Mohon tunggu...
Devanda Paksi
Devanda Paksi Mohon Tunggu... Desainer - Desainer Grafis

Saya seorang Desainer Grafis, yang sedang melakukan studi S2 Manajemen Pemasaran.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Ajakan Penggunaan Praktik Jasa Psikolog Sebagai Upaya Menghindari Perilaku Self-Diagnose

31 Agustus 2024   10:30 Diperbarui: 31 Agustus 2024   10:35 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ajakan Penggunaan Praktik Jasa Psikolog Sebagai Upaya Menghindari Perilaku Self- Diagnose

Kita sangat amat sering mendengar ungkapan yang terkesan mengambing hitamkan Generasi Z sebagai pribadi yang lemah secara mental. Stigma tersebut berkembang di masyarakat baik melalui dunia maya, ataupun di lingkungan sekitar kita. Hari ini kita sering terpapar dengan konten-konten edukasi psikolog. Konten tersebut mengenalkan kita akan banyak istilah dari psikologi, dan bermacam-macam penyakit kejiwaan ringan (contoh: depresi, gangguan kecemasan, panik, traumatik, psikosomatis)

Hal tersebut memiliki dampak positif bagi masyarakat masa kini karena telah memberikan kita suatu wawasan untuk mengenal lebih luas kesehatan mental ringan. Namun hal tersebut dapat menjadi boomerang bagi beberapa audiens yang menerima informasi konten praktis tersebut secara mentah dan terkesan sering menjadi seorang yang mendiagnosa dirinya sendiri (self-diagnosis) dengan penyakit istilah-istilah psikologis untuk sebagai excuse “dalih” untuk mentoleransi pelanggaran ia sebagai pribadi maupun di kehidupan di lingkungan sosial. 

Contohnya pelanggaran yang sering terjadi, misal di kehidupan sosial ialah kekerasan dalam rumah tangga, perselingkuhan, playing victim dan manipulative untuk menyelamatkan atau menguntungkan diri sendiri di suatu keadaan pada kelompok sosial. Ataupun yang merugikan dirinya sendiri yang berupa self-destructive contohnya seperti menyiksa diri, alkoholik, penggunaan obat psikotropika, dan dapat berujung bunuh diri. Self-diagnosis adalah mendiagnosis atau mengklaim diri sendiri sebagai orang yang mengidap sebuah penyakit berdasarkan pengetahuan dan informasi yang didapatkan secara mandiri tanpa dibantu dengan orang yang profesional.

Fenomena Self-Diagnose yang beriringan dengan wawasan tentang penyakit mental, berkembang dari munculnya konten-konten di media sosial. Media sosial dipenuhi oleh para remaja yang melakukan self-diagnosis terhadap kesehatan mentalnya dan menganggap hal tersebut sebagai hal yang keren dan estetik untuk dipublish. Mereka seakan-akan sedang berlomba-lomba menunjukkan kesedihan dan penderitaan mereka. 

Bagi orang yang sedang menjalani masalah kehidupan ada poin relatable atau hubungan apa yang ia rasakan dengan dengan konten teori psikologi praktis tersebut. Ramuan konten-konten adu nasib yang dicampur dengan teori psikologi menghasilkan istilah “standar tiktok” yang sering digunakan para remaja yang moody-an untuk mendeskripsikan dirinya sendiri bahwa ialah paling benar dan mengalami ketakutan/kecemasan emosional, padahal dia belum memiliki diagnosis dokter dan hanya berdasarkan referensi konten-konten yang ia lihat di media sosial.

Tren ini seharusnya kita hindari dan sudahi secepatnya karena sangat berdampak buruk bagi karakter dan mental para remaja yang kian hari terlihat semakin sensitif dan mudah pesimistik bila dihadapkan dengan masalah. Hal tersebut yang memperkuat stigma masyarakat akan lemahnya mental generasi masa kini, dikarenakan seringnya penggunaan istilah psikologi yang ia terima dari konten-konten untuk menganulir dan mentoleransi sebagai pembenaran pelanggaran yang diperbuat, contohnya kedisiplinan di lingkungan kerja, di kehidupan bersosial, maupun di keluarga. Namun, tidak bijak rasanya untuk mengutuk satu generasi dengan stigma tanpa memberikan solusi, ataupun penanganan yang tepat, yaitu menormalisasi dan ajakan untuk melakukan periksa dengan psikolog professional.

Mengacu pada data dari Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes), sekitar 1 dari 10 orang di Indonesia mengidap gangguan mental. Dalam data yang sama, Riskesdas 2018 mengungkapkan bahwa lebih dari 19 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun di Indonesia mengalami gangguan mental emosional. Selain itu, lebih dari 12 juta orang dalam kelompok usia yang sama mengalami depresi. 

Di tengah maraknya pemahaman orang akan kesehatan mental, namun ironisnya masih banyak orang yang tidak ingin atau mampu pergi ke psikolog untuk berkonsultasi mengenai masalah gangguan mental miliknya. Kebanyakan dari orang tersebut merasa apa yang ia rasakan belum seberapa, dan hanya membutuhkan validasi dan support dari orang lain. Tanpa disadari dari rasa sakit yang disebarkan awalnya melalui curahan hati tersebut, namun lama-lama akan semakin merasa menghabiskan energi orang sekitar, apabila tidak ditangani oleh psikolog professional. 

Sesuai dengan Kemenkes Direktorat Jendral Pelayanan Kesehetan, Ada beberapa faktor yang mempengaruhi orang melakukan self-diagnosis, yaitu: 1. Takutnya pada stigma penghakiman ketika bercerita ke psikolog, 2. Biaya psikolog, 3. Kebanyakan orang lebih memilih nyaman dengan meromantisme dan mengobatinya dengan validasi di kehidupan bermedia sosial. Faktor tersebut sesuai dengan kenyataan mengapa kebanyakan remaja tidak pergi ke psikolog dan memilih untuk melakukan self-diagnosis ialah kesenjangan usia, Generasi Z yang lahir di usia 1997-2012 pada saat ini adalah generasi yang memasuki fresh graduate, dan beberapa masih mengenyam pendidikan sekolah. 

Kebanyakan dari mereka merasa tidak memiliki akses karena tidak cukup memiliki uang sendiri untuk biaya melakukan pengobatan praktik di psikolog, merekapun merasa tidak percaya diri untuk menceritakan permasalahan pribadi psikologis ke keluarga atau orang tua wali yang membiayainya dikarenakan masih adanya stigma negatif di generasi pendahulu, yang lebih sering dinasehati melalui pendekatan rohani dan agama, yang padahal hal tersebut tidak salah, namun kurang tepat untuk penangan pertama pada penyakit mental, contoh yang sering kita dengar sebagai anak ialah nasihat bahwa depresi karena kurang dekat dengan Tuhan.

 Hal tersebut tidak salah namun beberapa gejala tidak dapat diatasi hanya diberikan nasihat seperti tersebut, dikarenakan psikolog professional memiliki kaidah ilmu yang lebih terstruktur untuk memahami penyakit. Sehingga kebanyakan dari mereka membuat komunitas atau aktivitas sosial sebagai perkumpulan dari orang-orang yang merasa satu penderitaan, dan merasa saling memahami. Padahal penyakit mental tersebut jika tidak segera diatasi memunculkan berbagai dampak negatif.

Menurut Jurnal yang ditulis oleh Ulul Albab Annury, Fitria Yuliana, Ve. Aufara Zuhra Suhadi, Cindy Sekar Ayu Karlina (2022) ada beberapa dampak dari self-diagnosis yaitu:

  • Dampak Kognitif

Dampak kognitif merupakan dampak yang terjadi ketika seseorang bimbang atau tidak yakin dengan dirinya sendiri, apakah ia mengalami gangguan mental atau tidak. Ini dapat menimbulkan persepsi yang bisa dibilang tidak normal dan membuat seseorang kehilangan kepercayaan diri bahkan putus asa. Beberapa dampak kognitif yang sering dijumpai yaitu :

  • a. Salah Diagnosis: Diagnosis didasarkan pada analisis menyeluruh terhadap gejala, riwayat medis, faktor lingkungan, dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang. Beberapa memerlukan berbagai tes tindak lanjut dan pengamatan lebih lanjut untuk menentukan apakah ada masalah fisik atau psikologis. Tanpa penyelidikan lebih lanjut, tidak mungkin untuk menarik kesimpulan tentang gejala yang dirasakan hanya dengan membandingkannya dengan gejala yang terdaftar.
  • b. Salah Penanganan: Diagnosis yang salah cenderung mengarah pada perawatan yang salah. Membeli obat setelah selfdiagnosis atau pengobatan setelah self-diagnosis dapat berakibat fatal. Diagnosis sendiri dapat menyebabkan efek samping yang berbahaya karena penyakit yang berbeda memerlukan perawatan, jenis, dan dosis yang berbeda.
  • c. Menyebabkan masalah kesehatan yang lebih serius: Self-diagnosis dapat memperburuk penyakit dan menambah masalah baru (komplikasi). Obat yang salah tidak menyembuhkan rasa sakit, itu menyebabkan penyakit lain. Selain itu, mencari dan menerima informasi tentang kondisi medis di internet dan media sosial secara berlebihan dapat menyebabkan diagnosis diri dan menderita cyberchondria, yang menyebabkan kecemasan dan kepanikan. Seperti dijelaskan di atas, penilaian diri kesehatan mental memiliki beberapa efek negative yang dapat terjadi pada pelaku.

2. Dampak efektif

Dampak efektif adalah dampak yang terlihat jelas berdasarkan dengan data dari kesulitan fisik danemosional seseorang yang selanjutnya bisa mengalami self-diagnose. Selain itu dampak efektif yangterlihat lainnya adalah penderita self-diagnose itu sendiri akan mempengaruhi orientasi di masa depan.

3. Dampak perilaku

Dampak perilaku ini menjadikan kita sebagai seseorang yang selalu khawatir dan beranggapan negative kepada orang lain. Itu akan menjadikan kita sebagai seseorang dengan "optimis yang dipaksakan" dimana kita terpaksa untuk berbuat baik dan berperilaku baik di depan orang lain sehingga membuat diri kita menjadi orang yang tidak sebenarnya.

4. Dampak positif

Self diagnogse itu sendiri sebenarnya juga mengandung dampak positif. Ada beberapa manfaat yang didapat karena self-diagnose. Seseorang bisa mengevaluasi gelaja-gejala yang dialaminya dalam mempelajari ilmu tentang self-diagnose. Namun self-diagnose juga bukan berarti dibenarkan dengan adanya dampak positif ini, karena dampak negatif yang didapat dari self-diagnose jauh lebih besar dan banyak sehingga dapat merugikan diri sendiri.

Sesuai dengan dr. Elvine Gunawan, Sp. KJ, ketika menjadi Narasumber di podcast kanal youtube Raditya Dika, ada beberapa hal yang dapat mengatasi self-diagnosis, yaitu menormalisasikan ajakan untuk pengobatan praktik ke Psikolog, yang tentunya dengan pendekatan yang baik dan nyaman, tanpa menyudutkan atau menghakimi orang yang butuh pengobatan. Lalu kitapun tidak perlu takut akan stigma masyarakat akan kesehatan mental. Setiap orang sebenarnya memiliki tingkatan ketahanan tekanan mental masing-masing, dan apabila merasa sudah tidak cukup kuat lagi untuk menanggung dari beban tersebut, alangkah lebih baiknya dikonsultasikan dengan psikolog professional untuk penanganan yang tepat. 

Masa kini telah banyak pilihan cara melakukan konsultasi psikolog dengan biaya beragam dan akses yang mudah. Jika di kotamu sulit menemukan psikolog, kamu bisa berkonsultasi online melalui Halodoc ataupun aplikasi serupa. Sehingga tidak ada alasan bagi kamu untuk berlama-lama memendam dan melakukan self-diagnose.


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun