Kondisi sektor pariwisata yang terdampak pandemi COVID-19 baru saja mulai pulih diiringi dengan pemerataan vaksin dosis pertama yang sudah melebihi 70 persen, dan dosis kedua yang sudah melebihi 50 persen. Namun, nampaknya masyarakat belum boleh merasa lega dan merasa aman dari risiko-risiko lainnya, karena Gunung Semeru erupsi pada hari Sabtu, 4 Desember 2021.
Secara umum, abu vulkanik dari erupsi Gunung Semeru di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur bisa minimbulkan beberapa dampak negatif terhadap penduduk sekitar, terutama di bidang pariwisata, yaitu kerusakan infrastruktur, rusaknya akses jalan menuju lokasi wisata, dan kawasan wisata yang tertutup debu vulkanik.
Pada kesempatan kali ini, saya akan berusaha untuk membahas secara spesifik mengenai satu kejadian risiko, yaitu “Kerusakan Infrastruktur Pada Tempat Wisata Berbasis Ecotourism di Kabupaten Lumajang.”
Konteks risiko untuk kejadian risiko tersebut akan saya bedakan menjadi dua bagian, yaitu konteks internal dan konteks eksternal. Konteks internal yang saya ambil disini adalah tempat wisata berbasis ecotourism yang bertujuan untuk memanfaatkan lingkungan yang asri sebagai daya tarik destinasi wisata mereka, sebagai faktor penarik minat pengunjung.
Sementara konteks eksternal yang saya ambil adalah aspek alam, dimana dalam kasus ini merupakan abu vulkanik yang timbul akibat erupsi Gunung Semeru di Kabupaten Lumajang, serta dampak-dampak negatif yang diakibatkan oleh abu vulkanik tersebut seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya.
Pemilik risiko (risk owner) dari kejadian risiko ini adalah pemilik tempat wisata berbasis ecotourism serta pekerja yang turut mengelola tempat wisata tersebut.
Akar penyebab dari kejadian risiko ini adalah tidak adanya mitigasi atau kesadaran masyarakat terhadap risiko erupsi Gunung Semeru sebelumnya, dan abu vulkanik yang berasal dari erupsi Gunung Semeru.
Indikator risiko disini adalah turunnya minat wsiatawan untuk mengunjungi wilayah terdampak abu vulkanik karena keasrian lingkungan yang menjadi daya tariknya sudah tertutup debu vulkanik.
Faktor positif yang ada saat ini berupa kepekaan pemerintah, terutama Kemenparekraf, dan kesadaran masyarakat di luar Kabupaten Lumajang terhadap dampak yang dialami oleh tempat wisata, sehingga mendapat bantuan dari berbagai sumber, yaitu berupa bantuan dari pemerintah dan sumbangan dari masyarakat melalui platform “KitaBisa”.
Dampak kualitatif yang dialami yaitu berupa turunnya pendapatan dari kunjungan wisatawan, dan menurunnya kualitas keindahan alam yang menjadi daya tarik tempat wisata berbasis ecotourism.
Analisis risiko yang akan saya lakukan berupa penentuan probabilitas terjadinya risiko, yaitu sebesar 4 (Besar) dan dampak yang akan dialami yaitu sebesar 4 (Berat), yang berarti skor risiko sebesar 4 x 4 = 16 dan kejadian risiko ini tergolong risiko unacceptable (merah), serta dibutuhkan tindakan sesegera mungkin untuk mengelola risiko dan menjadi prioritas untuk dilakukan perlakuan atau mitigasi risiko.
Perlakuan risiko yang sebaiknya dilakukan oleh pengelola tempat wisata tersebut adalah memanfaatkan dana bantuan dari pemerintah dan masyarakat untuk meminimalisir kerugian akibat abu vulkanik Gunung Semeru serta memulihkan kondisi tempat wisata secepat dan semaksimal mungkin, dan klaim asuransi untuk benda-benda yang memungkinkan seperti fasilitas dalam tempat wisata yang terjamin asuransi bencana alam atau biasa dikenal dengan sebutan membagi risiko.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H