Bentuk meru di kawasan adat Cigugur sama dengan meru di Bali, namun secara fungsi berbeda. Jika di Bali meru merupakan salah satu bangunan suci umat Hindu, maka di Cigugur meru hanyalah bangunan yang digunakan untuk mengobrol, berdiskusi, atau memainkan alat gamelan pada saat upacara seren taun. Meru merupakan bangunan dengan atap bertingkat berbentuk limas. Meru di wilayah adat Cigugur memiliki tingkatan 3, 5, dan 7. Bentuk meru di kawasan adat Cigugur sama dengan meru di Bali, namun secara fungsi berbeda. Jika di Bali meru merupakan salah satu bangunan suci umat Hindu, maka di Cigugur meru hanyalah bangunan yang digunakan untuk mengobrol, berdiskusi, atau memainkan alat gamelan pada saat upacara seren taun.
Sedangkan bangunan pancaniti merupakan bangunan dengan atap berbentuk lingkaran. Jika dilihat dari jauh, pancaniti bentuknya sama dengan jamur kancing. Secara fungsional, bangunan pancaniti merupakan bangunan yang sering digunakan untuk diskusi, musyawarah (sawala), bahkan obrolan antar anggota masyarakat.
Di balik keunikan bentuknya, kami menduga ada nilai-nilai, gagasan, dan proses berpikir matematis pada saat membangun pancaniti yang menarik untuk diidentifikasi. Yang kami lakukan ini merupakan kelanjutan dari penelitian sebelumnya tentang penggunaan palintangan dalam menentukan hari baik oleh masyarakat adat Cigugur untuk memulai menanam padi dan menentukan waktu panen (Umbara et al., 2019), memprediksi hari baik dalam bercocok tanam menggunakan bulan dan parameter tahun kelahiran dengan pendekatan etnomodeling (Umbara et al., 2021d), perhitungan untuk menentukan hari baik membangun rumah dengan pendekatan metodologi etnomodeling (Umbara et al., 2021c), pengukuran simbolik berdasarkan komunikasi sehari-hari masyarakat (Umbara et al., 2021b), menentukan arah mata angin untuk mencari rejeki berdasarkan pada bulan (Umbara et al., 2021a). Kajian etnomatematika yang telah dilakukan telah memberikan gambaran tentang kebiasaan masyarakat asli Cigugur dalam melakukan perhitungan matematis dan memprediksi fenomena dengan menggunakan perhitungan matematis simbolik.
Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa masyarakat adat Cigugur merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat sunda sehingga hasil penelitian ini melengkapi hasil penelitian yang dilakukan terhadap suku-suku Sunda tetapi dalam kelompok yang berbeda, seperti: penelitian prakiraan, pemetaan, iklan membangun pola geometris (Muhtadi et al., 2017), penggunaan perhitungan matematika simbolik yang terdiri dari satuan dasar, panjang, lebar, luas, tinggi, berat, golongan, dan waktu (Abdullah, 2017), dan penggunaan penanggalan Aboge dalam menentukan hari raya di Keraton Kasepuhan Cirebon (Syahrin et al., 2016). Secara umum, studi-studi tersebut hanya menjelaskan enam dimensi dasar dari aktivitas matematika universal. Enam dimensi dasar kegiatan matematika universal terdiri dari: menghitung, menemukan, mengukur, merancang, memainkan, dan menjelaskan (Bishop, 1991).
Namun, studi-studi tersebut memiliki keterbatasan, terutama ketika dihadapkan pada tujuan menyelaraskan realitas antara dunia nyata dan dunia matematika yang beragam dalam suatu kelompok budaya. Penelitian tentang praktek etnomatematika mungkin belum dapat menghasilkan hasil yang menonjol, terutama dalam membangun pemodelan matematika untuk tujuan pedagogis.
Oleh karena itu, diperlukan metode alternatif yang dapat menjembatani konseptualitas hubungan horizontal dan vertikal antara antropologi budaya, etnomatik, dan pemodelan matematis kritis dan konstruktivis melalui dialog struktural kreatif dari sistem yang memiliki representasi berbeda tersebut. Metode alternatif yang dimaksud dikenalkan dengan istilah etnomodeling. Gagasan etnomod ling disarikan dan dikontraskan berdasarkan Prof. Orey sebagai seorang guru di Guatemala pada awal tahun 80-an (Orey & Rosa, 2014) kemudian pada periode 2005-2006 Prof. Orey memulai sebuah proyek bernama “Trilha de Matemática de Ouro Preto” yang bertujuan untuk mengembangkan program yang disebut “O Museu Aberto” (Rosa & Orey, 2013a).
