Yogyakarta - Penetapan status tersangka terhadap Meila Nurul Fajriah, seorang pendamping hukum korban kekerasan seksual di Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, menjadi sorotan publik. Kasus ini tidak hanya memicu perdebatan mengenai prosedur hukum, tetapi juga mempertanyakan sejauh mana perlindungan hukum yang diberikan kepada pendamping korban kekerasan seksual. Aparat penegak hukum bersikeras bahwa keputusan mereka didasarkan pada bukti yang valid, tetapi banyak pihak, termasuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), merasa bahwa kriminalisasi semacam ini dapat menjadi ancaman besar terhadap profesi pendamping hukum.
Peran Pendamping Hukum dalam Kasus Kekerasan Seksual
Pendamping hukum tidak hanya bertugas memberikan advokasi di ruang sidang, tetapi juga memainkan peran vital dalam memberikan dukungan psikologis dan emosional kepada korban. Korban kekerasan seksual sering kali mengalami trauma mendalam yang membutuhkan pendampingan khusus untuk memastikan keberanian mereka melapor dan bersaksi di pengadilan.
Namun, peran yang begitu krusial ini juga datang dengan berbagai tantangan. Pendamping korban kerap kali menghadapi ancaman berupa kriminalisasi atas tindakan mereka, seperti yang terlihat dalam kasus Meila Nurul Fajriah. Situasi ini memperlihatkan bahwa meskipun pendamping hukum memiliki landasan hukum yang melindungi perannya, masih ada celah dalam implementasi perlindungan tersebut di lapangan.
Di Indonesia, kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan tinggi semakin meningkat. Perguruan tinggi yang seharusnya menjadi tempat yang aman dan kondusif justru menjadi tempat terjadinya berbagai bentuk kekerasan. Dalam kondisi ini, pendamping hukum memegang peranan strategis dalam memastikan bahwa korban tidak hanya mendapatkan keadilan, tetapi juga merasa aman selama proses hukum berlangsung.
UU Hak dan Perlindungan
Sebagai bagian dari profesi hukum, pendamping korban diatur oleh kode etik dan undang-undang yang menjamin hak dan perlindungan mereka. UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat secara eksplisit menyebutkan bahwa advokat bebas menjalankan tugas profesinya dengan tetap mematuhi aturan hukum dan kode etik yang berlaku. Perlindungan ini penting untuk memastikan bahwa mereka dapat menjalankan tugasnya tanpa rasa takut akan kriminalisasi atau intimidasi.
Selain itu, UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum memberikan perlindungan tambahan kepada pendamping hukum. Dalam undang-undang ini, disebutkan bahwa pemberi bantuan hukum tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, atas tindakan yang dilakukan dengan itikad baik. Perlindungan ini juga diperkuat oleh UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Pasal 29 UU TPKS dengan jelas menyebutkan bahwa pendamping hukum tidak dapat dituntut atas tindakan pendampingan yang dilakukan, kecuali jika terbukti dilakukan tanpa itikad baik. Pasal 28 dalam undang-undang yang sama menegaskan bahwa pendamping berhak mendapatkan perlindungan hukum selama menjalankan tugasnya.
Dalam hukum pidana, setiap penetapan tersangka harus memenuhi asas due process of law. Asas ini menjamin keadilan prosedural dengan memastikan bahwa setiap tindakan hukum didasarkan pada bukti yang valid dan dilakukan melalui prosedur yang transparan. Dalam kasus pendamping korban kekerasan seksual, pendekatan ini harus diterapkan dengan sangat hati-hati, mengingat dampaknya yang luas terhadap kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.
Selain itu, pentingnya pendekatan berbasis gender dalam kasus kekerasan seksual tidak bisa diabaikan. Pendekatan ini menempatkan korban sebagai subjek hukum yang membutuhkan perlindungan khusus. Aparat penegak hukum perlu memahami konteks sosial, psikologis, dan gender dalam menangani kasus ini. Pendamping hukum juga harus dipandang sebagai bagian integral dari sistem perlindungan korban, bukan sebagai pihak yang dapat dengan mudah dikriminalisasi.
Urgensi Perlindungan Pendamping Korban
Kasus kriminalisasi terhadap pendamping korban, seperti yang dialami oleh Meila Nurul Fajriah, menggarisbawahi pentingnya perlindungan hukum yang lebih kuat bagi para pendamping hukum korban kekerasan seksual. Pendamping korban adalah aktor kunci dalam proses penanganan kasus kekerasan seksual. Mereka tidak hanya bertugas memberikan advokasi hukum tetapi juga memastikan bahwa korban yang sering kali mengalami trauma berat mendapatkan perlindungan, pendampingan emosional, dan rasa aman selama proses hukum berlangsung.
Kemen PPPA menegaskan bahwa perlindungan hukum ini tidak hanya melindungi pendamping, tetapi juga menjadi langkah penting dalam menciptakan sistem peradilan yang adil dan inklusif. Jika pendamping merasa terancam, korban kekerasan seksual akan kehilangan pendukung utama mereka, yang pada akhirnya merugikan upaya penegakan keadilan.
Karena itu, perlindungan hukum terhadap pendamping korban harus menjadi prioritas. Pemerintah dan aparat penegak hukum perlu memahami bahwa pendamping korban bekerja berdasarkan kode etik dan aturan hukum yang ketat. Perlindungan terhadap mereka sudah diatur dalam berbagai undang-undang, seperti UU Bantuan Hukum, UU Advokat, dan UU TPKS. Namun, implementasinya di lapangan sering kali kurang maksimal. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah konkret untuk memperkuat perlindungan ini.
Pembentukan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di perguruan tinggi menjadi langkah penting untuk mendukung korban dan pendamping. Satgas ini harus dilengkapi dengan mekanisme pengaduan yang efektif dan perlindungan terhadap pendamping hukum.
Perlindungan pendamping korban juga penting untuk memastikan keberlanjutan advokasi dalam kasus-kasus kekerasan seksual. Jika pendamping hukum merasa terlindungi, mereka akan lebih percaya diri dalam menjalankan tugasnya. Dengan demikian, korban dapat memperoleh akses keadilan yang lebih baik, dan sistem hukum Indonesia dapat lebih responsif terhadap kasus-kasus kekerasan seksual.
Kasus penetapan tersangka terhadap pendamping korban kekerasan seksual seperti Meila Nurul Fajriah merupakan pengingat akan perlunya pembenahan dalam sistem hukum kita. Perlindungan terhadap pendamping korban bukan hanya soal melindungi profesi mereka, tetapi juga soal memastikan bahwa korban kekerasan seksual mendapatkan akses keadilan yang layak.
Dalam jangka panjang, perlindungan bagi pendamping korban adalah investasi dalam sistem hukum yang lebih inklusif dan adil. Hal ini tidak hanya memberikan manfaat bagi korban dan pendamping, tetapi juga memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H