Mahasiswa Prodi Hukum Ekonomi Syariah, UIN Raden Mas Said Surakarta, Devi Anggraini
Efektivitas Hukum dalam Masyarakat dan Syaratnya
Perlu kita ketahui bahwasannya hukum itu merupakan suatu alat rekayasa sosial yang digunakan untuk mengubah pola dan tingkah laku masyarakat menjadi sesuai dengan peraturan yang dikehendaki oleh hukum itu sendiri. Apabila hukum tersebut telah ditaati oleh sebagian besar masyarakat yang merupakan target subjeknya maka dapat dikatakan bahwa aturan hukum yang terkandung didalamnya itu efektif. Tujuan hukum sendiri ialah untuk mencapai kedamaian dengan mewujudkan kepastian dan keadilan dalam masyarakat.
Salah satu hal yang menarik dari pembahasan mengenai pelaksanaan hukum di dalam masyarakat ialah suatu kenyataan bahwa pelaksanaan hukum tersebut bisa berjalan efektif dan sebaliknya. Pertanyaan mendasar mengenai dengan kenyataan tersebut ialah faktor apa saja yang berpengaruh terhadap efektif dan tidak efektifnya suatu hukum di masyarakat?
Perlu kita ketahui bersama terkait apa yang dimaksud dengan hukum yang efektif itu? Jadi, pada intinya efektivitas hukum itu berkaitan dengan tindakan hukum atau sering disebut dengan legal act dan peristiwa hukum di dalam masyarakat. Namun, tidak semua tindak-tanduk masyarakat serta peristiwa dalam kehidupan sehari-hari dapat kita kategorikan sebagai tindakan hukum dan peristiwa hukum.Â
Misalnya saja terdapat polisi yang sedang bertugas menyeret seseorang ke dalam mobil polisi, sementara orang tersebut menendang-nendang dan berteriak, maka perilaku orang tersebut tidak termasuk dalam ketegori perilaku hukum melainkan perilaku polisi itulah yang termasuk dalam kategori perilaku hukum. Sebaliknya, jika orang itu masuk ke dalam mobil tanpa diseret, meskipun ia melakukannya karena ia tahu bahwa polisi akan menyeretnya bilamana ia menolak, maka perilakunya itu termasuk dalam ketegori perilaku hukum secara suka rela.
Kemudian mengenai peristiwa hukum sendiri sebagai contoh terdapat A mengambil sepeda motor miliknya sendiri, maka timbullah suatu peristiwa tetapi tidak menimbulkan akibat hukum dan belum bisa disebut sebagai peristiwa hukum. Peristiwa hukum akan terjadi bilamana si A tadi mengambil motor milik orang lain. Dengan demikian, peristiwa hukum dapat diartikan sebagai suatu kejadian dalam masyarakat yang menggerakkan suatu peraturan hukum tertentu, sehingga ketentuan-ketentuan yang tercantum didalamnya lalu diwujudkan.
Selain berkaitan dengan tindakan hukum dan peristiwa hukum di atas, terdapat sanksi (sanction) dan imbalan (reward) yang memiliki hubungan erat dengan efektivitas hukum di dalam masyarakat. Kedua hal tersebut selalu menjadi alasan seseorang dalam menaati suatu peraturan hukum tertentu. Sanksi dan imbalan ini merupakan suatu ancaman dan penghargaan bagi seseorang yang melanggar atau menaati peraturan hukum tertentu.
Kita lihat pada contoh pertama tadi, orang yang masuk secara suka rela ke dalam mobil polisi tersebut mungkin karena ada rasa takut akan sanksi dari polisi yakni diseret secara paksa. Pertanyaannya apakah hal itu menunjukkan terwujudnya efektivitas hukum? pertanyaan yang sama ketika seseorang yang tidak merokok di suatu tempat karena di situ tertulis bahwa siapa pun yang tidak merokok di tempat itu akan mendapati suatu imbalan.Â
Menurut saya, suatu ketaatan seperti itu bagaimanapun tidak bisa menunjukkan efektivitas dari sebuah peraturan hukum. Apabila sanksi dijadikan sebagai senjata utama dalam menggerakkan masyarakat agar taat hukum, maka hal tersebut berarti masyarakat taat karena terpaksa saja. Takut karena sanksi bisa kita artikan bahwa takut kepada polisi atau penegak hukum yang memiliki otoritas untuk memaksa. Bilamana karena suatu alasan tertentu polisi secara nasional diliburkan dalam bekerja maka dapat dipastikan bahwa kejahatan akan merajalela dan akan meningkat secara drastis.
Dengan demikian, suatu efektifitas hukum dapat dilihat dari terlaksananya hukum oleh masyarakat secara suka rela bukan karena terpaksa ataupun terdapat keinginan untuk mendapatkan reward. Ketaatan hukum yang demikianlah tentu saja sangat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor.
Menurut Lawrence M. Friedman, terdapat 3 faktor mengenai sistem hukum, yaitu; faktor pertama adalah struktur hukum (legal structure), hal ini merujuk kepada para penegak dan pelaksana hukum di masyarakat yang mempunyai jiwa profesionalisme, independensi, serta mentalitas yang baik. Kedua, Substansi hukum (legal substance), hal ini berisi mengenai norma-norma dan peraturan-peraturan hukum yang secara nyata diberlakukan di dalam masyarakat. Ketiga, Kultur hukum, atau suatu sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum kepercayaan, nilai, pemikiran, dan harapannya. Dari ketiga faktor ini ialah elemen yang snagat penting dalam mewujudkan efektifvitas hukum. Jika, faktor ini bekerja dengan baik di dalam masyarat maka pelaksanaaan hukum akan berjalan dengan baik pula.
Syarat untuk mewujudkan keefektivitasan hukum dalam masyarakat yaitu harus tercapainya kaidah hukum diantaranya adalah kaidah hukum dalam konteks yuridis yang merupakan penentuan hukum yang didasarkan pada apa yang sudah ditetapkan. Kaidah hukum dalam konteks sosiologis yang mana kaidah ini harus dipaksakan berlakunya tapi diterima dan diakui oleh masyarakat. Serta kaidah hukum dalam konteks filosofis, yakni yang berkaitan dengan cita-cita hukum suatu bangsa sebagai nilai positif yang dipandang paling tinggi.
Contoh Pendekatan Sosiologis dalam Studi Hukum Ekonomi Syariah
Dengan menerima kenyataan bahwa hukum itu tidak otonom, maka kita harus mengakui bahwasanya terdapat pengaruh unsur ekonomi sebagai salah satu unsur esensial di dalam masyarakat terhadap hukum. Â Pengaruh antara hukum dan ekonomi itu sifatnya timbal balik dan tidak satu arah. Dalam hal ini dimaknai bahwasannya hukum itu mempengaruhi kehidupan ekonomi masyarakat yang diwujudkan memalui peraturan yang berhubungan dengan masalah ekonomi. Dan sebaliknya, ekonomi juga berpengaruh terhadap pembentukan atau penerapan peraturan hukum tertentu.
Hubungan antara hukum dan ekonomi saat ini semakin nyata ditandai dengan munculnya disiplin hukum baru yakni Hukum Ekonomi Syariah atau berkenaan dengan Muamalat. Perihal ini perlu dikaji menggunakan pendekatan sosiologi agama sebab berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat.Â
Contoh pendekatan sosiologi dalam hukum ekonomi syariah adalah persoalan dari aktivitas jual beli yang dipandang menurut islam mengandung adanya aspek gharar atau ketidakjelasan tujuan dari pokok barang yang dijual. sebagai contoh yaitu aktivitas jual beli mesteri box di marketplace, instrumen jual beli itu dapat menjadi sifatnya gharar sebab ketidakjelasan objek  mengenai spesifikasi dan karakteristik barang yang dijual dan dibeli. Â
Konsep dari praktik jual beli tersebut akan memunculkan sifat untung-untungan sehingga spekulatif dan menimbulkan potensi kerugian yang diderita oleh pembeli karena ketidak tahuan spesifikasi dan karakteristik barang seperti apa yang terdapat di dalam mesteri box yang dijual di marketplace tersebut. Dari hal ini akad jual beli yang dilakukan oleh penjual dan pembeli adalah akad batil. Solusi dari instrumen ini adalah melakukan pendekatan terhadap masyarakat bagaimana hukum islam memandang terkait jual beli misteri box.
Latar Belakang Munculnya Gagasan Progresif Law
Sering kita mendengar pernyataan mengenai bahwa hukum di Indonesia itu tajam kebawah dan tumpul ke atas. Makna dari istilah ini ialah suatu fakta dimana peradilan di negara ini lebih menitik beratkan menghukum yang lemah dan meringankan hukuman yang berkuasa. Dari sini bisa dilihat bagaimana kondisi sistem hukum yang berlaku pada negeri, sistem hukum yang buruk membawa kesengsaraan terhadap mereka yang lemah, mereka yang tidak bersalah, mereka yang tidak tahu menahu mengenai hukum. Dan pada akhirnya yang berkuasa dan beruanglah yang menikmati kemenangan atas kekalahan dan kesengsaraan mereka yang lemah. Peradilan di dirikan bukan untuk membela mereka yang berkuasa dan salah melainkan peradilan itu sepantasnya harus bertindak adil terhadap mereka pencari keadilan untuk merebut kembali hak-haknya yang telah direnggut.Â
Atas keprihatinan terhadap keterpurukan hukum dan ketidakpuasan publik yang meluas terhadap kinerja hukum dan pengadilan tersebut maka pada tahun 2002 oleh Prof. Dr. Satjipto Rahardjo mengomunikasikan gagasan progresif law. Â Pada intinya gagasan progresif law ini ingin mendorong pekerja hukum maupun penegak hukum agar lebih berani membuat trobosan dalam menjalankan hukum di Indonesia dan tidak terbelenggu oleh pikiran positivistis dan legal analityical.Â
Ringkasnya hukum progresif itu sederhana, yaitu melakukan pembebasan baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga mampu membiarkan hukum itu mengalir untuk menuntaskan tugasnya kepada manusia dan kemanusiaan.
Law and Social Control, Socio- Legal, dan Legal Pluralisme
Law and Social Control, perihal ini hukum berperan dalam mengendalikan masyarakat agar di dalam pergaulannya tidak menyimpang dari kaidah-kaidah hukum yang telah ditetapkan. Hukum sebagai pengendali sosial tidak dapat bekerja sendiri dalam menjalankan fungsinya melainkan terdapat perantara-perantara sosial yang ikut andil dalam peran tersebut. Selain menetapkan tingkah laku yang secara norma dianggap benar atau menyimpang, kontrol sosial juga menetapkan sanksi yang diberlakukan terhadap setiap perilaku-perilaku yang menyimpang.
Sebagai kontrol sosial, hukum berperan sebatas memastikan agar anggota masyarakat berperilaku tidak menyimpang dari koridor hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Pertanyaannya bagaimana hukum menjalankan fungsinya sebagai kontrol sosial? jadi upaya hukum dalam mengendalikan masyarakat itu dengan menerapkan sebuah sanksi terhadap setiap penyimpangan. Dengan sanksi tersebut terlihat bahwa hukum memiliki sifat memaksa dan memberi kewajiban terhadap anggota masyarakat.
Sosio Legal, merupakan jawaban dan penjelasan dari berbagai problematika hukum, dengan pendekaan teoritik dan metodologis yang interdisipin. Sosio legal ini adalah suatu perpaduan antara beragam metodologi dari berbagai kajian mengenai kemanusiaan dan hukum. Kajian sosio legal sendiri ialah suatu metode interdisipliner yang dibutuhkan untuk mengetahui bagaimana hukum dapat diterapkan dan dipraktikkan di kehidupan masyarakat.
Legal Pluralisme, adalah hadirnya suatu ketentuan maupun aturan hukum yang lebih dari satu di dalam kehidupan sosial atau lingkungan sosial. Kemunculan legal pluralisme di Indonesia dikarenakan adanya faktor historis bangsa Indonesia yang mempunyai ragam perbedaan dari suku, budaya, bahasa, agama, maupun ras. Pluralisme disini diartikan sebagai pola hubungan yang mengakui adanya persamaan hak setiap kelompok.Â
Pluralisme hukum muncul di indonesisa disebabkan juga dari adanya kemajemukan budaya. Suatu keragaman inilah yang menghimpun menjadi satu kesatuan Indonesia.
Penghujung kata, Het recht hink achter de feiten aan, merupakan sebuah ungkapan yang menggambarkan bagaimana hukum selalu tertatih-tatih di belakang realitas sosial. kesenjangan antara hukum dan peristiwa-peristiwa sosial akan menyebabkan hukum kehilangan kewibawaannya. Dengan demikian, hukum harus mampu menyesuaikan diri terhadap setiap perubahan soaial yang ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H