Pagi itu seusai menghadiri pesta pernikahan kawan, saya dan teman mampir ke toko buku. Singkat cerita, kami sedang mencari buku self-improvement dan tidak sengaja melirik ke buku parenting.
Saat saya menawarkan salah satu buku yang sinopsis dan reviewnya bagus, teman saya menolak dengan alasan belum saatnya. “Engga ah aku belum siap jadi bapak. Pengen nikah aja belum ada. Sorry ya.” Ujarnya.
Berbicara tentang parenting, saya jadi teringat beberapa kejadian selama liburan dan kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) terlaksana. Banyak kejadian yang membuat saya berpikir, sebenarnya bagaimana dulu parenting kedua orang tua saya.
Apa harapannya? Hingga saya bisa menghadapi situasi A dengan tindakan A. Atau kadang menghadapi situasi B dengan berat. Misalnya, saat ada yang menanyakan “Apa saya cantik dengan make up ini?”, mungkin beberapa teman bisa menjawab dengan jujur jika memang hasil make upnya menor.
Tapi saya tidak, saya bisa sampai berpikir beribu kali, menarik nafas dalam-dalam untuk jujur. Bahkan masih perlu mikir panjang dan diskusi dengan batin sendiri secara lama.
“Gimana kalau dia sedih, gimana kalau dia insecure.” Begitulah isi kepala saya, yang sering sekali pada akhirnya saya melontarkan kalimat penenang, bagus kok make-upnya, kamun cantik.
Pada dasarnya saya paham, hal ini menjadi habits yang bodoh bagi saya. Dengan pembiasaan sejak kecil untuk menghibur orang lain, atau jangan sampai menyakiti perasaan orang lain dengan dalih jujur, saya jadi memang benar tidak jujur. Hal buruknya, saya susah menegur, dan mungkin teman saya yang tidak sempat tertegur jadi berpenampilan kurang baik. Terkena imbas ketidakjujuran saya.
Bertemu kawanan baru saat magang kuliah, teman main, bahkan sasaran mitra KKN mempertemukan saya dengan berbagai macam hasil pola didik atau parenting.
Ada yang sikapnya sopan saat dihadapan orang lebih tua, ada yang omong dibelakang, ada yang blak blakan. Jika dibenturkan secara teoritisnya, kejadian ini bukan karena “memang itu sikapnya, attitudenya” tapi juga pola asuh dan bawaan dari orang tua.
Seperti yang disampaikan Analisa dalam konten youtubenya “Menganalisa” adanya Inner child, atau kebiasaan, kecamasan, sampai trauma masa kecil yang tetap terbawa hingga dewasa.
Teman saya yang hobi blak-blakan komentar ini itu, ya bisa saja hasil dari inner child mereka. Begitupun yang tipenya sangat sopan dan pemalu jika berbincang dengan orang yang lebih sepuh atau tua.
Saya berpikir, lantas bagaimana pola asuh atau parenting yang ideal? Apakah memang harus sama setiap orangnya. Karena tak jarang orang tua menyamakan anaknya dengan anak lainnya.
Mencoba menyamakan anak yang padahal berbeda jenis pola didikan orang tua. Dan setiap hasil pola didik orang tua mungkin saja tidak sepenuhnya baik.
Kembali pada teman saya yang tidak ingin mengetahui terlebih dahulu tentang parenting, mungkin ini anggapan yang perlu dibenahi karena pada dasarnya seperti yang saya sampaikan, beberapa orang mungkin memiliki hasil yang tidak sepenuhnya baik, dari pola parenting orang tuanya.
Ada yang dididik dekat secara emosional, dia jadi percaya diri, namun tidak punya batasan. Ada yang dikekang, dia susah beradaptasi, namun lebih disiplin.
Disinilah pemahaman parenting yang kita miliki sejak sebelum menikah bisa lebih berguna menurut saya. Paling tidak kita bisa menerapkan parenting pada pola pikir kita sendiri yang telah sebelumnya diberi parenting orang tua kita. Tujuannya sebagai pembenahan pola pikir mana yang perlu dibenahi. Asuhan orang tua kita yang mana yang perlu dirubah dengan pendekatan parenting versi kita sendiri.
-Taman Blambangan Banyuwangi, Agustus 2020-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H