Mohon tunggu...
Devidia Tri Ayudiansyah
Devidia Tri Ayudiansyah Mohon Tunggu... Lainnya - #akuberpikirmakaakuada

Nulla Tenaci Invia Est Via~

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Pelajaran Penting Kebijakan Moneter di Era Bubble Economy Sepanjang Historis Global

13 Mei 2020   23:24 Diperbarui: 15 Mei 2020   06:57 962
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://drvidyahattangadi.com

Open Economy semakin gencar terjadi antar negara sejak meningkatnya kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi dari individu negara. Hal yang menjadi ciri khas dari open economy ialah adanya ketetapan exchange rate serta juga kemudahan pertukaran capital yang terjadi antar negara (Bain, 2003). Jika kita berfokus pada ciri khas kedua, capital, hal ini bila diamati cukup dekat dengan keseharian kita. 

Beberapa barang-barang kita mungkin saja bukan berasal asli dari dalam negeri, melainkan impor. Tak hanya berhenti pada jenis capital berupa barang. Mungkin jika kita termasuk yang ikut bermain di pasar valuta asing dan saham global juga akan dekat dengan manfaat dari adanya open economy. Kita dapat bertukar keuntungan dari penanaman modal yang tidak hanya di dalam negeri.

Tak hanya itu, negara pun juga dapat menjadi tokoh penikmat adanya capital inflow atau permodalan asing yang masuk di era open economy ini. Permodalan asing yang masuk memiliki pengaruh sebagai modal pembangunan ekonomi negara.

Hal yang baru kita bahas ini ialah sedikit euforia mengenai bagaimana sumbangsih keterbukaan ekonomi atau open economy suatu negara pada kemudahan dalam bertukar beban capital atau modal.

Sederhananya dengan ekonomi yang semakin terbuka, semakin mudah untuk agen ekonomi yang suatu negara miliki melakukan diversifikasi risiko (risk diversification) dalam rangka upaya menanamkan modal pada berbagai sektor yang berbeda-beda demi memperkecil resiko investasi yang dihadapi. Mengingat beragamnya jenis pertukaran modal yang tidak hanya pada tingkat domestik.

Namun bukan ilmu ekonomi yang ideal apabila pondasi historis yang ada tidak dipertimbangkan. Sangat rawan kita terjebak dalam euforia yang ada, ketika kita ahistoris.

Jika ditarik pada rentang berjalannya open economy, beberapa fenomena telah terjadi pada pasar global. Termasuk adanya krisis keuangan ekonomi. Yang pada kenyataannya krisis ini juga disebabkan dari adanya kemudahan pertukaran modal antar negara dengan seiring meningkatnya permintaan pada pasar stock. Fenomena dominan yang terjadi ketika permintaan di pasar stock meningkat ialah peningkatan harga yang berakhir bubble economy.

Amerika Serikat(AS), pada tahun 1990an hingga 2008 menjadi tokoh yang terkena dampak bubble economy. Pada masa keterbukaan ekonomi di masa tersebut, investor yang bermain pada aset AS tidak main-main jumlahnya. Keterlibatan investor asing melimpah.

Hal ini yang pada akhirnya membawa harga aset di AS meningkat tajam. Pada masa tersebut sebenarnya sempat membawa kepuasan sementara karena tingginya harga aset. Para investor yang terlibat cukup meyakini akan adanya return yang tinggi sesaat setelah peningkatan harga.

Dan benar adanya, bubble economy yang terjadi pada AS itu membawa peningkatan return bagi para investor. Sayangnya hal inilah yang populer disebut irrational exuberance,  atau kelegaan yang tidak rasional karena adanya cuan yang seoalah pasti meningkat dan membawa kelegaan pada agen ekonomi, padahal sebenarnya bubble tersebut membahayakan ketika pecah karena suatu kondisi kedepan. Harga bisa merosot serendah-rendahnya, setelah cukup lama tinggi.

Dan itulah yang terjadi pada AS di masa tersebut, para investor kehilangan return tingginya dan mulai mengubah cara pandangnya pada pasar, uncertainty response.

Fenomena yang umum dikenal krisis keuangan 2008 AS ini disebabkan dengan adanya bubble economy akibat keterbukaan ekonomi atau open economy.

Tercatat harga aset rumah dan tanah sebelum krisis 2008 mengalami peningkatan yang cukup tinggi tak lepas dari jumlah permintaan yang juga demikian tinggi, hingga pada puncaknya mulai di tahun 2005 yang terus mengalami lonjakan harga. Naasnya hal ini pada akhirnya ketika kredit rumah yang juga digencarkan berkontribusi atas peningkatan harga aset, kemudian membawa beberapa kreditur mengalami hambatan dalam pembayaran. Yang pada akhirnya memberi risiko pada pengembalian dana aset di AS tersebut.

Perilaku agen ekonomi pada akhirnya mulai tidak mempercayai pasar atas dasar ketidakpastian ini, jumlah investasi baru di AS pada akhirnya mengalami penurunan tajam setelah cukup tinggi pada masa bubblenya.

Bubble economy juga terjadi pada perekonomian Jepang, umumnya kita mengenal sebagai "dekade yang hilang". Pada tahun 1990an diawali dengan kondisi penguatan Yen akibat perjanjian devaluasi the Fed pada dollar, atau biasa disebut Plaza Accord.

Respon global terkait penguatan Yen ini cukup baik. Yen menguat dari 254 Yen untuk 1 dolar AS di 1985 menjadi 127 Yen untuk 1 dollar AS di akhir tahun 1990. Disusul lagi dengan penguatan tahun 1995 di angka 80 Yen per dollar AS.

Layaknya krisis keuangan 2008 di AS, kondisi penguatan ini juga sempat membawa kelegaan tersendiri pada para agen ekonomi yang terlibat di dalamnya. Beberapa investor asing ikut berkontribusi di dalam perekonomian Jepang pada tahun 1990an itu.

Tak berhenti di situ, Jepang bisa kita katakan sebagai kategori negara yang dermawan. Ditengah Yen yang menguat, Jepang membeli utang negara lain dalam jumlah besar dengan harapan kestabilan tingkat suku bunga global. Sayangnya hal-hal ini yang pada akhirnya menjadi blunder menyerang Jepang dengan menumbuhkan bubble semakin besar karena harga aset yang melambung, dan meletus akibat ketidakpastian para kreditur untuk membayar kembali. Indeks saham Nikkei salah satunya yang terdampak, pada tahun 1989 mencapai angka 39.000 Yen, dan akhirnya di tahun 2004 menjadi 7500 Yen.

Jika ditarik garis lurus dari masa krisis AS dan Jepang ini, ada hal krusial yang penting digaris bawahi. Adanya bubble economy cenderung karena kemudahan-kemudahan pemberian modal berisiko seperti kredit serta juga ketidakpekaan agen ekonomi pada terjadinya bubble.

Dengan anggapan peningkatan harga tersebut sebagai hal yang lumrah dan menguntungkan. Serta peramalan rancu yang menyatakan peningkatan harga dan return akan sustainable (Alan, 1996).

Selain faktor ketidakpastian yang memperburuk keadaan krisis akibat bubble, juga dipengaruhi respon kebijakan moneter negara yang terdampak.  

AS selama masa bubble yang menyerang itu, sama sekali tidak menggunakan alat moneternya untuk mengatasi masalah yang ada. Hal ini didasarkan pada The Federal Reserve yang mengesampingkan langkah kebijakan moneter karena anggapan skeptisnya tentang pengaruh kecil dan mungkin akan adanya kesalahan menyusul saat menerapkan kebijakan moneter dalam masa bubble (Roubini, 2006).

Akan tetapi beberapa peneliti pada akhirnya menemukan bahwa justru anggapan skeptis dan ketidakpercayaan The Fed pada kebijakan moneter itulah yang membawa bubble economy makin tidak terkendali hingga melahirkan krisis keuangan (Ferguson et Al, 2005). Kebijakan moneter dikatakan dapat memiliki kontribusi pada pengetasan bubble economy dengan mengendalikan asset price melalui ekspektasi inflasi (Indeed et Al, 1999).

Namun pertentangan lain justru menampakkan dirinya pada fakta kebijakan moneter yang diampu Jepang di masa bubble economy. Jepang sudah menganut penggencaran alat moneter untuk mengatasi bubble yakni dengan penerapan monetary easing. Melalui upaya menurunkan tingkat suku bunga, namun sayangnya hal ini malah dianggap sebagai blunder yang makin membawa krisis di Jepang berjalan kian lama, red: dekade yang hilang (Smick, 2009). 

Lantas bagaimana sebenarnya peran serta kebijakan moneter dalam fenomena bubble  economy yang pada hakikatnya dapat menyerang negara manapun, baik negara maju ataupun berkembang di era keterbukaan ekonomi ini.

Kebijakan moneter saja tidak tepat untuk mengatasi terjadinya bubble, karena selain pelemahan fundamental yang tidak mengiringi peningkatan harga dan demand asset, bubble juga ditopang adanya ketidakpastian perilaku agen ekonomi yang terlibat. 

Hal ini memerlukan kebijakan yang prudential dimana di dalamnya terintegrasi kebijakan moneter serta juga kebijakan lindung risiko berupa pendalaman fundamental yang ada pada kebijakan makroprudential (Callens et Al, 2014). Untuk menghadapi bubble, bukan hanya kebijakan moneter semacam penurunan suku bunga untuk menghambat gejolak akibat bertambahnya capital masuk yang rawan, melainkan juga dengan sistem pengadaan buffer yang akan membantu meredam ketidakpastian dan risiko yang menjadi hal krusial dalam bubble economy.

Maka belajar dari bubble economy yang sudah terjadi sepanjang perekonomian dunia, tidak mungkin apabila kebijakan moneter tidak diikutsertakan dalam penanganan.

Namun juga tidak baik jika kebijakan moneter ialah alat tunggal yang berperan. Pelajaran menghadapi bubble ini bukan hanya hal krusial bagi perekonomian maju, namun negara berkembang juga perlu paham. Karena bubble economy akan rawan mengenai negara manapun yang menerapkan open economy, atas dasar semakin besarnya risiko ketidakpastian ekonomi yang akan terjadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun