Mohon tunggu...
Devdan Dewa
Devdan Dewa Mohon Tunggu... Administrasi - Akademisi

Akademisi dan penulis lepas yang mendikasikan diri pada kalimat yang bebas tanpa harus dibatasi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Takut Menjadi Dewasa di Hari Ini

14 November 2013   07:30 Diperbarui: 17 Maret 2024   05:39 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku benci lilin yang berbaris rapih diatas tart menunjuk sebuah angka. Menyala-nyala seakan menertawakan. Aku selalu menjadi begitu angkuh ketika tart bertabur lilin itu disajikan dimuka ku. Tepat pada titik awal perputaran waktu. Karena hari ini adalah 14 Nopember, dan aku tak pernah suka itu. Karena setiap orang jadi begitu berisik.

 

Berbicara hal-hal yang tidak aku mengerti. Dengan senyum mereka berkata bait-bait doa yang begitu banyak. Padahal, jangankan mendoakan orang lain. Berdoa untuk diri sendiri saja. Mungkin hanya dilakukan ketika masalah itu ada. Lalu mulai menasehati diri. Seakan dia telah mengetahui segala isi bumi. Berusaha menggurui. Padahal ia pun buta duniawi.

 

"Hari ini adalahhari dimana aku dilahirkan."

 

Yang pada akhirnya berbalik menjadi menuntut diri. Meminta ini dan itu yang tak tersirat secara arti. Aku memang benci hari ini. Karena aku benci bertambah tua. Tua yang berarti juga dituntut dewasa. Dewasa yang selalu identik dengan kekauan.

 

Kekakuan yang merubah arti tentang dunia yang aku pahami selama ini. Karena mereka yang menganggap telah menjadi "dewasa" kerap berusaha membohongi diri. Padahal mereka ajari aku berkata jujur. Apakah arti jujur itu berkata sebaliknya? Orang dewasa itu munafik. Berusaha mencari pembenaran dari kesalahan. Atau mencari kesalahan dari sebuah pembenaran. Entahlah.

 

Orang dewasa itu selalu penuh kepalsuan.

Orang dewasa selalu saja memasang wajah tangguh. Padahal ia telah buta akan arah melangkah. Atau merendah seakan tak punya. Dengan pandai memperdaya orang dewasa lain yang dengan mudah diperdaya. Adapula  mereka dengan senyum yang sama berjalan beriringan. Lalu memecah tawa dikeramaian. Terlihat begitu bersahaja. Tapi sesungguhnya mereka tak tertawa bersama. Tapi saling menertawakan. Saling menjatuhkan.

 

Lalu setelah lelah, mereka duduk ditaman kota. Menikmati senja seusai pulang bekerja. Tanpa sengaja bertemu dengan pengemis renta. Dan memberi derma. Tapi itu bukan derma, melainkan membayar puji dari sesama.

 

Orang yang mengaku dewasa itu juga lemah. Mengaku beragama. Tapi kerap kali tertipu oleh Iblis yang menjelma. Atau menjadi menyalahkan Tuhan atas takdir yang telah ada. Padahal ia yang menciptakan takdirnya.

 

Orang dewasa itu mengganti arti Tuhan.

Aku selalu diajarkan bahwa tujuan manusia hidup adalah untuk menyembah Tuhan. Bukan satu-dua tahun bahkan belasan tahun aku mempelajari bahwa Tuhan itu satu. Dan pedomanNya adalah kitab-kitab Nya. Tapi menjadi dewasa sepertinya adalah sebuah perubahan total. Karena seketika Tuhan menjadi sekedar nama. Yang hanya di yakini tapi tidak lagi diimani.

 

Hanya sedikit orang saja yang sanggup bertahan. Walau kadang tetap terbawa racun kedewasaan. Tuhan menjadi dongeng yang hanya layak bagi anak kecil. Karena kenyataannya setelah dewasa adalah kita hidup untuk uang. Kita hidup demi memerdekakan Tuhan atas nama uang. Dengan dalih bekerja adalah sebagian dari keimanan. Tapi bukankah sekali lagi mereka menipu diri. Bahwa mereka telah menjadi budak dari uang.

 

Time Is Money.

 

Bahkan waktunya didedikasikan untuk duniawi. Bukan pada akhirat nanti. Orang dewasa menjadi begitu agnostik. Menjadi begitu realistis, bahwa semua harus tersaji dalam bentuk fakta. Sejati. Bukankah yang tak terungkap kini biarlah menjadi rahasia sang ilahi.

 

Dan manusia semakin ingin melampaui. Kuasa Tuhan dengan menjadi Tuhan. Orang dewasa telah menyalah artikan tugas mereka sebagai khalifah dibumi. Lalu menciptakan aturan-aturan sendiri. Menyingkirkan Al-Qur'an berdebu dilemari. Untuk menciptakan keadilan. Keadailan yang hanya bagi mereka saja yang dapat mengikuti. Perubahan yang entah kemana mengalir.

 

Mengupas kegilaan orang dewasa tak akan pernah berhenti pada titik. Dan semua orang akan terus terbawa pada arti kedewasaan yang mengeri. Sampai arti dewasa itu kembali. Kembali pada khakikatnya yang khakiki.

 

Dan aku yang membenci ini. Akan terus mencintai jalan yang aku pilih. Jalan yang memusuhi arti kedewasaan yang seperti ini. Arti kedewasaan yang telah bercampur dengan tipu daya Iblis didalamnya. Meski tak dapat kututupi aku mungkin akan menjadi teracuni. Tapi aku akan menjadi diri yang sesederhana. Bocah lugu yang memandang hidup adalah bagian dari kegembiraan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun