Mohon tunggu...
Devina Kurnia
Devina Kurnia Mohon Tunggu... Guru - mahasiswi PBA UIN MALIKI

sukses adalah perjuangan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Review Buku "Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam"

7 Maret 2020   22:39 Diperbarui: 7 Maret 2020   22:40 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Penerbit Bayumedia Publishing

Judul Buku                  : Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam

Penulis                         : Drs. M. Zainuddin, MA

Penerbit                       : Bayumedia Publishing

Tahun Terbit              : 2003

ISBN                               : 9793323248

Manusia merupakan makhluk mukallaf, yaitu dibebani dengan tanggung jawab serta kewajiban-kewajiban tertentu yang harus dilaksanakan selama hidupnya. Manusia juga memiliki kelebihan-kelebihan lain dibanding dengan makhluk lainnya yang telah Allah ciptakan, yaitu manusia diberikan akal dimana makhluk lain tidak memilikinya. 

Dengan akal pikiran tersebut, manusia mampu untuk menciptakan segala sesuatu yang diinginkannya serta dapat melahirkan inovasi baru dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. 

Hal ini dapat dibuktikan dimana pada abad ke 18 berbagai implikasi sosial dan politik dapat melahirkan cabang ilmu yang disebut dengan sosiologi. Tidak hanya itu, penggunaan senjata nuklir pada abad 20 juga telah melahirkan ilmu baru yaitu palemologi, dan begitu seterusnya.

Menurut Al-‘Aqqad (1973:21), manusia lebih tepat dijuluki sebagai “makhluk yang berbicara” daripada sebagai “malaikat yang turun ke bumi” atau “binatang yang berevolusi” hal ini dikarenakan manusia lebih mulia dari semua makhluk yang ada. 

Alasan ‘Aqqad ini tidaklah berlebihan, sebab “malaikat yang turun ke bumi” tidak memiliki kedudukan sebagai pembimbing ke jalan yang baik maupun yang buruk, demikian pula “binatang yang berevolusi”. Hanya manusialah yang mampu untuk menanggung beban serta tanggung jawab yang diamanatkan kepada makhluk. 

Dengan kelebihan intelektual inilah manusia mampu untuk menciptakan hal-hal baru berupa sains dan teknologi serta lebih unggul daripada makhluk lainnya. Namun manusia juga dapat memiliki kedudukan yang lebih rendah dari binatang apabila ia melakukan tindakan yang destruktif, yaitu melepas keimanannya.

Dalam Al-Qur’an maupun hadits banyak yang membahas mengenai konsep dan nilai-nilai yang dapat digunakan manusia untuk menjalankan kehidupan sehari-hari. Dimana manusia dalam menjalankan kehidupannya harus disertai dengan pengetahuan akan hal tersebut. 

Maka mencari tahu itu wajib hukumnya, atau dengan kata lain mencari ilmu. Banyak ayat dalam Al-Qur’an yang menegaskan mengenai pentingnya menuntut ilmu bagi setiap muslim. 

Bahkan disebutkan dalam hadits, bahwa menuntut ilmu itu dari lahir hingga meninggal dunia. Hal ini sangat jelas bahwa ilmu pengetahuan sangat penting untuk kehidupan manusia itu sendiri serta dapat digunakan untuk menemukan ilmu-ilmu baru yang dapat dikembangkan dikemudian hari.

Menurut pemikiran Barat, antara ilmu dan agama tidak dapat disatukan. Karena dari segi metode, ilmu diperoleh dari jalan indrawi (pengamatan) dan pembuktian (verifikasi) yang berdasarkan eksperimentasi, sementara agama diperoleh dari keyakinan atau wahyu yang dibawa oleh rasul. Tetapi, ilmu secara asasi bertujuan untuk kebahagiaan manusia didunia maupun diakhirat. 

Maka dari itu, antara ilmu dan agama tidak dapat dipisahkan. Pada abad ke 8 sampai 12, Islam mencapai puncak kejayaan dalam ilmu pengetahuan. Setiap cabang ilmu terdapat tokoh-tokoh Islam yang ahli dan terkenal seperti Al-Kindy, Al-Khawarizmi, Ar-Razi, Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Biruni, Al-Ghazali dan lain sebagainya.

Bahkan pada saat itu, Islam tampil sebagai pengisi kesenjangan perkembangan sains dan teknologi disaat Eropa mengalami masa “kegelapan” sejak runtuhnya kerajaan Romawi non-kahtolik dan berkembangnya Katholik Roma. Pada saat itu, Eropa mengalami kemandekan ilmu pengetahuan karena para penguasa gereja tidak concern dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.

Kemajuan Islam pada masa awal dikarenakan adanya pergumulan pemikiran, baik pemikiran yang berupa kefilsafatan maupun teologi. Kemajuan ilmu juga ditunjang oleh kondisi serta dukungan penguasa, disamping konsep Islam memang menuntut hal itu. Banyaknya transmisi ilmu pengetahuan memalui penerjemahan menyebabkan ilmu semakin berkembang pesat pada awal permulaan Islam serta mencapai puncak kejayaan.

Dalam Islam, perkembangan ilmu pengetahuan harus berdasarkan dengan perbaikan serta kelangsungan hidup manusia sebagai khalifah di muka bumi dengan tetap memegang amanah dari Allah. Oleh sebab itu, ilmu harus selalu dalam kontrol iman. Ilmu dan iman harus ada dalam diri seseorang sehingga teknologi sebagai produk dari ilmu bisa bermanfaat untuk manusia sepanjang zaman.

Dalam perspektif Islam, filsafat merupakan upaya untuk menjelaskan cara Allah menyampaikan kebenaran dengan bahasa pemikiran yang rasional. Dan perkembangan filsafat dimulai pada zaman Yunani Kuno yang dimulai kira-kira pada abad ke 6 SM hingga awal abad pertengahan yaitu sekitar tahun 200 SM. Pada zaman itu, kepercayaan masyarakat berubah, dimana mite digantikan oleh logos karena mite tidak dapat menjawab dan memecahkan problema-problema kosmologis.

Kata filsafat berasal dari bahasa Yunani Philos yang berarti cinta dan Sophia yang berarti kebijaksanaan atau wisdom. Sehngga secara umum, filsafat merupakan pengetahuan mengenai kebijaksanaan, prinsip-prinsip mencari kebenaran, atau berfikir rasional-logis, mendalam dan bebas untuk memperoleh kebenaran.

Filsafat ilmu adalah penyelidikan tentang ciri-ciri mengenai pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut. Objek kajian filsafat ilmu dapat dikelompokkan kedalam 3 bagian, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi.

Ontologi menjelaskan mengenai pertanyaan apa, epistemologi menjelaskan pertanyaan mengenai bagaimana dan aksiologi menjelaskan pertanyan untuk apa. Ontologi meliputi permasalahan apa hakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran dan kenyataanyang inheren dengan pengetahuan itu, yang tidak terlepas dari pandangan tentang apa, bagaimana yang ada itu. 

Dari pertanyaan-pertanyaan ontologi dapat melahirkan aliran-aliran dalam filsafat. Misalnya pertanyaan, apakah yang ada (how is being)?, bagaimanakah yang ada itu (how is being)?, dan dimanakah yang ada itu (where is being)? Untuk menjawab pertanyaan mengenai “apakah yang ada itu” lahir empat aliran filsafat, yaitu monisme, dualisme, idealisme, dan agnotisme.

Epistemologi, merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal-muasal, metode-metode dan sahnya ilmu pengetahuan. (Kattsoff, 1987:76). Terdapat tiga persoalan pokok dalam bidang epistemologi:

  • Apakah sumber pengetahuan itu? Dari manakah datangnya pengetahuan yang benar itu? Dan bagaimana cara mengetahuinya?
  • Apakah sifat dasar pengetahuan itu? Apa ada dunia yang benar-benar diluar pikiran kita? Dan kalau ada, apakah kita bisa mengetahuinya?
  • Apakah pengetahuan itu benar (valid)? Bagaimana kita dapat membedakan yang benar dari yang salah?
  • (Harold Titus et.al., 1984: 187-188)

Epistemologi meliputi tata cara dan sarana dalam mencapai pengetahuan. perbedaan dalam pilihan ontologis akan mengakibatkan perbedaan sarana yang akan digunakan yaitu: akal, pengalaman, budi, intuisi atau sarana yang lain. Secara garis besar, epistemologi dibagi menjadi dua aliran pokok yaitu rasionalisme dan empirisme.

Aksiologi, adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang pada umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Aksiologi meliputi nilai-nilai, parameter bagi apa yang disebut sebagai kebenaran atau kenyataan itu. Pertanyaan-pertanyaan mengenai aksiologi dapat dijawab melalui tiga cara menurut Kattsoff, pertama nilai sepenuhnya berhahikat subjektif. 

Kedua, nilai-nilai merupakan kenyataan-kenyataan ditinjau dari segi ontologis namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu. Ketiga, nilai merupakan unsur objektif yang menyusun kenyataan, atau dapat disebut dengan objektivisme metafisik.

Filsafat ilmu dalam konsep Islam, Ilmuan muslim memiliki perspektif yang berbeda-beda dalam merespon sains modern. Pertama, kelompok yang menganggap bahwa sains modern bersifat universal dan netral, serta semua sains tersebut dapat ditemukan dalam Al-Qur’an. 

Kedua, kelompok yang bersaha untuk memunculkan persemakmuran sains di negara-negara Islam. Ketiga, kelompok yang ingin membentuk paradigma baru Islam, yaitu paradigma pengetahuan dan paradigma perilaku.

Para ahli mengakui bahwa bangsa Arab pada abad 8-12 tampil maju karena dua hal: karena pengaruh sinar Al-Qur’an yang memberi semangat terhadap kegiatan keilmuan, karena pergumulannya dengan bangsa asing (Yunani), sehingga ilmu pengetahuan atau filsafat mereka dapat diserap, serta terjadinya akulturasi budaya antar Islam dan Yunani.

Dalam Islam, batasan untuk mencari ilmu adalah bahwa orang-orang Islam harus menuntut ilmu yang berguna dan melarang mencari ilmu yang hahayanya lebih besar dari manfaatnya.  

Pemikir Islam pada abad duapuluh membagi ilmu dalam dua kategori. Pertama, ilmu abadi yang berdasarkan wahyu Ilahi yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun hadits. Kedua, ilmu yang dicari termasuk sains dan terapannya yang dapat berkembang secara kualitatif.

Menurut Zubair, ada empat sumber pengetahuan yang berbeda  menurut tingkat dan kualitas kemampuannya: pengetahuan indrawi, pengetahuan naluri, pengetahuan rasio, pengetahuan intuitif, serta pengetahuan wahyu. Menurut Ibn Sina, pengetahuan mempunyai dua sumber, persepsi (induksi) dan deduksi disatu pihak dan emanasi atau iluminasi dipihak lain.

Dalam Islam lebih menekankan kepada aspek aksiologis dan ontologis. Untuk aksiologi, karena ilmu dan teknologi harus dibangun berdasarkan nilai atau moral yang solid, sehingga kehadiran teknologi tidak akan bersifat destruktif atau merusak umat manusia, namun sebaliknya yaitu mensejahterakan. 

Dan dari segi ontologi, karena ontologi merupakan lapangan penyelidikan yang paling kuno. Namun tidak benar apabila epistemologi dalam Islam tidak mendapat perhatian khusus, epistemologi dalam pemikiran Islam bersifay holistik dan eklektik (rasional, empiris, intuitif, dan berdasarkan wahyu).

Ilmu memiliki kedudukan yang tinggi dan merupakan dari agama itu sendiri dan memiliki beberapa fungsi: sebagai alat/sarana untuk memperoleh tujuan agama, yaitu memperoleh kebahagiaan dunia maupun akhirat, sebagai petunjuk ke arah yang benar, pembebas kebodohan, alat untuk mencapai kemuliaan, dan jalan untuk mendekatkan diri dan mengenal Tuhan, sebagai petunjuk bagi manusia untuk mengelola dan menguasai alam jagat raya ini. Setiap muslim wajib untuk mencari ilmu bahkan Rasulullah mengatakan bahwa mencari ilmu termasuk tingkat “fardhu ain”.

Ilmu yang benar dalam Islam dianggap sebagai petunjuk keimanan. Sebagaimana dalam konsep Islam, bahwa Iman adalah pengakuan dengan lisan dan praktik dalam bentuk amal shaleh (rukun-rukun). Orang yang berilmu dituntut untuk mengamlkan ilmunya, karena amal merupakan buah atau hasilnya.

Dalam Islam, ilmu memiliki empat karakteristik objektif, kerendahan hati, kemanfaatan, dan keajekan (terus menerus). Hubungan antara ilmu dan agama adalah hubungan simbiotik, karena agama menyeru kepada pencarian ilmu dan memberikan posisi mulia bagi para ilmuwan. Agama menjadi pembimbing bagi ilmu agar terarah dan terkendali langkahnya.

Sebagian besar sejarawan baik Timur dan Barat sepakat bahwa  umat Islam memiliki peran yang besar dalam memberikan kontribusinya terhadap dunia Barat/Eropa pada abad pertengahan baik dibidang sosial budaya maupun ilmu pengetahuan. Kebudayaan dan peradaban muslim masuk ke Eropa melalui dua cara yaitu studi orang Barat ke Andalusia dan kontak perdagangan serta penerjemahan. 

Alasan mengapa umat Islam mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan dalam zaman keemasan antara abad ke 8-12 M tak sulit untuk dilacak. Al-Qur’an dan hadits tak habisnya menyeru umat Islam untuk selalu meneliti, mengkaji, dan memelihara alam yang merupakan bagian tak terpisahkan dari manusia itu sendiri.  Jika orang Yunani adalah “bapak metode ilmiah”, maka orang Muslim adalah “bapak angkatnya”.

Namun pada saat ini, umat Islam mengalami kemunduran baik dalam bidang ilmu pengetahuan dan hal ini disebabkan oleh dua faktor yakni faktor internal dan faktor eksternal. 

Faktor eksternal yaitu kekalahan umat Islam dalam perang Salib yang berkepanjangan, dan adanya serangan yang dasyat dari tentara Mongol dibawah komando Jengis Khan dan cucunya Hulagu Khan. Dan faktor internal yaitu semakin memudarnya tali persaudaraan umat dan munculnya fanatisme golongan.

Apabila umat Islam tidak ingin ketinggalan dengan dunia Barat, maka sudah saatnya untuk menghidupkan kembali (revitalisasi) warisan intelektual Islam yang terabaikan selama ini, dan jika perlu mendefinisikan kembali ilmu dengan tetap berdasar pada wahyu dan nilai-nilai Islam, serta tetap memelihara tradisi lama yang baik juga mengambil tradisi baru yang lebih baik. Reorientasi intelektual umat juga harus dimulai dengan pemahaman yang benar dan kritis atas epistemologinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun