Mohon tunggu...
Devi Istiani
Devi Istiani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa akuntansi di Universitas Teknologi Digital. Hobi saya membaca buku dan menonton film.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Membedah Fraud Pentagon di Perusahaan Sektor Properti dan Real Estate

20 November 2024   18:16 Diperbarui: 20 November 2024   18:16 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fraud Pentagon merupakan pengembangan dari model Fraud Triangle. Jika Fraud Triangle menjelaskan tiga elemen utama yang berkontribusi terhadap kecurangan (tekanan, kesempatan, dan rasionalisasi), Fraud Pentagon menambahkan dua elemen lagi, yaitu kemampuan (competence) dan arogansi (arrogance). Fraud Pentagon memberikan pandangan yang lebih komprehensif tentang motivasi dan perilaku kecurangan. Dua elemen tambahan, kompetensi dan arogansi, sangat relevan dalam kasus kecurangan korporasi yang melibatkan eksekutif senior. Teori ini menunjukkan bahwa pelaku kecurangan tidak hanya didorong oleh tekanan, kesempatan, dan rasionalisasi, tetapi juga oleh kemampuan teknis yang memungkinkan mereka mengeksekusi kecurangan dengan sukses dan rasa superioritas yang membuat mereka merasa tidak akan tertangkap. Model ini memberikan pandangan yang lebih luas mengenai faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kecurangan dalam organisasi, terutama dalam konteks pelaporan keuangan (B. Crowe, 2011)

Untuk perusahaan, Fraud Pentagon menawarkan kerangka yang lebih luas untuk mencegah kecurangan dengan memperkuat pengawasan, meningkatkan kontrol internal, dan menciptakan lingkungan etis yang kuat.

A.  Elemen Fraud Pentagon

1. Tekanan (Pressure)

Dalam banyak kasus kecurangan, tekanan merupakan faktor awal yang menciptakan kondisi di mana seseorang merasa terpaksa atau tergoda untuk menipu. Jenis tekanan ada tiga yaitu tekanan finansial seperti masalah hutang pribadi, gaya hidup yang melebihi penghasilan, atau kebutuhan finansial mendesak yang membuat seseorang mencari jalan pintas untuk menyelesaikan masalah tersebut. Adapula tekanan pekerjaan yaitu target penjualan atau kinerja yang sangat tinggi dan tidak realistis, serta ancaman kehilangan pekerjaan jika target tidak tercapai. Bonus atau promosi berbasis kinerja juga dapat menambah tekanan ini, serta tekanan sosial seperti individu bisa merasakan tekanan dari lingkungan keluarga atau sosial yang memaksanya untuk mempertahankan citra tertentu, misalnya, memiliki gaya hidup mewah atau menjadi penyedia utama keuangan keluarga. Contoh: Seorang manajer yang memiliki gaya hidup mewah mungkin menghadapi tekanan untuk terus mempertahankan status tersebut, meskipun pendapatannya tidak cukup. Hal ini bisa memotivasinya untuk melakukan kecurangan demi memperoleh keuntungan pribadi.

Leverage = Total Liabilitas / Total Aset

2. Kesempatan (Opportunity)

Kesempatan muncul ketika ada kelemahan dalam sistem pengendalian internal yang memungkinkan individu melakukan kecurangan tanpa terdeteksi. Sistem yang tidak efektif atau longgar memberi peluang bagi pelaku kecurangan. Faktor ini melibatkan kelemahan dalam struktur organisasi, kurangnya pengawasan, atau akses yang tidak diawasi terhadap data keuangan dan aset perusahaan. Contoh: Karyawan dengan akses penuh ke sistem keuangan perusahaan tanpa pengawasan yang memadai memiliki kesempatan untuk menyalahgunakan sumber daya   perusahaan.

IND = Jumlah Komite Audit Independen / Jumlah Komite Audit

Jumlah komite audit independen (IND) dalam penelitian ini menggunakan perhitungan jumlah komite audit independen dibagi dengan jumlah komite audit.

3. Rasionalisasi (Rasionalization)

Individu yang melakukan kecurangan sering kali menemukan pembenaran mental untuk tindakan mereka. Rasionalisasi ini memungkinkan pelaku kecurangan untuk meyakinkan diri mereka sendiri bahwa tindakan mereka dapat diterima atau bahkan diperlukan. Individu yang melakukan kecurangan sering kali berusaha membenarkan tindakan mereka secara moral atau etis. Mereka mungkin merasa bahwa kecurangan itu sah atau bahwa tindakan mereka "tidak terlalu buruk." Rasionalisasi memungkinkan pelaku untuk merasa nyaman dengan tindakan tidak etis yang dilakukan. Contoh: Seorang pegawai mungkin berpikir bahwa mencuri uang dari perusahaan bukan masalah besar karena ia merasa tidak dibayar cukup atau diperlakukan tidak adil.

Opini Audit (OPNADT) dalam penelitian ini menggunakan variabel dummy. Apabila terdapat opini audit selama periode Tahun 2018-2023, Jika dengan bahasa penjelas diberi kode 1, jika tidak dengan bahasa penjelas diberi kode 0.

4. Kemampuan (Competence)

Pelaku kecurangan biasanya memiliki kemampuan, pengetahuan, atau keahlian yang cukup untuk mengeksploitasi kelemahan dalam sistem. Mereka tahu bagaimana cara menghindari pengawasan atau menutupi jejak mereka, yang memungkinkan kecurangan terjadi secara efektif.Kompetensi merujuk pada keahlian atau kemampuan seseorang untuk melakukan  kecurangan dengan sukses dan tanpa tertangkap. Faktor ini mencakup pemahaman tentang bagaimana sistem internal bekerja, serta kemampuan untuk mengeksploitasi kelemahan dalam sistem tersebut. Pelaku yang memiliki kapabilitas teknis yang tinggi atau berada di posisi otoritas sering kali lebih mampu memanfaatkan kesempatan yang ada untuk melakukan kecurangan. Contoh: Seorang CFO (Chief Financial Officer) yang memahami sistem akuntansi perusahaan dan memiliki keahlian tinggi dalam manipulasi laporan keuangan akan lebih mungkin melakukan kecurangan tanpa terdeteksi.

Pergantian Direksi (DCHANGE) dalam penelitian ini menggunakan variabel dummy, jika ada pergantian direksi selama periode Tahun 2018-2023 maka diberi kode 1, namun jika tidak ada pergantian diberi kode 0.

5. Arogansi (Arrogance)

Arogansi adalah tambahan yang membedakan Fraud Pentagon dari teori sebelumnya. Ini merujuk pada rasa superioritas atau kesombongan individu yang meyakini bahwa mereka berada di atas hukum atau peraturan. Individu yang sombong sering kali merasa bahwa aturan tidak berlaku bagi mereka, atau mereka percaya bahwa mereka terlalu pintar atau terlalu kuat untuk tertangkap. Arogansi ini bisa muncul terutama di kalangan eksekutif senior atau individu dengan kekuasaan yang signifikan di perusahaan. Contoh: Seorang CEO yang merasa bahwa mereka tidak perlu mematuhi aturan akuntansi karena mereka telah membawa banyak keuntungan bagi perusahaan mungkin merasa "kebal" terhadap aturan dan melakukan manipulasi laporan keuangan. Elemen arogansi mencakup sikap superioritas yang dimiliki pelaku, di mana mereka merasa aturan tidak berlaku bagi mereka atau merasa tidak akan tertangkap. Arogansi ini bisa berasal dari kekuasaan atau posisi tinggi dalam organisasi, yang membuat mereka merasa tidak perlu mengikuti aturan (Marks J, 2012)

Jumlah frekuensi banyaknya foto CEO (CEOPIC) dalam penelitian ini diukur dengan total foto CEO yang terdapat pada laporan keuangan tahunan secara berulang-ulang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun