Mohon tunggu...
DEVA SEPTANA
DEVA SEPTANA Mohon Tunggu... Penulis - Journalist

Kompas In Aja!

Selanjutnya

Tutup

Diary

Pacaran Itu tidak Ada Manfaatnya!

20 Januari 2025   07:45 Diperbarui: 20 Januari 2025   07:45 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kekerasan dalam hubungan pacaran telah menjadi isu yang semakin mengemuka di Indonesia. Berdasarkan data Komnas Perempuan tahun 2023, terdapat 3.528 kasus kekerasan dalam pacaran yang dilaporkan, menjadikannya bentuk kekerasan terhadap perempuan yang paling banyak terjadi dibandingkan kekerasan dalam rumah tangga atau terhadap anak perempuan. Kasus ini mencakup kekerasan fisik, emosional, verbal, sosial, hingga seksual.

Angka tersebut tidak hanya sekadar statistik. Di balik setiap laporan, terdapat individu yang mengalami penderitaan mendalam dan sering kali merasa terjebak dalam hubungan yang tidak sehat. Sayangnya, 40-70% korban memilih untuk tetap bertahan meskipun menderita secara fisik, mental, dan material.

Mengapa korban kekerasan dalam pacaran sulit melepaskan diri? Beberapa faktor seperti trauma masa kecil, tekanan psikologis, ketergantungan finansial, dan norma patriarki yang dominan sering disebut sebagai alasan utama. Namun, penelitian terbaru pada tahun 2024 menunjukkan bahwa bias kognitif juga memiliki pengaruh besar dalam keputusan korban untuk tetap bertahan.

Memahami Bias Kognitif dalam Keputusan Korban
Bias kognitif adalah kecenderungan alam bawah sadar manusia untuk salah menafsirkan informasi, yang akhirnya memengaruhi pengambilan keputusan. Dalam konteks kekerasan pacaran, setidaknya terdapat lima jenis bias kognitif yang sering memerangkap korban dalam hubungan berbahaya:

Bias Framing: "Dia telah mengambil kehormatanku"
Bias framing membuat seseorang menafsirkan situasi berdasarkan bagaimana informasi disajikan. Dalam banyak kasus, korban menganggap kehilangan keperawanan sebagai kehilangan kehormatan.
Seorang korban menyatakan, "Dia sudah ambil kehormatanku, jadi aku harus bertahan. Kalau aku tinggalkan dia, aku merasa tidak berharga."
Padahal, pemahaman ini keliru dan sering kali memperkuat sikap pasif korban dalam menghadapi kekerasan.

Bias Emosional: "Saya takut kehilangan dia"
Bias emosional menyebabkan seseorang lebih mengandalkan perasaan daripada logika dalam mengambil keputusan. Banyak korban merasa terlalu mencintai pasangannya atau takut kehilangan sosok yang dianggap berarti, meskipun hubungan itu penuh kekerasan.
Seorang korban lain berkata, "Walaupun dia kasar, aku tidak bisa membayangkan hidup tanpanya."

Ilusi Kontrol: "Dia pasti akan berubah suatu saat nanti"
Korban sering kali percaya bahwa mereka bisa mengubah perilaku pasangan yang kasar melalui kesabaran dan usaha. Namun, keyakinan ini sering kali hanya membawa kekecewaan.
Seperti yang dikatakan salah satu korban, "Aku yakin dia akan berubah kalau aku terus sabar. Tapi setiap kali aku memaafkannya, dia justru semakin kasar."

Loss Aversion: "Aku sudah terlalu banyak berkorban"
Bias ini membuat korban merasa bahwa mereka telah menginvestasikan terlalu banyak waktu, emosi, atau bahkan materi dalam hubungan tersebut sehingga meninggalkannya dianggap sebagai kerugian besar.
"Aku sudah berkorban banyak. Kalau aku pergi sekarang, semua usahaku akan sia-sia," ungkap seorang korban.

Regret Aversion: "Aku tidak mau mengulangi kesalahan yang sama"
Ketakutan akan rasa penyesalan di masa depan membuat korban memilih bertahan dalam hubungan yang toxic. Mereka takut keputusan untuk meninggalkan pasangan akan menjadi kesalahan besar.
Seorang korban menceritakan, "Aku pernah menyesal saat memutuskan sesuatu yang salah. Jadi kali ini, aku memilih bertahan, meskipun aku tahu dia menyakitiku."

Membongkar Siklus Kekerasan
Bias kognitif sering kali menjadi penghalang utama bagi korban untuk keluar dari hubungan yang penuh kekerasan. Pemahaman akan bias-bias ini penting, baik bagi korban maupun orang-orang di sekitar mereka.

Pertama, korban perlu diberi ruang aman untuk menyadari pola pikir yang keliru. Dukungan dari keluarga, teman, atau komunitas tanpa penghakiman dapat membantu korban merasa dimengerti dan mendapatkan kepercayaan diri untuk mengambil keputusan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun