Â
Bulan  Agustus-September  ini, keluarga Indonesia sedang disibukkan dengan  jadwal imunisasi MR  [measless rubella] yang diberikan secara gratis  untuk anak berumur 9  bulan - 15 tahun di sekolah dan fasilitas  kesehatan umum. Banyak yang  peduli dan secara sukarela ikut menyebarluaskan kampanye mengenai  pentingnya imunisasi MR ini. Saya  mendapatkan beberapa kiriman video  melalui media sosial yang menayangkan Ibu Yenny Wahid meyakinkan para  orang tua bahwa: Imunisasi  bukan hanya melindungi buah hati kita, tapi  juga orang lain di sekitarnya. Ya, satu orang yang peduli bisa ikut  menyelamatkan orang di  sekitarnya.
Imunisasi yang mulai  dikembangkan pada akhir tahun  1700-an bekerja dengan cara  "memperkenalkan" sistem kekebalan tubuh  pada karakteristik bakteri atau  virus tertentu. Selanjutnya, tubuh akan  mengenali dan mengingat  kelemahan si virus sehingga jika kemudian hari virus yang sama  menyerang, tubuh akan dengan sigap menghancurkannya.  Kalaupun tubuh  tetap terinfeksi, maka sakitnya tidak akan separah  mereka yang belum diimunisasi sebelumnya, bukti bahwa ketahanan tubuh  telah terbentuk.
Imunisasi MS
Prinsip  kerja yang sama bisa diadopsi untuk membangun ketahanan keluarga,  khususnya untuk menghadapi pengaruh negatif yang muncul akibat media  sosial. Kenapa media sosial menjadi penting ketika membahas tentang  ketahanan keluarga? Survey APJII tahun 2016 menunjukkan bahwa anak usia  10-14 tahun yang telah mulai aktif menggunakan internet jumlahnya  mencapai 768 ribu anak, dan sebagian besar adalah pengguna media  sosial.  Internet, gadget, dan media sosial adalah keniscayaan dalam  kehidupan  kita saat ini. Banyak manfaat yang bisa dipetik jika  menggunakan media  sosial dengan bijak dan sebaliknya, ancaman yang sama  besarnya juga bisa  mengintai bagi mereka yang tidak waspada.
Anak  dan  remaja menjadi kelompok yang rentan terhadap pengaruh negatif  media  sosial karena pada usia ini anak mudah sekali menyerap, meniru,  dan  percaya apapun yang dilihatnya di media sosial tanpa menyaring  terlebih  dahulu. Tugas menantang bagi orang tua adalah membangun sistem  ketahanan  mental sehingga anak dapat mengenali dan bertindak cepat  ketika hal-hal  negatif mereka dapatkan dari media sosial. Disinilah  imunisasi MS  berperan. Imunisasi MS? Ya, imunisasi Media Sosial alias  mengenalkan  anak kepada kemungkinan buruk bermedia sosial sehingga anak  tahu  bagaimana mengenali dan menghindarkan diri dari pengaruh buruk  media  sosial.
Pornografi, cyber bullying, hoax,  kekerasan, dan kecanduan internet adalah beberapa hal negatif yang  patut  dijelaskan kepada anak ketika mereka mulai berinteraksi dalam  dunia  maya. Orang tua wajib mendampingi dan menjelaskan apa yang boleh  dan  tidak boleh dilakukan di media sosial. Media sosial seperti rimba  raya  yang belum terjamah dan generasi kita adalah generasi pertama yang  terjun ke dalamnya, anak-anak yang lebih muda mungkin sekali pintar menggunakan media sosial tapi mereka belum mengerti bahwa seringkali  muncul orang berniat jahat yang mencari korban dari media sosial.
Mereka  mengintai anak-anak yang haus perhatian, tidak tahu haru  bercerita pada  siapa, merasa bosan dengan kegiatan di dunia nyata, dan  lain  sebagainya. Untuk itu, tegaskan pada anak untuk tidak menuliskan  informasi pribadi di media sosial, seperti nama lengkap, foto yang  bersifat privat, alamat rumah dan sekolah, nomor ponsel, dan lainnya.  Ajarkan juga untuk tidak melayani ajakan bertemu orang tak dikenal.  Kedua hal ini membuat anak terhindar dari kemungkinan kekerasan yang  bermula dari media sosial, seperti penculikan, pelecehan seksual,  ancaman, hingga pemerkosaan.
Kekerasan yang dialami anak  dan  remaja yang berawal dari hubungan di sosial media telah sangat  meresahkan. Komisi Nasional Perlindungan Anak merilis bahwa pemerkosaan  pada remaja putri oleh kenalannya di media sosial mulai muncul tahun  2011 sebanyak 36 kasus. Tahun 2012, sebanyak 29 kasus dan pada  Januari-Maret 2013 jumlahnya naik lagi menjadi 37 kasus. Pada tahun  2016, KPAI menerima 3.581 kasus pengaduan masyarakat. Dari jumlah itu,  sebanyak 414 kasus merupakan kasus kejahatan anak berbasis siber.  Melesatnya angka kejadian tersebut, ditengarai karena kurangnya  pengetahuan anak mengenai cara bermedia sosial secara bijak serta  dipicu  juga oleh kehampaan yang dialami anak-anak dalam hubungan  emosional di  dunia nyata, baik itu dengan orang tua maupun lingkungan  pergaulan yang  lebih luas.
Akar didasar semua akar, peluklah anakmu