Mohon tunggu...
Devi EkaVerawati
Devi EkaVerawati Mohon Tunggu... Mahasiswa - .

.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Judicial Restraint dalam Kewenangan Hakim

26 Juni 2024   16:13 Diperbarui: 26 Juni 2024   16:21 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Devi Eka Verawati/1322300027/Mata Kuliah Hak Uji Materiil/Dr.Tomy Michael,S.H.,M.H.

Sebagai cabang kekuasaan kehakiman yang memiliki wewenang untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Mahkamah Konstitusi dinilai sering kali mengeluarkan putusan yang bersifat kontroversial. Sehingga, munculah berbagai gagasan para pakar hukum untuk membatasi kekuasaan kehakiman, yang salah satunya ialah untuk menerapkan Judicial Restraint.

Menurut Posner dalam dalam jurnal Wicaksana Dramanda dikatakan bahwa:

"Judicial restraint merupakan upaya hakim atau pengadilan untuk membatasi diri dalam kerangka prinsip pemisahan kekuasaan (separation of powers). Hal ini berarti bahwa judicial restraint adalah upaya dari cabang kekuasaan kehakiman untuk tidak mengadili perkara-perkara yang akan dapat mengganggu cabang kekuasaan yang lain. 

Posner beranggapan bahwa pengadilan bukanlah "primary custodian" dalam sistem politik sebuah negara yang dapat menentukan kesejahteraan sosial. Oleh karena itu, pengadilan hanya diperkenankan untuk mengadili perkara-perkara yang ditentukan secara limitatif berdasarkan hukum sebagai kewenangannya"

Sejarah judicial restraint mulai mendapatkan tempatnya semenjak diperkenalkannya Mahkamah Konstitusi ke dalam sistem peradilan di Indonesia atau paling tidak bersamaan dengan lahirnya kewenangan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. 

Persoalan ini tidak terlepas dari bagaimana pengujian yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Pengujian Mahkamah Konstitusi apakah akan bergantung pada norma-norma Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (judicial restraint) sehingga menahan diri dari pembentukan norma baru (negative legislature) atau bertindak progresif sebagaimana konsep judicial activisme.

Konsep judicial restraint adalah upaya dari cabang kekuasaan kehakiman untuk tidak mengadili perkara yang dapat mengganggu cabang kekuasaan yang lain, pengadilan hanya diperkenankan untuk mengadili perkara yang ditentukan secara limitatif berdasarkan hukum sebagai kewenangannya (limited jurisdiction).

Introduksi dan pengembangan konsep judicial restraint (atau seringkali disebut judicial self-restraint dalam literatur, yang membedakan adalah penekanan atas pembatasan yang dilakukan berasal dari internal) tidak dapat dilepaskan dari praktik ketatanegaraan Amerika Serikat. 

Terlebih bila dikaitkan bahwa konsep judicial restraint hidup dan berkembang pada praktik judicial review dalam kekuasaan kehakiman Amerika Serikat, khususnya pada federal judicial hierarchy.  

Menurut Barron dan Dienes, konsep judicial restraint dibebankan kepada lembaga kekuasaan kehakiman untuk menentukan persyaratan dan kebijakan dalam penerapannya pada kewenangan judicial review, sehingga hal ini sering disebut sebagai justiciability.

Lebih lanjut, wujud judicial restraint muncul ketika hakim merasa ragu-ragu dan ketakutan bahwa perspektif personalnya akan mempengaruhi putusan yang diambilnya. 

Walaupun demikian, menurut Penulis, hakim masih dimungkinkan menerapkan definisi judicial restraint bila hakim mengadili norma yang memang secara naturalia bertentangan dengan kondisi personalitasnya. Bila hal ini terjadi dan membuat hakim "menahan diri" dalam mengadili, maka sejatinya pendefinisian judicial restraint dalam wujud (1) dan (2) telah dilaksanakan.

konsep judicial restraint adalah kesadaran terhadap adanya kendala politik praktis dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Kendala politik yang dihadapi tidak memiliki limitasi yang jelas, namun kendala politik praktis ini seringkali sangat luas, bahkan lebih luas bila dibandingkan dengan pemaknaan pembatasan dalam konsep judicial restraint pada varian yang lain.

Sikap menahan diri bukanlah berarti lembaga peradilan tidak boleh atau menolak untuk menguji suatu produk hukum, tetapi lebih kepada kapan dan untuk persoalan apa lembaga peradilan harus menahan diri. 

Lembaga peradilan menurut Kavanagh harus memiliki ukuran derajat kewenangan yang dimilikinya sebagai parameter kapan harus bertindak dan kapan harus menahan diri.  Berdasarkan hal tersebut, kesadaran dan sikap batin hakim sangat berkaitan dalam penerapan judicial restraint, sama halnya ketika membentuk suatu putusan yang terdapat pertimbangan hakim di dalamnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun