Maka dari itu peran surat kabar sangat penting pada masa itu sebagai sarana penguatan masyarakat serta sebagai perlindungan dari hasutan Belanda yang disebarkan melalui media massa.
Namun sangat disayangkan, setelah kedudukan Indonesia semakin kuat, Republik Indonesia Serikat (RIS) yang diganti menjadi Republik Kesatuan mulai menggoncang nasib jurnalisme di Indonesia.
Surat kabar yang semula digunakan untuk menghindari hasutan, mulai digunakan oleh para tokoh politik untuk saling berlomba duduk di bangku pemerintahan.
Pada tanggal 1 Oktober 1958 ditetapkan sebagai matinya kebebasan pers di Indonesia, banyak surat kabar yang ditutup dan wartawan yang tertangkap pada masa itu.
Setelah masa kritis tersebut muncul peraturan baru bagi jurnalisme di Indonesia, peraturan tersebut mengharuskan surat kabar atau majalah didukung oleh minimal satu partai politik atau tiga organisasi massa. Akibatnya jurnalisme pada masa itu tidak lagi bersifat netral.
Fase Pemerintahan Presiden Soeharto
Fase ini lebih dikenal dengan demokrasi liberal dimana setiap masyarakat yang memiliki modal diperbolehkan untuk menerbitkan surat kabar hingga majalah tanpa memerlukan izin dari pihak manapun.
Meskipun hak kebebasan berpendapat menjadi semakin luas akan tetapi pada masa itu menyebabkan surat kabar atau majalah saling berlomba untuk menerbitkan berita sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan kualitas informasi.
Menanggapi hal tersebut pemerintah turun tangan dengan membuat peraturan yang berkaitan dengan dunia jurnalistik.
Dengan harapan dapat sesuai dengan dasar negara yaitu Pancasila dan UUD 1945.
Selanjutnya, pemerintah mengeluarkan ketetapan MPRS No. XXXII/MPRS/1966 pada tanggal 6 Juli 1966 yang disambut oleh kalangan wartawan dengan Deklarasi Wartawan Indonesia hasil dari konfrensi kerja PWI di Jawa Timur.