Mohon tunggu...
devilian angel
devilian angel Mohon Tunggu... -

silahkan di komen aja ya

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Buy Local, Eat Local, Live Local

8 Desember 2014   18:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:47 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

22 IU

Terlihat jelas bahwa ubi meskipun dibilang bikin kentut, dan pisang yang dibilang kurang mengundang selera  jauhh lebih unggul dalam hal gizi dibandingkan nasi putih yang biasa kita konsumsi. So,  know your food before you judge it and write it in a social media. Yang saya cermati dari sini adalah kandungan folat dari ubi dan pisang yang jelas jelas sangat baik bagi otak, jadi saya tidak mengerti kalo ada orang yang berargumen karena otaknya dipakai mikir jadi minta disuguh nasi daripada ubi hahahahhahaha. Selain kandungan gizi yang jauh OK, ubi dan pisang  juga unggul dari segi locality. Ubi dan pisang yang kita produksi lokal jauh lebih segar saat sampai ke tangan kita dibandingkan beras impor yang kita datangkan dari negara tetangga. Lebih lanjut, dengan waktu dan jarak angkut yang lebih pendek karena diproduksi lokal, ubi juga lebih hemat dalam hal jejak karbon (carbon trace). Hehehehe mungkin banyak yang belum kepikir tentang jejak karbon ya, tapi secara kebetulan saya pernah diberi kesempatan jadi translator sekaligus interpretator sebuah tim kecil dari Jepang yang melakukan riset tentang jejak karbon kedelai, beras, dan daging di Jakarta dan Tanggerang. Meskipun saya belum dapat hasil berapa tepat angka jejak karbonnya (Mr. Ryutaro Kamiyama, University of Tokyo..please feel free to fill this empty hole), tapi kami cukup terkejut dengan mata rantai distribusi kedelai dan daging yang super duper panjang, jadi bayangkan dengan impor dari negara tetangga dan kondisi Jakarta yang macet berapa karbon yang kita bakar sebenarnya, jadi sadar atau tidak sadar kita memang salah satu sumber penyebab perubahan iklim dengan pola konsumsi kita yang sekarang. Terlebih lagi, saya ingat waktu saya mengikuti sebuah mata kuliah yang berjudul natural resources management, economic, and sustainaibility, dengan Prof. Ganesh Shivakoti (Asian Institute of Technology) sebagai pengajarnya. Terpampang jelas di slide di depan mata saya bahwa dengan pola konsumsi kita yang lebih suka makan makanan yang fancy (contoh:gandum jadi tepung terigu, terigu jadi cake) kita cuma akan bertahan di bumi ini sekitar beberapa tahun sampai maksimal 40 tahun lagi jika kita tidak didukung oleh sebuah terobosan teknologi dan kesadaran untuk diversifikasi pangan. Ingat kawan kita hidup di bumi dengan carrying capacity yang terbatas.

Kkhusus mengenai pola konsumsi dan bumi, tidak tanggung tanggung sebuah majalah seterkenal National Geographic mengeluarkan satu buku khusus untuk mendorong makan makanan lokal yang berjudul True Food: Eight Simple Steps to a HealthierYou (Penulis Anie B. Bond, Wendy Gordon, dan Alice Walters). Langkah pertama yang yang dijabarkan di buku ini adalah Eat local. Buku ini membahas makanan makanan lokal yang sampai namanya aja sangat asing bagi saya dari seantero dunia (Afrika, Asia, dan Amerika latin). Jadi intinya pergerakan untuk makan makanan lokal itu bukan cuma di Indonesia tapi juga di seluruh dunia. Soalnya orang orang di luar udah mulai sadar kalo sumberdaya kita terbatas buat mendukung gaya hidup kita yang sekarang.

Sebenarnya masih banyak aspek yang belum saya bahas antara lain kebutuhan air padi yang jauh lebih boros dibanding jagung dan palawija lain, atau kandungan arsenik dalam beras seperti yang dijabarkan di www.huffingtonpost.com namun berhubung udah malam dan saya sudah lapar jadi masalah lain ini silahkan di riset sendiri ya.  Cuma satu yang mau saya tekankan di sini, menurut saya pribadi langkah MENPAN untuk mendukung makan makanan lokal adalah sangat tepat dan bagi saya pribadi beliau bukan orang yang suka ikut campur urusan pribadi orang, beliau menurut saya adalah orang pintar yang sudah terbiasa melihat fakta di lapangan dan berpikir luas, Berubah memang sulit, apalagi kalau yang harus dirubah menyangkut urusan perut, tapi kalau kita bisa dapat sumber gizi yang lebih bagus, lebih murah dan lebih ramah bagi bumi apa salahnya kita mulai berubah. Kalau memang yang diributkan adalah tampilan yang tidak menarik karena cuma direbus ya bagaimana kalo kita coba olah saja secara sederhana seperti contohnya ubi jadi kue talam (hmm yummy), singkong jadi bola bola singkong siram (resep dari kakak saya), jagung jadi gerontol (nah yang ini favorit saya, atau kalau mau gagah gagahan kebarat-baratan sedikit coba diolah jadi casserole jagung atau casserole ubi dan masih banyak resep yang lain asal kreatif (nah ibu-ibu silahkan bantu saya di bagian ini..minta masukan ide ide kreatifnya). Sekian tulisan malam ini, saya mau mengisi perut dulu pake tahu dan sayur daun singkong (tanpa nasi, takut gendut karena udah malam J).

Salam perubahan, salam ubi, salam ndeso............Blacksburg. 7 Desember 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun