Risa (17 tahun), tentu bukan nama sebenarnya, ia pernah menjadi korban ujaran kebencian anonim yang dikirimkan seseorang melalui autobase sekolahnya.Â
"Waktu itu kaget aja, aku gatau apa-apa ternyata ada yang ngatain aku muka dua di menfess sekolah." ungkap Risa.
Menanggapi hal tersebut tentu Risa tidak menggubrisnya. Namun ada sisi kesal dalam diri Risa melihat cuitan anonim yang ditujukan untuknya dikirimkan melalui menfess sekolah.Â
"Menfess itu nyebutin inisial nama lengkapku, sebenarnya juga aku ngga tau pasti itu benar untuk aku atau bukan. Cuma kalau memang itu buat aku, daripada ngomong disana mending langsung aja ngomong ke aku." Jelas Risa.
Sebenarnya juga Risa tidak terlalu ambil pusing mengenai hal tersebut, toh juga anonim yang mengirimkan pesan tersebut belum tentu mengenal Risa dengan baik.Â
Berbeda dengan pengalaman yang dialami oleh Risa, Melati (20 tahun) merupakan pengguna X yang pernah mengirimkan menfess untuk mengungkapkan keresahan yang dialaminya.Â
"Aku pernah sekali nggak sengaja nyerobot antrian di salah satu stand minuman di kantin. Eh ternyata orang yang aku serobot itu dosen baru di prodiku." Ungkap Melati.
Lantas Melati yang merasa bersalah tidak tahu harus minta maaf seperti apa. Waktu itu ia merasa takut dan akan sangat memalukan untuk meminta maaf secara langsung. Jadilah saat itu Melati mengirimkan permohonan maafnya melalui menfess autobase kampus.
"Seharian aku kepikiran tentang itu, ngerasa nggak enak sama beliau karena nyerobot antrian gitu aja. Berhubung aku tau beliau main X dan sering interaksi sama base kampus, jadi yaudah aku kirim menfess aja. Semoga beliau liat dan memaafkan." Lanjut Melati.
Melalui dua pengalaman yang dialami oleh Risa dan Melati, dapat kita ketahui bahwa menfess seolah memiliki dua sisi gelap dan terang. Sisi yang dapat membuat seseorang tidak nyaman dan terancam, dan satu sisi lain yang dapat membuat seseorang merasa terbantu.Â
Lantas menilik dari sisi anonimitas, apakah hal tersebut memang marak terjadi di sosial media?