antara homoseksualitas dengan jenis penyakit mental apapun.Â
Pada kenyataannya, kaum LGBTQ+ hanya memiliki preferensi seksual yang berbeda dari kebanyakan orang. Mereka dapat beraktivitas seperti orang pada umumnya.Â
Kesetaraan gender dan Hak Asasi Manusia akan tercapai apabila setiap orang dapat menghormati hak-hak orang lain dan menjalankan kewajibannya. Selama tidak menyebabkan masalah dan mengganggu ketentraman publik akan aksi-aksinya, apakah kita perlu mencaci maki mereka?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H