Penelitian etnomatematika melalui penggunaan pendekatan etnomatematika terbukti telah memberikan perspektif yang lebih komprehensif dalam penelitian etnomatematika. Hal ini dapat dilihat pada penelitian kami sebelumnya yang membahas bagaimana masyarakat adat Cigugur menggunakan perhitungan untuk menentukan hari baik untuk membangun rumah (Umbara et al., 2021c), menentukan arah angin untuk keberuntungan berdasarkan parameter bulan (Umbara et al., 2021c). Al.,2021a), dan bagaimana memprediksi hari baik yang akan digunakan untuk bertani (Umbara et al., 2021d). Kegiatan perhitungan yang dilakukan oleh masyarakat adat Cigugur termasuk dalam sistem pengetahuan yang terintegrasi dengan sistem kepercayaan yang merupakan dua dari tujuh unsur budaya universal. Dua dari tujuh unsur universal budaya yang berhasil kita kaji, masih membuka peluang untuk mempelajari lima unsur lainnya, seperti: sistem teknologi dan peralatan hidup, sistem kekerabatan dan organisasi sosial, bahasa, seni, dan sistem mata pencaharian.
Berdasarkan kesempatan tersebut, pada kesempatan ini kami tertarik untuk melakukan kajian etnomatematika dengan menggunakan pendekatan etnomodelling terhadap sistem teknologi dan perlengkapan hidup masyarakat adat Cigugur. Kajian etnomatematika pada sistem teknologi dan peralatan hidup khususnya dapat dilihat pada bentuk geometris, struktur, model dan bentuk bangunan. Bangunan merupakan tempat yang digunakan untuk sh lt r, baik dari terik matahari maupun hujan. Bangunan adalah bukti monumental dari sebuah peradaban. Berdasarkan bukti monumental ini, ternyata keragaman budaya bisa
menghasilkan bentuk, desain, konstruksi, ukuran dan kegunaan yang berbeda satu sama lain. Seperti yang telah kami uraikan sebelumnya, di kawasan masyarakat adat Cigugur terdapat sebuah bangunan bernama Pancaniti.
Atap Pancaniti yang berbentuk lingkaran menarik perhatian kami, terutama tentang ide dan proses pembangunannya. Oleh karena itu, kajian etnomatematika ini berfokus pada aktivitas masyarakat adat Cigugur dalam membangun atap Pancaniti yang berbentuk lingkaran dengan menggunakan pendekatan etnomodeling. Etnomodelling digunakan sebagai proses verifikasi yang ketat dengan menonjolkan nilai-nilai tertentu yang dapat memperkuat praktik matematika dunia nyata dengan dunia matematika itu sendiri yang dikonstruksi oleh aspek antropologi budaya, pemodelan matematika, dan etnomatematika. Berdasarkan hal tersebut, kami melihat kajian ini menarik ketika mampu mengeksplorasi aktivitas Masyarakat Adat Cigugur berdasarkan perspektif etnomatematika dan etnomodelling, khususnya terkait pergeseran konsep etnomatematika ke konsep etnomodelling, untuk menghasilkan aspek pedagogik dalam pengembangan kurikulum matematika sekolah di masa depan.
Nilai-nilai yang terkandung dalam budaya disadari atau tidak mempengaruhi perilaku masyarakat. Nilai berfungsi untuk melengkapi hubungan manusia baik dengan sesamanya maupun dengan lingkungannya. Nilai-nilai budaya secara alamiah muncul, melekat, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dengan berbagai konfigurasinya. Maka tidak diragukan lagi bahwa setiap kebudayaan mengetahui bagian dari warisan turun-temurun dalam upaya untuk bertahan hidup (Jama, 1999). Oleh karena itu, nilai-nilai budaya bersifat eksklusif karena memiliki potensi keragaman dengan budaya lain. Di sisi lain, diyakini bahwa pendidikan adalah bentuk transmisi budaya yang disengaja dan karenanya harus selektif (Bishop, 1991). Berkaitan dengan pendidikan sebagai salah satu bentuk transmisi budaya.