Pada hakikatnya, manusia itu tidak memiliki apa-apa, segala bentuk kebaikan dari manusia adalah mandat dari Allah SWT sebagai bentuk sedekah kepada alam semesta... Allah tidak pernah berhitung. Matahari Dia terbitkan setiap hari, angin dan udara Dia hembuskan setiap hari, pohon dan tumbuh-tumbuhan Dia suburkan, manusia Dia ciptakan dan lain sebagainya, tanpa memperhitungkan apakah makhluk ciptaan-Nya itu akan mengabdi kepada-Nya atau tidak. Bukankah itu perilaku sedekah yang luar biasa? (Cak Nun)
Tak diragukan lagi, Pacitan merupakan basis Partai Demokrat terbesar Indonesia, hal itu disebabkan Kota 1001 goa itu adalah tempat kelahiran Presiden ke-6 RI Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) sekaligus salah satu kabupaten yang berhasil meningkatkan potensi daerahnya, yang konon sebab SBY berhasil membangun infrastruktur daerah yang berada di ujung barat daya Provinsi Jawa Timur itu.
SBY yang berkuasa dua periode itu memang sudah semestinya membangun daerah kelahirannya, sebagai wujud syukur dan terimakasih kepada sanak keluarga dan handai taulannya yang telah mendukung sepenuh hati dirinya, sebagai support sistem dan suksesi kepemimpinannya. Membangun Pacitan merupakan buah cinta dirinya kepada tanah kelahirannya.
Langkah SBY yang melakukan semacam Politik Etis untuk daerah kelahirannya, tentu tak diharapkan SBY sebagai ladangnya sendiri, semacam menanam pohon yang diharapkan buahnya yang kemudian dijual menjadi komoditas politik dirinya sendiri, sebab politik etis hanya dilakukan Belanda yang sudah menjajah Belanda 3,5 abad karena sudah membuat warga Indonesia menderita.
Politik etis sendiri pertama kali muncul di tahun 1890 sebagai bentuk desakan golongan liberal kepada parlemen Belanda. Mereka memandang bahwa Belanda sudah berhutang banyak terhadap kekayaan bangsa Indonesia. Pemikiran van Deventer mengenai politik etis dikaitkan dengan tulisannya yang berjudul Een Eereschuld (Hutang Kehormatan)
Warga Pacitan yang kental dengan budaya Jawa itu merasa SBY merupakan sosok yang tidak bisa dilepaskan dari kemajuannya. Dalam prakteknya, perasaan Hutang Budi warga pacitan berubah menjadi kegeraman dari akar rumput. Berguncanglah kalangan akademisi dan sebagian elite lokalnya, jangan-jangan selama ini perasaan hutang budi itu justru yang mengancam demokratisasi di Pacitan?.
Rasa hutang budi ber-evolusi menjadi budaya Ewuh Pakewuh (sungkan) yang merupakan manifestasi dari kaidah dasar kehidupan masyarakat Jawa. ini semakin menjadi-jadi ketika sebagian masyarakat Pacitan merasa, wilayahnya dianggap sebagai Dinasti kekuaasaan keluarga SBY semata.
Masyarakat yang non-keluarga SBY juga ingin tak ingin bungkam, muncullah isu politik dinasti yang di ejawantahkan dengan terbitnya surat rekomendasi dari ketua umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono kepada kemenakan SBY atau sepupu dari AHY dan Ibas Yudhoyono yaitu Indrata Nur Bayuaji yang saat ini masih menjabat sebagai Ketua DPRD Pacitan itu.
Tentu saja, praktek politik hutang budi selain dapat menimbulkan kohesi sosial, yang menyamar sebagai solidaritas dan loyalitas kolektif. Tetapi, justru politik hutang budi dapat merupakan ancaman berbahaya sekiranya jasa dan kebaikan disemai hanya pada kekuatan pendukung semata. Tidak mustahil, sekecil apapun sikap permusuhan dan kebencian akan menimbulkan kontra-produktif yang mengancam Demokratisasi pada pilkada.
Sebagai bapak Demokrasi Indonesia, SBY yang punya sumbangsih besar dalam kebesaran Demokrasi kita tentunya tak akan mendukung upaya diskriminasi terhadap Demokrasi di tanah kelahirannya dengan tak mempertimbangkan suara dari akar rumput. Maka SBY-isme adalah julukan bagi pemikiran SBY begitu sensitif dan peka dalam merasakan kebutuhan masyarakat secara rill dalam ranah diskusi masyarakat Pacitan.
Kisah dari Kota 1001 Goa itu membuat kita teringat, bahwa betapa kebaikan manusia terkadang rentan menjelma jadi arogansi pribadi yang kemudian di aktulisasi dengan rasa ingin menguasai dan penjajahan mental. Lalu bagaimana dengan kemerdekaan yang diperjuangkan dengan darah dan air mata Pejuang Kemerdekaan RI agar masyarakat Indonesia lepas dari penjajahan Belanda?
Kemerdekaan adalah hadiah yang tak ternilai harganya, buat apa merayakan hari Kemerdekaan setiap 17 Agustus jika gagal memaknai kemerdekaan dengan memperjuangkan demokrasi dari lingkungan terkecil, keluarga dan lingkungan sekitar kita.
Manusia sudah meyakini bahwa Kebaikan dari manusia adalah sedekah bagi alam, hal itulah yang akan membuat mental orang jawa lepas dari budaya ewuh pakewuh kepada orang yang sudah memberikan kebaikan. Bagi yang sudah memberikan kebaikan, dipertanyakan keikhlasannya ketika sudah bersedekah.
Politik dinasti memang konstitusional, akan tetapi sungguh amoral. Sebab  ada praktik jabatan publik dikuasai oleh sekelompok orang, keluarga atau kerabat bakal menimbulkan sentralisasi kekuasaan dan menghidupkan budaya birokrasi usang peninggalan kolonial Belanda.
Padahal, Indonesia memiliki status sebagai negara berdasarkan UUD 1945 pasal 1 Ayat 3 yang berpilar Demokrasi dan HAM. Fenomena politik dinasti dan oligarkhi telah mengakibatkan birokrasi yang dikorup melalui sistem kekerabatan sebagai sumber feodalisme lalu Demokrasi dan HAM dipinggirkan.
Masyarakat Pacitan sadar sosok SBY memang penting untuk dihormati, kan tetapi sebagai Bapak Demokrasi, SBY tentu sangat ingin demokrasi di tanah kelahirannya tersemai indah dan berwarna warni. Lalu bagaimana cara masyarakat Pacitan lepas dari keterjajahan mentalnya?, hanya waktu yang bisa menjawab. Semoga Pacitan bukan hanya menjadi 'Paradise of Java' tetapi juga 'Paradise of Democracy'.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H