Mohon tunggu...
devilian angel
devilian angel Mohon Tunggu... -

silahkan di komen aja ya

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Buy Local, Eat Local, Live Local

8 Desember 2014   18:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:47 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Tergelitik untuk nulis karena lihat postingan bersliweran yang isinya memprotes MENPAN akibat kebijakan makan makanan lokal.

Saya merasa senang dan bersyukur karena saya pada dasarnya ndeso dan omnivora (baca: pemakan segala alias gembul alias rakus :-p), saya suka makan ubi rebus, ubi goreng, tape, kacang rebus, kacang goreng, kacang asin, jagung, PISANG REBUS, PISANG BAKAR, PISANG GORENG, bahkan ampas tahu (whatttt segembul itukah saya). Kenapa tiba-tiba saya merasa senang dan bersyukur, ya karena saya ga perlu repot-repot untuk menuruti anjuran MENPAN untuk makan makanan lokal (cihuyyy).  Selain itu saya juga senang karena dikaruniai pasangan dan bayi yang tidak kalah omnivoranya dengan saya. Bayi saya, sekarang berusia 8 bulan, belum pernah saya beri makan sereal beras (pamerrrr). Dia serbu segala sayuran (contoh: bayam, wortel, kapri, kale, sawi hijau, labu siam/squash) dan buah, untuk kebutuhan karbohidratnya saya masih mengandalkan gula alami dari buah, ubi, dan jagung. Dia penggemar berat ubi walaupun besoknya dia agak-agak lama buat BAB. Kenapa saya tidak beri dia sereal beras ya simpel saja karena saya tidak mau dia tergantung pada beras, jadi rencana saya ke depannya saya cuma akan beri dia nasi putih sehari dalam seminggu, hari-hari lainnya dia makan ubi, jagung, kentang, roti, dan tidak lupa singkong dan umbi-umbian yang lain. Bukan saya benci nasi putih, saya suka nasi dan seperti kebanyakan orang, saya cari nasi dimana-mana dan kalau 3 hari saya tidak ketemu nasi bawaan saya ya marah-marah (wkwkwkkwkwkw). Tapi nasi bagi saya ya syarat yang perlu tiap tiga hari sekali, sisanya saya cukup puas dengan sumber karbo yang lain. Namun setelah saya hamil dan tinggal di USA saya sadar bahwa kebiasaan makan nasi bukan sesuatu yang sehat jika dilakukan secara berlebihan dan terus menerus, Waktu hamil saya didiagnosa terkena gestational diabetes (yah buat gampang nya diabetes yang hanya muncul saat hamil karena perubahan hormon), saya didorong dorong buat makan ubi oleh dokter dan nurse saya. Sejak saat itu saya gigih mencari info tentang ubi dan sumber karbo sehat lainnya.

Saya cukup terkejut karena hasil riset saya menunjukkan bahwa nasi ternyata memang makanan yang sangat buruk bagi penyadang diabetes dan dibandingkan ubi kandungan gizinya jauhhh tertinggal. Mari kita cek perbandinganberas putih dan ubi, info ini saya dapatkan dari buku Wholesome baby food  (Meade, 2012) dan www.calorieking.com

UBI (medium, dipanggang,±100 gram)

Nasi Putih (Short grain, dimasak,100 gram)

Pisang (Ditumbuk, 1 cup)

Vitamin A

21,909 IUs

Total Fat

0.2g

Vitamin A

144 IU

Vitamin C

39.2 mg

Sat. Fat

< 0.1g

Vitamin C

19.6 mg

Pantothenic Acid

1.76 mg

Cholesterol

0mg

Pantothenic Acid

31 mg

Niacin

2.97 mg

Sodium

0mg

Niacin

1.49 mg

Folate

12 mcg

Total Carbs.

28.7g

Folate

45 mcg

Potassium

950 mg

Protein

2.4g

Potassium

806 mg

Phosphorus

108 mg

Calcium

1mg

Phosphorus

108 mg

Magnesium

13.5 mg

Potassium

26mg

Magnesium

50 mg

Calcium

76 mg

Calcium

11 mg

Sodium

72 mg

Vitamin B6 - .

82 mcg

Iron

1.38 mg

Iron

58 mg

Juga mengandung vitamin, copper, selenium, mangan dan zincdalam jumlah kecil

Vitamin E

Juga mengandung vitamin, copper, selenium, mangan dan zincdalam jumlah kecil

22 IU

Terlihat jelas bahwa ubi meskipun dibilang bikin kentut, dan pisang yang dibilang kurang mengundang selera  jauhh lebih unggul dalam hal gizi dibandingkan nasi putih yang biasa kita konsumsi. So,  know your food before you judge it and write it in a social media. Yang saya cermati dari sini adalah kandungan folat dari ubi dan pisang yang jelas jelas sangat baik bagi otak, jadi saya tidak mengerti kalo ada orang yang berargumen karena otaknya dipakai mikir jadi minta disuguh nasi daripada ubi hahahahhahaha. Selain kandungan gizi yang jauh OK, ubi dan pisang  juga unggul dari segi locality. Ubi dan pisang yang kita produksi lokal jauh lebih segar saat sampai ke tangan kita dibandingkan beras impor yang kita datangkan dari negara tetangga. Lebih lanjut, dengan waktu dan jarak angkut yang lebih pendek karena diproduksi lokal, ubi juga lebih hemat dalam hal jejak karbon (carbon trace). Hehehehe mungkin banyak yang belum kepikir tentang jejak karbon ya, tapi secara kebetulan saya pernah diberi kesempatan jadi translator sekaligus interpretator sebuah tim kecil dari Jepang yang melakukan riset tentang jejak karbon kedelai, beras, dan daging di Jakarta dan Tanggerang. Meskipun saya belum dapat hasil berapa tepat angka jejak karbonnya (Mr. Ryutaro Kamiyama, University of Tokyo..please feel free to fill this empty hole), tapi kami cukup terkejut dengan mata rantai distribusi kedelai dan daging yang super duper panjang, jadi bayangkan dengan impor dari negara tetangga dan kondisi Jakarta yang macet berapa karbon yang kita bakar sebenarnya, jadi sadar atau tidak sadar kita memang salah satu sumber penyebab perubahan iklim dengan pola konsumsi kita yang sekarang. Terlebih lagi, saya ingat waktu saya mengikuti sebuah mata kuliah yang berjudul natural resources management, economic, and sustainaibility, dengan Prof. Ganesh Shivakoti (Asian Institute of Technology) sebagai pengajarnya. Terpampang jelas di slide di depan mata saya bahwa dengan pola konsumsi kita yang lebih suka makan makanan yang fancy (contoh:gandum jadi tepung terigu, terigu jadi cake) kita cuma akan bertahan di bumi ini sekitar beberapa tahun sampai maksimal 40 tahun lagi jika kita tidak didukung oleh sebuah terobosan teknologi dan kesadaran untuk diversifikasi pangan. Ingat kawan kita hidup di bumi dengan carrying capacity yang terbatas.

Kkhusus mengenai pola konsumsi dan bumi, tidak tanggung tanggung sebuah majalah seterkenal National Geographic mengeluarkan satu buku khusus untuk mendorong makan makanan lokal yang berjudul True Food: Eight Simple Steps to a HealthierYou (Penulis Anie B. Bond, Wendy Gordon, dan Alice Walters). Langkah pertama yang yang dijabarkan di buku ini adalah Eat local. Buku ini membahas makanan makanan lokal yang sampai namanya aja sangat asing bagi saya dari seantero dunia (Afrika, Asia, dan Amerika latin). Jadi intinya pergerakan untuk makan makanan lokal itu bukan cuma di Indonesia tapi juga di seluruh dunia. Soalnya orang orang di luar udah mulai sadar kalo sumberdaya kita terbatas buat mendukung gaya hidup kita yang sekarang.

Sebenarnya masih banyak aspek yang belum saya bahas antara lain kebutuhan air padi yang jauh lebih boros dibanding jagung dan palawija lain, atau kandungan arsenik dalam beras seperti yang dijabarkan di www.huffingtonpost.com namun berhubung udah malam dan saya sudah lapar jadi masalah lain ini silahkan di riset sendiri ya.  Cuma satu yang mau saya tekankan di sini, menurut saya pribadi langkah MENPAN untuk mendukung makan makanan lokal adalah sangat tepat dan bagi saya pribadi beliau bukan orang yang suka ikut campur urusan pribadi orang, beliau menurut saya adalah orang pintar yang sudah terbiasa melihat fakta di lapangan dan berpikir luas, Berubah memang sulit, apalagi kalau yang harus dirubah menyangkut urusan perut, tapi kalau kita bisa dapat sumber gizi yang lebih bagus, lebih murah dan lebih ramah bagi bumi apa salahnya kita mulai berubah. Kalau memang yang diributkan adalah tampilan yang tidak menarik karena cuma direbus ya bagaimana kalo kita coba olah saja secara sederhana seperti contohnya ubi jadi kue talam (hmm yummy), singkong jadi bola bola singkong siram (resep dari kakak saya), jagung jadi gerontol (nah yang ini favorit saya, atau kalau mau gagah gagahan kebarat-baratan sedikit coba diolah jadi casserole jagung atau casserole ubi dan masih banyak resep yang lain asal kreatif (nah ibu-ibu silahkan bantu saya di bagian ini..minta masukan ide ide kreatifnya). Sekian tulisan malam ini, saya mau mengisi perut dulu pake tahu dan sayur daun singkong (tanpa nasi, takut gendut karena udah malam J).

Salam perubahan, salam ubi, salam ndeso............Blacksburg. 7 Desember 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun