Mohon tunggu...
Vika Chorianti
Vika Chorianti Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pecinta buku, musik dan movie

Wedding Organizer yang sangat mencintai dunia tulis menulis dan membaca buku ;)

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

3 Idiots: Kritik Keras untuk Dunia Pendidikan (India)

4 Februari 2015   06:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:51 9372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semalam saya menonton film India yang berjudul 3 Idiots. Saya mendapat permintaan khusus dari teman terkasih Angga Suanggana untuk meresensi film ini. Dengan senang hati saya menerima tantangan tersebut. Selain karena Angga adalah orang yang istimewa di hati (ciyeeeee), juga karena saya memang suka dengan film ini.

3 Idiots memang bukan film yang baru rilis. Semalam juga bukan pertama kali saya menontonnya. Namun meski ditonton berkali-kali pun, tetap saja selalu meninggalkan kesan yang mendalam di hati. Apalagi kalau bukan karena kelucuannya dan pesan yang ingin disampaikan oleh sang sutradara.

Sesungguhnya saya bukan penggemar film India. Film India yang pernah saya tonton bisa dihitung dengan jari. Ada faktor khusus mengapa saya akhirnya mau menonton film Bollywood. Biasanya karena sang aktris atau aktornya. Saya (agak) suka dengan Shahrukh Khan, Kajol, dan Amitabh Bachchan. Namun tidak semua film yang dibintangi mereka pun saya tonton. Hanya sebagian kecil saja seperti Kuch-kuch Hota Hai, Kabhi Kushi Kabhi Ham, Mohabbatein dan yang agak baru: My Name is Khan.

Hal ini tentu agak berbeda dengan penggemar film India. Saya ingat semasa SMP, saya pernah punya teman yang sangat Indiaholic. Semua film India di televisi tak pernah terlewat. Layaknya Korean Wave yang sekarang melanda, zaman saya SMP adalah era India Wave. Ada stasiun televisi –yang jadi rebutan antara Mba Tutut dan Hery Tanoe, yang selalu menayangkan film-film India setiap harinya.

Nah, kembali ke film 3 Idiots. Pertama kali menonton film ini saya masih berada di Depok. Saya direkomendasikan oleh mantan untuk menontonnya. Dia bilang itu film bagus. Awalnya saya agak ragu karena itu film India dan tidak dibintangi oleh Shahrukh Khan. Namun karena dia pecinta film-film bermutu, maka saya menuruti untuk menontonnya.

Dan benar saja, saat saya menontonnya, hati saya benar-benar meleleh. Film ini, bagus. Saya kehilangan film itu saat saya berpisah dengan mantan, dan baru mendapatkan kembali copy film dari seorang teman akhir-akhir ini. Rasanya begitu senang tak terkira. Sudah dua kali saya menontonnya pasca-mendapat copy film itu. Ketika Angga request, dengan senang hati saya menonton untuk ketiga kalinya.

Adalah Rancho (diperankan oleh Aamir Khan), Farhan (R. Madhavan), dan Raju (Sharman Joshi), 3 sahabat yang kuliah di Imperial College of Engineering (ICE). Kampusnya mirip-mirip dengan ITS dan ITB. Sesuai namanya, kampus ini khusus mempelajari tentang teknik. Mereka mengambil jurusan teknik mesin.

Jalan kisah film ini sesungguhnya sederhana. Berkisah tentang suka duka masa kuliah. Setelah lulus, mereka berkarir masing-masing sesuai dengan bidang yang mereka sukai. Sudah itu saja. Namun dari kesederhanaan tersebut, sang sutradara menyelipkan banyak sekali pesan-pesan moral sekaligus kritikan akan dunia pendidikan di India.

Film ini oleh sang sutradara, Vidhu Vinod Chopra, dibuat menggunakan alur maju mundur. Kebanyakan flashback yang diambil dari sudut pandang orang kedua. Artinya, sang narator bukanlah pemeran utamanya. Kisah ini memang menggunakan narator yang membacakan narasi untuk menyambungkan kisah yang maju mundur itu agar penonton tidak bingung. Karena menggunakan alur maju mundur itu, mungkin penonton tidak sadar bahwa sesungguhnya film itu hanya kisah dalam satu hari.

Ya, hanya kisah satu hari. Film ini dibuka di pagi hari oleh Farhan yang mendapat telepon mendadak dari teman kuliahnya dulu, Chatur. Karena telepon ini, dia bahkan nekat berupaya menghentikan pesawat yang dia tumpangi supaya bisa kembali ke bandara. Dia bahkan membajak seorang penjemput agar mau mengantarkannya menemui, Raju.

Mereka begitu antusias untuk pergi ke kampus karena berita yang disampaikan Chatur, yaitu kedatangan Rancho. Kedua sahabat ini memang kehilangan Rancho pada saat wisuda. Pasca-wisuda itu, Rancho memang menghilang bak ditelan bumi. Hingga 5 tahun pun telah berlalu. Maka, betapa senangnya mereka membayangkan pertemuan dengan sahabatnya itu.

Betapa kagetnya mereka berdua saat sampai di atap gedung kampus. Bukan Rancho yang ada, namun hanya Chatur. Tidak sampai disitu kejengkelan mereka, karena Chatur akhirnya pamer kekayaan yang berhasil dia miliki hasil dari pekerjaannya.Tentu saja tindakan Chatur itu membuat mereka marah bukan kepalang. Karena mereka berdua sudah melakukan hal gila: menghentikan pesawat, membajak penjemput hingga keluar rumah tanpa celana, agar bisa menemui Rancho secepat mungkin.

Chatur berupaya menenangkan sahabat-sahabatnya itu dengan memberitahu kabar tentang keberadaan Rancho di Shimla. Maka, berangkatlah mereka bertiga menuju Shimla. Dalam perjalanan itulah, alur maju-mundur serta narasi ceritanya dimulai.

Saya tidak akan bercerita tentang keseluruhan filmnya, karena lebih nikmat jika menonton sendiri. Saya hanya akan membahas aspek-aspek dalam film ini yang bisa kita cermati. Kita ambil moral ceritanya. Jika memungkinkan bisa kita aplikasikan untuk kehidupan kita sehari-hari.

Dalam narasi itu memang diceritakan bagaimana istimewanya seorang manusia bernama lengkap Ranchoddas Shamaldas Chanchad dari sudut pandang Farhan. Pertemuan mereka, kecerdasan Rancho yang luar biasa, hingga kegilaan-kegilaan yang mereka lakukan selama masa kuliah. Kegilaan yang akhirnya membuat mereka harus berhadapan dengan sang rektor, Viru Sahastrebuddhe. Mereka pun memplesetkan menyebut nama rektor dengan Virus.

Meski film ini bergenre komedi romantis, namun pesan yang ingin disampaikan cukup berat. Melalui naskah yang ditulis oleh Rajkumar Hirani, film ini sebenarnya mengkritik sistem pendidikan di India. Saya memang tidak banyak tahu mengenai pendidikan di India. Saya sedikit terbantu oleh seorang teman Indonesia yang pernah kuliah disana.

Menurut teman saya, India adalah sebuah negara yang paradoks. Negara itu kaya akan sumber daya alam, tetapi lebih dari 40 persen penduduknya hidup dengan penghasilan di bawah 1 dollar AS per hari. India juga memiliki begitu banyak ahli bidang teknik. Sejumlah 30 persen dokter, para pekerja teknologi informasi serta ahli teknik menguasai perusahaan-perusahaan penting di AS.

Banyak orang India menduduki posisi bagus di organisasi internasional. Namun, hampir 40 persen atau lebih dari 350 juta orang dewasa di India buta huruf. Hampir 40 persen anak putus sekolah setelah kelas lima. Dan, lebih dari 55 persen anak putus sekolah setelah kelas delapan. Ini menjadikan Indeks Pembangunan Manusia India berada di peringkat 127, jauh di bawah Indonesia yang berada di peringkat 111.

Kemajuan India dalam ilmu pengetahuan dan teknologi telah diakui dunia. Negara itu telah melahirkan sejumlah pemenang Nobel: Amartya Sen (ekonomi), Subrawanian Chandrashekar dan Chandrashekar Venkataraman (fisika), Hargobind Khorana (kedokteran). Dua warga India lainnya, Bunda Theresa memenangi Nobel Perdamaian dan Rabindranath Tagore di bidang sastra.

Mereka serius dalam menangani bidang pendidikan khususnya sekolah tinggi teknik. Hal ini terlihat dari munculnya sekolah tinggi teknik milik pemerintah yang didanai penuh untuk mengembangkan teknologi di India. Lulusannya diperhitungkan di pasar kerja tingkat dunia. Kumpulan para profesional di bidang teknik, khususnya teknologi informasi, menyerbu AS.

Sekitar 30 persen pekerja perusahaan perangkat lunak raksasa Microsoft di AS berasal dari India, meski Bill Gates hanya menyebut angka sekitar 20 persen. Tidak sedikit pula ahli sains dan teknologi dari India menjadi pengajar di universitas top AS. Para profesional teknik dari India cukup diperhitungkan di tingkat dunia.

Dari penjelasan teman saya itu, saya jadi memahami lebih jelas apa sesungguhnya yang ingin disampaikan oleh pembuat film ini. Pemerintah India seakan ingin mencetak sebanyak-banyaknya tenaga ahli utamanya di bidang teknik. Hal ini saya yakin juga sejalan dengan pemikiran intitut atau sekolah tingginya. Karena saking getolnya, mereka kadang menekan mahasiswa terlalu keras.

14229805611354850606
14229805611354850606

Dalam film itu, kekerasan pihak pemerintah dan kampus diwakilkan pada tokoh rektor (Virus) yang digambarkan sebagai seorang yang sangat kompetitif, tidak mau dikalahkan oleh siapa pun dan tidak punya hati. Virus beranggapan bahwa hidup itu adalah perlombaan. Bahwa siapa saja yang tidak cerdas dan cekatan, dia akan dikalahkan oleh yang lainnya dan tidak dapat bertahan hidup. Bahkan karena kekerasan sikapnya, ada mahasiswanya yang bunuh diri, termasuk juga Raju yang mencoba bunuh diri dengan melompat dari lantai 3 gedung kampus.

Tokoh Rancho memiliki otak luar biasa tetapi dia kritis terhadap kebijakan sang rektor. Banyak adegan-adegan yang menggambarkan bagaimana Rancho berusaha memberikan masukan kepada Virus mengenai cara mengelola sebuah institusi pendidikan.

Berbagai kutipan tersebar di hampir keseluruhan cerita. Seperti: “statistik menunjukkan bahwa setiap satu setengah jam, ada 1 pelajar di India yang bunuh diri. Mati bukan karena sakit, namun karena bunuh diri. Ada sesuatu yang tidak benar. Dalam sistemnya. Disini kami tidak boleh membicarakan sesuatu yang terkait dengan terobosan baru, tidak ada penemuan baru. Hanya omong besar besar, nilai, atau paling bagus, bekerja di perusahaan di Amerika. Kami bahkan tidak diajarkan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, kami hanya diajarkan untuk mendapatkan nilai bagus”

Ada juga seperti: “Universitas adalah lembaga pendidikan bukan panci press cooker.” Atau pernyataan: “Kita memang harus belajar serius, tapi tidak sekedar untuk lulus. Jangan belajar hanya untuk menjadi sukses tapi untuk membesarkan jiwa. Jangan mengejar kesuksesan, tapi kejarlah kesempurnaan, maka sukses akan mendampingimu.”

Melalui pernyataan-pernyataan itu, Vinand Copra seakan ingin menegaskan tentang apa yang ingin dia sampaikan. Meski kritik tersebut disampaikan dengan bumbu komedi, namun ada keseriusan yang mendalam. Hal tersebut bisa dipahami karena pendidikan memang topik yang sangat sensitif di India.

Namun Vinand Copra lihai menjaga emosi penonton. Dia memberi warna romantisme dalam cerita. Seperti layaknya film India pada umumnya, adegan menari dan menyanyi tentu tidak boleh terlewatkan. Dalam film itu memang dikisahkan bahwa Rancho justru jatuh cinta setengah mati kepada anak sang rektor yaitu Phia (Kareena Kapoor). Phia adalah seorang calon dokter yang memiliki sifat keterbalikan dengan sang ayah. Selain menawan, dia juga memiliki jiwa humanisme yang sangat tinggi.

Pada kisah percintaan pun tak lepas disisipkan pesan moral kepada para wanita yang menonton. Bahwa, berhati-hatilah dalam memilih pasangan. Jangan memilih pasangan yang suka menilai segala sesuatunya dengan materi. Karena dia akan lebih mirip keledai daripada manusia.

Film ini secara keseluruhan sangat memukau. Sang sutradara dan penulis berhasil memasukkan pesan moral dan kritikan dengan halus sehingga siapapun tidak akan merasa sakit hati (hanya mungkin sedikit tersindir ;p). Kolaborasi keduanya berhasil memasukkan unsur karakter dan pemilihan waktu cukup detil.

Unsur karakter misalnya. Tiga tokoh utama adalah perwakilan dari setiap kelas masyarakat India. Racho dianggap mewakili orang-orang yang cerdas, kritis serta idealis. Kodrat orang semacam ini sepertinya selalu dibenci oleh kelompok lain yang terganggung. Raju merupakan perwakilan karakter dari kelompok yang selalu takut kepada Pemerintah. Sehingga selalu menuruti apa yang diperintahkan.

Pemilihan tokoh Farhan sebagai narator, menurut saya juga adalah sebuah pilihan yang cerdas. Bukan hanya sebagai unsur sinematografinya, tapi orang semacam Farhan justru mendominasi sebagian besar manusia di bumi ini. Farhan adalah perwakilan dari orang-orang yang tidak punya sikap. Kelompok yang akan selalu melangkah mengikuti arah angin. Tidak kritis, tidak ada ketakutan. Hanya keacuhan atau menerima segala sesuatu sebagai hal yang harus dijalani dalam hidup.

1422980668303285478
1422980668303285478

Tokoh antagonis selain sang rektor adalah Chatur. Dia digambarkan sebagai seorang yang bersedia melakukan apapun agar keinginannya tercapai. Dia tidak segan-segan menggunakan berbagai cara, termasuk cara yang tidak fair sekalipun agar bisa memenuhi hasratnya. Sayangnya di sini dia digambarkan selalu kalah dengan Rancho. Mungkin itu adalah harapan sutradara, agar orang seperti Chatur bisa dikalahkan oleh orang seperti Rancho.

Tentu saja film ini memiliki beberapa kekurangan. Yang utama adalah banyaknya adegan minum anggur dan mabuk. Di India memang tidak ada larangan untuk mabuk. Tapi tentu akan berpengaruh saat film ini diputar di Indonesia.

Ada juga satu scene yang awalnya tampak seperti siang hari, saat Rancho bertemu Phia. Mereka hanya mengobrol sebentar, lalu tiba-tiba suasana berganti malam. Ini mungkin sepele. Tapi bagi saya yang sudah menonton tiga kali, merasa aneh melihatnya.

Film ini dirilis pada 25 Desember 2009, yang diangkat dari novel Five Point Someone karya Chetan Bhagat. Film ini dibuat sejak 28 Juli 2008. Pembuatan film di kota Delhi, Bangalore, Mumbai, Ladakh dan Shimla. Setting tempat yang menggambarkan universitas berada di Indian Institute of Management, Bangalore, dalam waktu 33 hari.

14229807411641028485
14229807411641028485

Meskipun telah enam tahun berlalu semenjak film ini dirilis, ada satu pesan moral utama yang tidak akan lekang oleh zaman. Pesan itu dituturkan oleh Rancho :
“Saat kamu sedang merasa sedih, takut dan gelisah, letakkan tanganmu di dada dan bilanglah “aal izz well”. Karena sesungguhnya hati kita pengecut dan mudah dikelabui. Jika ada masalah dalam hidupmu, katakan pada hatimu semuanya akan baik-baik saja. Hal itu tidak akan menyelesaikan masalah, namun paling tidak memberi hati kita kekuatan untuk mampu bertahan.”

(Vika Chorianti)

Sumber gambar :

3 Idiots (2009) - IMDb

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun