Mohon tunggu...
Devi Istiani
Devi Istiani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa akuntansi di Universitas Teknologi Digital. Hobi saya membaca buku dan menonton film.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Membedah Fraud Pentagon di Perusahaan Sektor Properti dan Real Estate

20 November 2024   18:16 Diperbarui: 20 November 2024   18:16 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

BAB II

KAJIAN LITERATUR

2.1    Kajian Pustaka

Menurut Irham (2014), teori keagenan menjelaskan cara manajemen dan pemegang saham berinteraksi satu sama lain. Teori ini menjelaskan situasi di mana manajemen sebagai pelaksana yang disebut agen, dan pemilik modal atau pemilik yang disebut sebagai prinsipal, membangun sebuah kontrak kerja sama yang disebut "nexus of contract". Kontrak kerja sama ini berisi kesepakatan yang mengatakan manajemen perusahaan akan berusaha sebaik mungkin untuk memenuhi kebutuhan klien.

Teori keagenan didasarkan pada asumsi bahwa setiap pihak dalam suatu hubungan kontrak bertindak secara rasional untuk memaksimalkan kepentingannya sendiri. Dalam konteks perusahaan, terdapat dua pihak utama yaitu prinsipal sebagai pemilik atau pemegang saham yang memberikan wewenang kepada agen untuk mengelola aset mereka dan agen sebagai manajer yang dipercaya untuk menjalankan bisnis atas nama pemilik. Dalam suatu perusahaan, pemegang saham menginginkan hasil pengembalian investasi yang tinggi, sedangkan manajer memiliki kepentingan untuk memperoleh hasil atau kompensasi yang tinggi atas kinerja mereka (Bawekes F.Helda, 2018). Masalah yang sering muncul dari hubungan ini disebut dengan agency problem yang terdiri dari dua jenis utama yaitu masalah keagenan (agency problem) dan asimetri informasi. Masalah keagenan terjadi ketika agen tidak bertindak sesuai dengan kepentingan terbaik prinsipal, misalnya mengambil keputusan yang menguntungkan mereka secara pribadi tetapi merugikan prinsipal. Asimetri informasi yang dimana agen memiliki banyak informasi dibandingkan prinsipal dan ini memungkinkan agen untuk bertindak secara oportunis karena pemilik tidak memiliki informasi yang cukup untuk memantau tindakan agen. Karena masing-masing pihak memiliki kepentingan yang berbeda, hal ini dapat menyebabkan kurangnya kesepakatan atau keharmonisan.

Beberapa mekanisme yang dapat digunakan untuk mengurangi masalah keagenan antara lain adanya pengawasan (monitoring) yaitu prinsipal dapat memantau kinerja agen melalui laporan keuangan audit eksternal bertujuan untuk membantu mengurangi asimetri informasi antara agen dan prinsipal, adanya pemberian insentif kepada agen seperti bonus, kepemilikan saham, atau opsi saham dapat menyelaraskan kepentingan agen dengan prinsipal, serta adanya kontrak keagenan (agency contract) dengan penggunaan kontrak yang tepat dapat membantu perilaku agen yang tidak sesuai dengan kepentingan prinsipal.

Dalam konteks perusahaan modern, teori keagenan memiliki aplikasi yang luas. Salah satu tantangan utamanya adalah konflik antara manajemen dan pemegang saham, terutama dalam perusahaan publik dimana kepemilikan tersebar dan kontrol terhadap manajemen menjadi lemah. Beberapa isu yang sering dikaitkan dengan agency theory meliputi pengelolaan laporan keuangan dengan manajemen dapat terlibat dalam manipulasi laporan keuangan untuk mencapai target pribadi atau mempertahankan posisinya, kebijakan dividen dalam pengambilan keputusan terkait distribusi laba kepada pemerintah saham yang bisa jadi bertentangan dengan kepentingan manejemen, dan pengambilan investasi yang berisiko tinggi oleh manajemen terutama jika merasa terlindungi dari kerugian finansial pribadi.

Meskipun teori keagenan sangat relevan dalam memahami hubungan antara manajemen dan pemilik, teori ini mendapat kritik dari beberapa sudut pandang diantaranya pendekatan rasionalitas terbatas yang mengansumsikan bahwa semua pihak bertindak secara rasional untuk memaksimalkan kepentingannya sendiri, namun dalam praktiknya, seringkali terdapat faktor-faktor psikologis dan emosional yang mempengaruhi pengambilan keputusan, teori yang berorientasi pada pasar lebih menekankan hubungan pasar, seperti insentif keuangan dan pengawasan, dan kurang mempertimbangkan aspek sosial dan moral yang mungkin juga dapat berpengaruh terhadap perilaku agen, serta relevansi dalam konteks budaya yang berbeda menjelaskan hubungan antara prinsipal dan agen bisa dipengaruhi oleh norma-norma sosial yang tidak sepenuhnya dijelaskan oleh teori keagenan.

Di Indonesia, teori keagenan sangat relevan terutama setelah munculnya kasus-kasus besar terkait kecurangan laporan keuangan, seperti yang terjadi dalam skandal Garuda Indonesia dan perusahaan-perusahaan BUMN lainnya. Dengan dilakukannya penerapan yang tepat dan ketat terhadap peraturan pemerintah melalui LAPORAN TAHUNAN OJK 2020 dan penguatan tata kelola perusahaan yang baik, teori keagenan menjadi kerangka penting dalam memahami konflik kepentingan dan asimetri informasi diantara menajer dan pemegang saham.

2.1.1 Laporan Keuangan

Laporan keuangan merupakan salah satu alat penting dalam manajemen keuangan perusahaan dan memainkan peran kunci dalam pengambilan keputusan oleh berbagai pemangku kepentingan, seperti manajemen, pemegang saham, investor, kreditor, pemerintah, dan publik. Laporan ini mencerminkan hasil dari aktivitas keuangan suatu entitas selama periode tertentu dan digunakan sebagai dasar untuk menilai kinerja, kondisi keuangan, serta potensi keberlanjutan perusahaan.

Menurut (Ikatan Akuntan Indonesia, n.d.) menjelaskan laporan keuangan adalah bagian dari proses pelaporan keuangan yang lengkap, dalam Standar Akuntansi Keuangan. Proses ini terdiri dari neraca, alaporan laba rugi, laporan perubahan ekuitas, laporan arus kas, serta catatan atas laporan keuangan.

Laporan keuangan harus disusun berdasarkan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum, sehingga dapat memberikan informasi yang relevan, andal, dapat dibandingkan, dan dapat dipahami oleh para penggunanya. Selain itu, laporan keuangan harus mencerminkan keadaan yang sebenarnya (true and fair view) atas posisi keuangan dan kinerja entitas.

A.   Komponen Laporan Keuangan

 1. Laporan Posisi Keuangan atau Neraca (Balance Sheet)

Merupakan laporan yang mencerminkan posisi keuangan suatu entitas pada tanggal tertentu. Ini mencakup aset (harta), kewajiban (liabilitas), dan ekuitas pemegang saham (modal). Neraca memberikan gambaran tentang seberapa besar aset perusahaan dan bagaimana aset tersebut didanai, baik dari ekuitas atau pinjaman. Contoh: Aset terdiri dari aset lancar (kas, piutang) dan aset tetap (bangunan, peralatan), sedangkan kewajiban dapat berupa utang jangka pendek maupun Panjang (Donald E. Kieso et al., 2014).

2. Laporan Laba Rugi (Income Statement)

Menunjukkan kinerja keuangan perusahaan selama periode tertentu, dengan menyajikan pendapatan, beban, laba, atau rugi bersih. Ini memberikan wawasan tentang kemampuan entitas untuk menghasilkan keuntungan dari operasi bisnisnya. Contoh: Laporan laba rugi menguraikan total pendapatan yang dihasilkan, pengurangan beban operasional, pajak, dan menghitung laba bersih pada akhir periode (Donald E. Kieso et al., 2014).

3. Laporan Perubahan Ekuitas (Statement of Changes in Equity)

Menggambarkan perubahan ekuitas pemegang saham selama periode tertentu, termasuk laba ditahan, kontribusi modal, dan distribusi dividen. Ini penting untuk memahami pergerakan modal dan bagaimana laba perusahaan dibagikan kepada pemegang saham. Contoh: Perubahan modal yang terjadi akibat laba bersih atau dividen yang dibagikan (Donald E. Kieso et al., 2014).

4. Laporan Arus Kas (Cash Flow Statement)

Melaporkan arus kas masuk dan keluar yang dihasilkan dari aktivitas operasi, investasi, dan pendanaan. Laporan ini penting untuk menilai likuiditas perusahaan, atau seberapa baik bisnis memenuhi kewajiban jangka pendek dan mendanai investasi baru. Contoh: Kas dari operasi (penjualan), investasi (pembelian aset tetap), dan pendanaan (penerbitan saham atau utang) (Donald E. Kieso et al., 2014).

5. Catatan atas Laporan Keuangan (Notes to the Financial Statements)

Menyediakan penjelasan rinci mengenai kebijakan akuntansi yang digunakan dan mendapatkan informasi tambahan untuk mengetahui laporan keuangan secara keseluruhan. Catatan ini dapat mencakup penjelasan tentang komitmen, kontinjensi, metode depresiasi yang digunakan, dan penjelasan aset atau kewajiban tertentu (Donald E. Kieso et al., 2014).

B.   Fungsi Laporan Keuangan

 1. Sebagai Alat Pengambilan Keputusan

Laporan keuangan memberikan data penting yang digunakan manajemen dalam perencanaan, pengendalian, dan pengambilan keputusan strategis. Investor juga menggunakan laporan ini untuk menentukan apakah akan menanamkan modal atau tidak.

2. Evaluasi Kinerja Keuangan

Melalui analisis laporan laba rugi, neraca, dan arus kas, manajemen dapat menilai efektivitas operasional, efisiensi penggunaan sumber daya, dan profitabilitas perusahaan.

3. Transparansi dan Akuntabilitas

Laporan keuangan yang disusun secara transparan memastikan bahwa perusahaan bertanggung jawab kepada pemegang saham dan otoritas pemerintah mengenai bagaimana dana diinvestasikan dan digunakan.

4. Alat untuk Menarik Investasi

Investor dan kreditor sering kali menilai kesehatan keuangan perusahaan dengan menggunakan laporan keuangan untuk memutuskan apakah perusahaan tersebut layak untuk mendapatkan dana atau investasi baru (Eugene F. Brigham & Joel F. Houston, 2019).

C.   Karakteristik Kualitatif Akuntansi

Menurut (Ikatan Akuntan Indonesia, 2015) pada Standar Akuntansi Keuangan (SAK) laporan keuangan yang baik harus mengandung karakteristik kualitatif akuntansi, seperti:

1. Dapat dipahami

Informasi yang disajikan dalam laporan keuangan harus mudah dipahami oleh pengguna atau pamakai laporan keuangan.

2. Relevan

Informasi yang disajikan harus relevan agar pengguna atau pemakai laporan keuangan dapat membuat keputusan.

3. Keandalan

Informasi yang disajikan harus dapat dipertanggungjawabkan, wajar, dapat diandalkan dan tidak menyesatkan.

4. Dapat dibandingkan

Pengguna laporan keuangan dapat membandingkan laporan keuangan perusahaan dari periode ke periode, untuk menemukan tren atau kecenderungan kinerja posisi keuangan, dan perubahan posisi keuangan yang terkait.

2.1.2  Kecurangan (Fraud)

A. Definisi Kecurangan

Kecurangan atau fraud dalam konteks keuangan dan bisnis didefinisikan sebagai tindakan ilegal yang dilakukan dengan niat untuk memperoleh keuntungan finansial atau pribadi dengan cara menipu. Kecurangan bisa terjadi di berbagai level organisasi, mulai dari karyawan, manajemen, hingga eksekutif tertinggi, dan dapat berdampak signifikan terhadap kesehatan finansial perusahaan serta kepercayaan publik. Beberapa pengertian kecurangan menurut para ahli sebagai berikut:

1. Menurut (Hopwood William S; Leiner Jay J; Young George R, 2019) menjelaskan bahwa fraud adalah tindakan tidak jujur yang dilakukan oleh individual tau kelompok untuk memperoleh keuntungan finansial atau menghindari kerugian. Definisi ini mencakup berbagai jenis penipuan, seperti penyalahgunaan asset, korupsi dan penipuan laporan keuangan.

2. Dalam Statement on Auditing Standards (SAS) No. 99, kecurangan didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan dengan sengaja untuk memberikan pernyataan yang keliru atau menghilangkan fakta material guna menipu pihak lain.

3. Menurut (Association of Certified Fraud Examiners, 2019), kecurangan adalah tindakan yang disengaja oleh seseorang atau sekelompok orang untuk menipu pihak lain, yang menyebabkan pihak tersebut menderita kerugian dan pelaku mendapatkan keuntungan.

B.    Fraud Digolongkan Menjadi Tiga

Menurut (Association of Certified Fraud Examiners, 2019) fraud digolongkan menjadi 3 (tiga), yaitu:

1.  Penyimpangan Terhadap Aset (Asset Missappropriation)

Penyimpangan aset adalah Ketika orang internal atau eksternal perusahaan menyalahgunakan, mencuri, atau mengambil harta perusahaan. Jenis fraud ini adalah berwujud (intangible).

2.  Pernyataan Dibuat Salah ataupun Menipu (Fraudulent Statement)

Ini adalah jenis penipuan yang biasa dilakukan oleh manajemen, manajer senior, atau pejabat eksekutif dengan tujuan untuk merekayasa laporan keuangan yang sebenarnya.

3.  Korupsi (Corruption)

Jenis penipuan ini sulit dideteksi karena melibatkan kerja sama orang lain untuk memperoleh keuntungan dari dua pihak. Biasanya seperti hadiah, penyuapan, pengutan liar, dan penyalahgunaan wewenang.

C.   Faktor Penyebab Kecurangan

Menurut (Suryandari, 2019) menjelaskan bahwa kemungkinan kecurangan pada laporan keuangan bisa terjadi karena lebih saji dalam melaporkan pendapatan.

1. Overstating Revenues

a) Sham Sales (penjualan fiktif) adalah cara menunjukkan bahwa penjualan tidak terjadi, tetapi dibuat dengan membuat pos, seperti suatu entitas bertujuan khusus (special purpose entity) yang dibuat sebagai penjual dan memanipulasi dokumen pendukungnya.

b) Premature Revenue Recognition, karyawan dapat mencatat pendapatan sebelum barang dikirim untuk meningkatkan pendapatan selama periode berjalan.

c) Recognition of Conditional Sales, ini menunjukkan bahwa karyawan mencatat penjualan dari transaksi yang belum selesai karena perusahaan masih memiliki kewajiban kontijensi.

d) Abuse of Cutt-off Date of Sales, berarti bahwa karyawan meningkatkan pendapatan periode berjalan sehingga mereka memindahkan pendapatan periode sebelumnya ke periode sekarang.

e) Misstatement of the Percentage of Completion, maksudnya adalah selama kontrak berlangsung, karyawan dapat meningkatkan persentase penyelesaian kontrak.

2. Overstating Sales

a) Inventories fraud, biasanya melibatkan lebih banyak investaris pada persediaan akhir. Jika terdeteksi, pelaku fraud mengklaim bahwa ini adalah akibat dari kesalahan perhitungan.

b) Account receivable, karena kurangnya penyisihan piutang tak tertagih atau penipuan yang terjadi pada saldo akhir piutang usaha, maka bisa terjadi overstatement pada piutang usaha.

c) Property, plan and equipment, asset tetap bisa lebih saji meskipun sudah mengalami penyusutan.

D.   Dampak Terjadinya Kecurangan

1.  Kerugian Finansial

Menurut survei ACFE (2020), rata-rata perusahaan kehilangan sekitar 5% dari pendapatannya setiap tahun akibat kecurangan. Dalam beberapa kasus, kecurangan besar dapat menyebabkan kebangkrutan perusahaan.

2. Kerusakan Reputasi

Kecurangan, terutama jika diketahui publik, dapat merusak reputasi perusahaan dan mengurangi kepercayaan investor, pelanggan, dan mitra bisnis.

3. Tindakan Hukum dan Regulasi

Perusahaan yang terlibat dalam kecurangan bisa menghadapi denda besar, litigasi, dan bahkan penjara bagi eksekutif yang terlibat.

E.   Tindakan Untuk Mencegah Terjadinya Kecurangan 

1.  Pengendalian Internal yang Efektif

Membuat sistem pengendalian internal yang kuat untuk mendeteksi dan mencegah kecurangan, seperti audit internal yang rutin, pemisahan tugas, dan pengawasan yang ketat seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Indonesia atau Securities and Exchange Commision (SEC) di Amerika Serikat (Sri Warni, 2022).

2. Peningkatan Etika Perusahaan

Menanamkan budaya etika di seluruh organisasi melalui pelatihan, kebijakan anti-kecurangan, dan sanksi tegas terhadap pelanggaran (Wijaya et al., 2021).

3. Menggunakan Audit Eksternal Independen

Menggunakan auditor eksternal yang independen untuk memverifikasi keakuratan laporan keuangan dan sistem pengendalian internal perusahaan (Wijaya et al., 2021)

4. Analisis Rasio Kuangan

Untuk mengidentifikasi anomali atau pola yang tidak wajar dalam laporan keuangan yang bisa mengindikasikan adanya kecurangan. Dengan memantau rasio keuangan secara cermat, auditor, manajemen, dan regulator bisa mendeteksi tanda-tanda manipulasi atau penyajian laporan keuangan yang tidak wajar. Misalnya model M-Score atau Beneish (Wijaya et al., 2021).

5. Meningkatkan Profesionalisme dan Integritas Manajemen

Meningkatkan profesionalisme dan integritas manajemen untuk dapat mendeteksi kecurangan melalui analisis rasio keuangan dengan dilakukan pelatihan untuk mengenali pola-pola yang dapat menunjukkan adanya overstatement atau understatement (Wijaya et al., 2021).

2.1.3 Kecurangan Laporan Keuangan

A. Pengertian Kecurangan Laporan Keuangan

Menurut American Institute Certified Public Accountants (AICPA) kecurangan laporan keuangan didefinisikan sebagai kegiatan yang direncanakan atau kecerobohan yang mengakibatkan penyajian laporan keuangan tahunan tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya. Contoh termasuk merekayasa laporan keuangan menjadi lebih kecil dari aslinya (under statement) atau lebih besar dari pada aslinya (over statement).

B. Upaya Kecurangan Laporan Keuangan

Menurut Statement on Auditing Standards (SAS) No.99, kecurangan laporan keuangan dapat terjadi melalui beberapa upaya, sebagai berikut:

1) Mengubah catatan akuntansi dan dokumen pendukung laporan keuangan.

2) Melakukan kekeliruan, baik secara sengaja ataupun disengaja yang berkaitan dengan elemen laporan keuangan.

3) Mengubah peraturan yang berkaitan dengan laporan keuangan.

C. Pelaku Utama Kecurangan Laporan Keuangan

Menurut (Suryandari, 2019) berikut pelaku utama yang biasanya terlibat dalam kecurangan laporan keuangan, yaitu:

1) Manajemen Puncak (Top Management)

Manajemen puncak, termasuk Chief Executive Officer (CEO) Chief Financial Officer (CFO) dan eksekutif lainnya, merupakan pelaku utama dalam banyaknya kasus kecurangan laporan keuangan. Karena mereka memiliki akses langsung dan control penuh terhadap penyusunan laporan keuangan dan berperan penting dalam membuat suatu keputusan strategis yang terkait dengan pelaporan.

2) Akuntan Internal dan Departemen Keuangan

Akuntan internal dan departemen keuangan dapat terlibat dalam kecurangan laporan keuangan karena mereka bertanggung jawab atas pengolahan dan penyusunan laporan keuangan perusahaan. Tindakan mereka melakukan kecurangan laporan keuangan seperti rekayasa angka laporan dengan mengubah pendapatan atau pengeluaran agar sesuai dengan target, memalsukan dokumen pendukung, seperti faktur, laporan pajak, atau dokumen keuangan lainnya, serta mengabaikan kewajiban untuk melaporkan kesalahan yang diketahui atau sengaja menyembunyikan fakta yang relevan dari auditor eksternal.

3) Komite Audit atau Dewan Direksi

Komite audit atau dewan direksi memiliki peran pengawasan terhadap laporan keuangan. Jika mereka lalai atau ikut serta dalam konspirasi untuk menyetujui laporan keuangan yang dimanipulasi, mereka bisa dianggap sebagai pelaku kecurangan.Pelaku dikalangan ini mungkin mengabaikan laporan kecurangan yang disampaikan oleh auditor atau pihak ketiga lainnya, dan memberikan persetujuan terhadap kebijakan akuntansi yang dipertanyakan seperti memperbolehkan pengakuan pendapatan prematur atau menyetujui pencatatan asset yang tidak wajar.

4) Auditor Eksternal

Auditor elsternal seharusnya berfungsi sebagai penjamin keakuratan laporan keuangan. Namun, dalam beberapa kasus, auditor eksternal terlibat atau melakukan pembiaran terhadap kecurangan laporan keuangan. Mereka mungkin menutup mata terhadap bukti-bukti kecurangan karena tekanan dari klien (perusahaan yang diaudit), dan melakukan manipulasi laporan audit untuk menutupi atau mengurangi tingkat pelanggaran yang ditemukan.

5) Pemegang Saham Pengendali

Pemegang saham pengendali atau pemilik perusahaan besar sering terlibat dalam kecurangan laporan keuangan, terutama dalam perusahaan swasta atau keluarga. Mereka mungkin mengarahkan manajemen untuk memanipulasi laporan keuangan agar sesuai dengan kepentingan mereka, atau memaksakan keputusan akuntansi yang tidak wajar untuk mengurangi pajak, memperbesar keuntungan, atau menarik investor.

6) Karyawan Biasa atau Staf Tingkat Menengah

Walaupun jarang terjadi, karyawan biasa atau staf tingkat menengah yang bekerja di bagian keuangan juga dapat terlibat dalam kecurangan laporan keuangan,terutama jika mereka memiliki akses ke sistem akuntansi. Karyawan ini mungkin menuruti tekanan dari atasan untuk memanipulasi laporan keuangan, dan mengambil keuntungan pribadi dari kesalahan atau celah dalam sistem pelaporan, misalnya dengan mencatat pendapatan palsu atau menggelapkan dana perusahaan untuk kepentingan pribadinya.

7) Pihak Ketiga yang Bekerja Sama dengan Perusahaan

Pihak ketiga seperti konsultan atau penyedia jasa keuangan atau vendor juga dapat terlibat dalam kecurangan laporan keuangan dengan bekerja sama dengan pihak internal perusahaan. Misalnya membantu menyembunyikan transaksi atau menciptakan dokumen palsu untuk mendukung laporan keuangan yang dimanipulasi, dan menyediakan nasihat hukum atau akuntansi yang memungkinkan manajemen untuk memanfaatkan celah hukum dalam penyajian laporan keuangan.

D. Kelompok Kecurangan Berdasarkan Pada Korban

Kelompok kecurangan berdasarkan pada korban yang dikemukakan oleh (Zimbelman, 2014) diantaranya:

1) Kecurangan oleh Pegawai (employee embezzlement), kecurangan secara langsung terjadi ketika pegawai mencuri kas, persediaan, peralatan, perlengkapan, atau asset lain perusahaan, sedangkan kecurangan tidak langsung ketika pegawai menerima suap dari pemasok, pelanggan atau pihak luar perusahaan yang memungkinkan mereka menawarkan harga jual lebih rendah atau tinggi, barang yang tidak sampai atau kualitasnya tidak bagus.

2) Kecurangan Pemasok (vendor fraud), kecurangan yang terjadi di tempat suatu organisasi saat perusahaan membeli barang atau jasa.

3) Kecurangan Pelanggan (customer fraud), kecurangan yang terjadi ketika pelanggan tidak membayar barang yang mereka beli atau mendapatkan sesuatu yang tanpa membayar apapun.

4) Kecurangan Manajemen (management fraud), kecurangan ini melibatkan laporan keuangan yang dimanipulasi oleh manajemen puncak.

5) Penipuan Investasi dan kecurangan pelanggan lainnya, korbannya biasanya adalah orang yang tidak hati-hati. Dengan melakukan investasi yang curang, biasanya tidak bernilai.

6) Jenis kecurangan lainnya, setiap kali ada orang yang mencoba menggunakan kepercayaan orang lain untuk memanipulasi orang tersebut.

E. Indikator Penilaian Kecurangan Laporan Keuangan

Indikator penilaian dari penelitian ini menggunakan rumus fraud score model. F-Score biasanya digunakan untuk mengukur tingkat kesalahan penyajian material dalam laporan keuangan (Akbar, 2017.). F-Score memiliki dua elemen variabel yang dipakai yaitu accrual quality menggunakan proksi RSST (Richardson, Sloan, Soliman dan Tuna, 2005) dan financial performance dengan menggunakan proksi yaitu perubahan pada akun cash sales, perubahan pada akun inventori, perubahan pada akun receivable, serta perubahan earning sebelum bunga dan pajak (Kurnia dan Anis, 2017).(Arisandi dan Verawaty, 2017) menjelaskan model perhitungan F-Score dengan rumus:

F-Score = Accrual Quality + Financial Performance

Menurut (Arisandi dan Verawaty, 2017) menjelaskan bahwa Accrual quality diukur dengan RSST Accrual,semua dalam akun dilaporan keuangan seperti perubahan dalam neraca perusahaan, baik kas maupun non-kas sebagai akrual, serta membedakan karakter dari keandalan working capital (WC), non-current operating (NCO), dan financial accrual (FIN) serta elemen asset dan kewajiban dalam kategori akrual.

RSST Accrual = WC + NCO + FIN

Dimana:

WC (Working Capital)              = Current Assets -- Current Liability

NCO (Non-Current Operating) = (Total Assets -- Current Assets -- Investement and Advances ) -- (Total Liability -- Current Liability -- Long Term Debt)

FIN (Financial Performance)   = Total Investasi -- Total Liabilities

ATS (Average Total Assets)      = Beginning Total Assets + End Total Assets / 2

Financial Performance atau kinerja keuangan perusahaan yang digambarkan dalam laporan keuangan diduga dapat memprediksi kecurangan laporan keuangan (Arisandi dan Verawaty, 2017). Model perhitungan Financial Performance yaitu:

Financial Performance = Change in Receivable + Change in Inventory + Change in Cash Sales + Change in Earnings

Keterangan :

Change in Receivable = Receivable / Average Total Assets

Change in Inventory   = Inventory  / Average Total Assets

Change in Cash Sales = Sales / Sales (t)) -- (Receivable / Receivable (t))

Change in Earnings = (Earnings (t) / Average Total Assets (t)) -- (Earning (t-1) / Average Total Assets (t-1))

2.1.3 Teori Kecurangan

Secara umum, kecurangan dapat diartikan sebagai tindakan penipuan atau manipulasi yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau menipu pihak lain (Esa, 2023). Dalam konteks bisnis atau keuangan, kecurangan biasanya terkait dengan manipulasi laporan keuangan, penyalahgunaan aset perusahaan, atau tindakan lain yang bertujuan untuk menyesatkan investor, pemegang saham, atau pemangku kepentingan lainnya.

Teori kecurangan memberikan dasar yang kuat untuk memahami mengapa dan bagaimana kecurangan keuangan terjadi, serta bagaimana perusahaan dapat mengurangi risiko dengan memperkuat sistem pengendalian internal, menciptakan lingkungan yang transparan, dan meningkatkan pengawasan. Teori kecurangan merupakan salah satu landasan penting dalam memahami perilaku penipuan atau tindakan curang, terutama dalam konteks keuangan dan akuntansi. Teori ini berfokus pada faktor-faktor yang mempengaruhi individu untuk melakukan kecurangan.

Teori kecurangan (fraud) dalam akuntansi dan manajemen keuangan secara umum dapat dijelaskan melalui beberapa konsep utama, salah satunya yang paling dikenal adalah Teori Segitiga Kecurangan (Theory Fraud Triangle) yang dikembangkan oleh (Creseey, 1953). Teori ini menjelaskan tiga elemen utama yang menyebabkan individu melakukan kecurangan, yaitu:

1. Tekanan (Pressure)

Tekanan merujuk pada situasi yang mendorong individu merasa harus melakukan kecurangan untuk menyelesaikan masalah atau memenuhi kebutuhan pribadi. Bentuk tekanan yang umum meliputi masalah keuangan pribadi, seperti pelaku mungkin memiliki hutang yang besar, kewajiban keuangan yang mendesak, atau gaya hidup yang melebihi pendapatannya. Adapula dari tekanan pekerjaan, seperti pelaku bisa menghadapi target pekerjaan yang tidak realistis, bonus berbasis kinerja, atau ancaman kehilangan pekerjaan jika gagal mencapai target yang diinginkan.

2. Kesempatan (Opportunity)

Kesempatan muncul ketika individu melihat adanya celah dalam sistem kontrol internal atau kelemahan dalam pengawasan yang memungkinkan kecurangan dilakukan. Faktor-faktor yang menciptakan kesempatan meliputi pengawasan yang lemah yaitu ketika mekanisme pengawasan dan audit internal tidak memadai, individu dapat dengan mudah menyembunyikan tindakan curangnya. Lalu akses ke aset atau informasi yang sensitif, jika seseorang memiliki akses ke aset atau data sensitif tanpa pengawasan ketat, mereka bisa memanipulasinya dengan lebih mudah.

3. Rasionalisasi (Rationalization)

Rasionalisasi adalah proses di mana pelaku kecurangan membenarkan tindakannya agar bisa diterima oleh dirinya sendiri atau oleh orang lain. Pelaku sering kali merasa bahwa tindakan mereka sah atau bahwa mereka tidak punya pilihan lain. Misalnya, mereka mungkin merasa bahwa mereka "berhak" melakukan kecurangan karena merasa kurang dihargai atau dibayar dengan tidak layak.

Dalam (Suryandari, 2019) menjelakan Dr. Steve Albrecht mencetuskan teori fraud scale yang merupakan teori lanjutan dari teori fraud triangle. Dari teori ini, pertimbangan kekuatan tekanan, kesempatan, dan integritas pribadi untuk menentukan kemungkinan tindakan penipuan. Tujuan teori ini untuk mengukur kemungkinan terjadinya pelanggaran etika, kepercayaan, dan tanggung jawab. Teori ini berlaku untuk beberapa jenis kecurangan, salah satunya adalah manipulasi laporan keuangan. Menurut teori ini, perkiraan penjualan dan laba manajemen adalah salah satu sumber tekanan.

Lalu (Wolfe & Hermanson, 2004) memperkenalkan Teori Berlian Kecurangan (Fraud Diamond Theory) yang menambahkan elemen keempat yaitu kapabilitas (capability). Wolfe dan Hermanson menjelaskan bahwa meskipun seseorangan mengalami tekanan, mereka dapat menemukan kapabilitas atau peluang, dan dapat merasionalisasikan tindakan kecurangan, karena mereka tetap memerlukan kemampuan untuk mengeksekusi kecurangan tersebut. Kemampuan ini meliputi posisi atau otoritas dalam organisasi, keterampilan teknis, kecerdasan, kepercayaan yang tinggi, dan kemampuan menghadapi tekanan (stres). Misalnya, seorang eksekutif senior memiliki wewenang dan akses yang memungkinkan mereka untuk menyembunyikan kecurangan lebih efektif disbanding karyawan atau pegawai biasa. Di samping itu, pelaku kecurangan yang merasa percaya diri atau arogan mungkin merasa kebal terhadap konsekuensi yang akan dihadapi olehnya setelah kecurangan tersebut terungkap atau merasa yakin dapat mengelabui pengawas.

2.1.4 Fraud Pentagon

Fraud Pentagon merupakan pengembangan dari model Fraud Triangle. Jika Fraud Triangle menjelaskan tiga elemen utama yang berkontribusi terhadap kecurangan (tekanan, kesempatan, dan rasionalisasi), Fraud Pentagon menambahkan dua elemen lagi, yaitu kemampuan (competence) dan arogansi (arrogance). Fraud Pentagon memberikan pandangan yang lebih komprehensif tentang motivasi dan perilaku kecurangan. Dua elemen tambahan, kompetensi dan arogansi, sangat relevan dalam kasus kecurangan korporasi yang melibatkan eksekutif senior. Teori ini menunjukkan bahwa pelaku kecurangan tidak hanya didorong oleh tekanan, kesempatan, dan rasionalisasi, tetapi juga oleh kemampuan teknis yang memungkinkan mereka mengeksekusi kecurangan dengan sukses dan rasa superioritas yang membuat mereka merasa tidak akan tertangkap. Model ini memberikan pandangan yang lebih luas mengenai faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kecurangan dalam organisasi, terutama dalam konteks pelaporan keuangan (B. Crowe, 2011)

Untuk perusahaan, Fraud Pentagon menawarkan kerangka yang lebih luas untuk mencegah kecurangan dengan memperkuat pengawasan, meningkatkan kontrol internal, dan menciptakan lingkungan etis yang kuat.

A.  Elemen Fraud Pentagon

1. Tekanan (Pressure)

Dalam banyak kasus kecurangan, tekanan merupakan faktor awal yang menciptakan kondisi di mana seseorang merasa terpaksa atau tergoda untuk menipu. Jenis tekanan ada tiga yaitu tekanan finansial seperti masalah hutang pribadi, gaya hidup yang melebihi penghasilan, atau kebutuhan finansial mendesak yang membuat seseorang mencari jalan pintas untuk menyelesaikan masalah tersebut. Adapula tekanan pekerjaan yaitu target penjualan atau kinerja yang sangat tinggi dan tidak realistis, serta ancaman kehilangan pekerjaan jika target tidak tercapai. Bonus atau promosi berbasis kinerja juga dapat menambah tekanan ini, serta tekanan sosial seperti individu bisa merasakan tekanan dari lingkungan keluarga atau sosial yang memaksanya untuk mempertahankan citra tertentu, misalnya, memiliki gaya hidup mewah atau menjadi penyedia utama keuangan keluarga. Contoh: Seorang manajer yang memiliki gaya hidup mewah mungkin menghadapi tekanan untuk terus mempertahankan status tersebut, meskipun pendapatannya tidak cukup. Hal ini bisa memotivasinya untuk melakukan kecurangan demi memperoleh keuntungan pribadi.

Leverage = Total Liabilitas / Total Aset

2. Kesempatan (Opportunity)

Kesempatan muncul ketika ada kelemahan dalam sistem pengendalian internal yang memungkinkan individu melakukan kecurangan tanpa terdeteksi. Sistem yang tidak efektif atau longgar memberi peluang bagi pelaku kecurangan. Faktor ini melibatkan kelemahan dalam struktur organisasi, kurangnya pengawasan, atau akses yang tidak diawasi terhadap data keuangan dan aset perusahaan. Contoh: Karyawan dengan akses penuh ke sistem keuangan perusahaan tanpa pengawasan yang memadai memiliki kesempatan untuk menyalahgunakan sumber daya   perusahaan.

IND = Jumlah Komite Audit Independen / Jumlah Komite Audit

Jumlah komite audit independen (IND) dalam penelitian ini menggunakan perhitungan jumlah komite audit independen dibagi dengan jumlah komite audit.

3. Rasionalisasi (Rasionalization)

Individu yang melakukan kecurangan sering kali menemukan pembenaran mental untuk tindakan mereka. Rasionalisasi ini memungkinkan pelaku kecurangan untuk meyakinkan diri mereka sendiri bahwa tindakan mereka dapat diterima atau bahkan diperlukan. Individu yang melakukan kecurangan sering kali berusaha membenarkan tindakan mereka secara moral atau etis. Mereka mungkin merasa bahwa kecurangan itu sah atau bahwa tindakan mereka "tidak terlalu buruk." Rasionalisasi memungkinkan pelaku untuk merasa nyaman dengan tindakan tidak etis yang dilakukan. Contoh: Seorang pegawai mungkin berpikir bahwa mencuri uang dari perusahaan bukan masalah besar karena ia merasa tidak dibayar cukup atau diperlakukan tidak adil.

Opini Audit (OPNADT) dalam penelitian ini menggunakan variabel dummy. Apabila terdapat opini audit selama periode Tahun 2018-2023, Jika dengan bahasa penjelas diberi kode 1, jika tidak dengan bahasa penjelas diberi kode 0.

4. Kemampuan (Competence)

Pelaku kecurangan biasanya memiliki kemampuan, pengetahuan, atau keahlian yang cukup untuk mengeksploitasi kelemahan dalam sistem. Mereka tahu bagaimana cara menghindari pengawasan atau menutupi jejak mereka, yang memungkinkan kecurangan terjadi secara efektif.Kompetensi merujuk pada keahlian atau kemampuan seseorang untuk melakukan  kecurangan dengan sukses dan tanpa tertangkap. Faktor ini mencakup pemahaman tentang bagaimana sistem internal bekerja, serta kemampuan untuk mengeksploitasi kelemahan dalam sistem tersebut. Pelaku yang memiliki kapabilitas teknis yang tinggi atau berada di posisi otoritas sering kali lebih mampu memanfaatkan kesempatan yang ada untuk melakukan kecurangan. Contoh: Seorang CFO (Chief Financial Officer) yang memahami sistem akuntansi perusahaan dan memiliki keahlian tinggi dalam manipulasi laporan keuangan akan lebih mungkin melakukan kecurangan tanpa terdeteksi.

Pergantian Direksi (DCHANGE) dalam penelitian ini menggunakan variabel dummy, jika ada pergantian direksi selama periode Tahun 2018-2023 maka diberi kode 1, namun jika tidak ada pergantian diberi kode 0.

5. Arogansi (Arrogance)

Arogansi adalah tambahan yang membedakan Fraud Pentagon dari teori sebelumnya. Ini merujuk pada rasa superioritas atau kesombongan individu yang meyakini bahwa mereka berada di atas hukum atau peraturan. Individu yang sombong sering kali merasa bahwa aturan tidak berlaku bagi mereka, atau mereka percaya bahwa mereka terlalu pintar atau terlalu kuat untuk tertangkap. Arogansi ini bisa muncul terutama di kalangan eksekutif senior atau individu dengan kekuasaan yang signifikan di perusahaan. Contoh: Seorang CEO yang merasa bahwa mereka tidak perlu mematuhi aturan akuntansi karena mereka telah membawa banyak keuntungan bagi perusahaan mungkin merasa "kebal" terhadap aturan dan melakukan manipulasi laporan keuangan. Elemen arogansi mencakup sikap superioritas yang dimiliki pelaku, di mana mereka merasa aturan tidak berlaku bagi mereka atau merasa tidak akan tertangkap. Arogansi ini bisa berasal dari kekuasaan atau posisi tinggi dalam organisasi, yang membuat mereka merasa tidak perlu mengikuti aturan (Marks J, 2012)

Jumlah frekuensi banyaknya foto CEO (CEOPIC) dalam penelitian ini diukur dengan total foto CEO yang terdapat pada laporan keuangan tahunan secara berulang-ulang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun