Mohon tunggu...
Deus Advocate
Deus Advocate Mohon Tunggu... -

Staf Pengajar FH UI

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kasus Fahri: Hukum Privat v Hukum Publik

20 Desember 2016   19:09 Diperbarui: 20 Desember 2016   19:16 1356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rabu 14 Desember 2016 lalu, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta  Selatan mengabulkan sebagian gugatan Fahri Hamzah. Inti dari putusan tersebut menyebutkan bahwasanya semua tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum dan seluruh keputusan yang dibuat tergugat dinyatakan batal demi hukum. Artinya, segala implikasi yang diharapkan terjadi oleh DPP PKS berkaitan dengan pemecatan Fahri Hamzah dari keanggotaan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mulai dari pencopotan dari pimpinan DPR sampai dengan pemberhentian sebagai sebagai Anggota DPR RI dinyatakan tidak sah serta tetap berlaku sebagaimana sedia kala (status quo).

Putusan ini sesungguhnya menegaskan putusan provisi yang sebelumnya telah diketuk oleh majelis hakim PN Jaksel. Hal yang lebih mendasar dari putusan tersebut adalah, bahwa secara hukum  logika yang dipakai oleh Pimpinan PKS dalam melakukan pemecatan terhadap Fahri Hamzah keliru baik secara substansi maupun secara formal. Kekeliruan atau yang dalam terminologi jawa disebut ‘keblinger’  ini tentu saja amat mendasar bagi sebuah partai yang selalu mendengungkan slogan keadilan. Namun sayang, dalam perjalanannya slogan PKS tersebut justru mengalami pendangkalan makna dan justru menghantarkannya pada tindakan dzhalim kepada anggotanya.

Sebagai seorang akademisim saya merasa perlu menyampaikan bahwa, ada beberapa kesalahan logika yang sungguh menggelikan dan dilakukan secara terstruktur oleh pimpinan PKS, yakni:

1. Pembangkang

DPP PKS melalui arahannya meminta segenap struktur, kader dan simpatisan diseluruh daerah untuk menghindari interaksi dengan Fahri Hamzah karena  pembangkangannya terhadap pimpinan partai.  Sebuah logika yang sengaja dijejalkan meski sangat berbahaya dan berpotensi menjadi “senjata makan tuan” bila kasus ini dibuka secara terang benderang. Publik PKS dipaksa hanya menerima informasi tunggal bahwa Fahri Hamzah adalah orang yang “tidak tahu diri dan haus kekuasaan”. Logika ini bahkan secara sadis di rangkaikan dengan cerita Sahabat Khalid bin Walid yang dengan ikhlas merelakan jabatan Panglima perang di era khalifah Umar bin Khatab. Cerita sahabat yang tidak utuh tersebut sengaja diputus dari konteks nya dan cenderung ditempatkan secara manipulatif.

Publik perlu mengetahui, bahwa sampai dengan putusan PN Jaksel diketuk oleh Majelis Hakim, PKS tidak pernah bisa menjelaskan apa sesungguhnya alasan atau latar belakang mengapa Fahri Hamzah harus dicopot dari jabatan wakil ketua DPR RI bahkan sampai dari keanggotaan PKS. Kesan (bahwa) Ketua Majelis syuro PKS adalah absolut justru seakan makin menjadi-jadi dengan prosedur proses pemecatan Fahri Hamzah yang dilakukan secara serampangan. PKS justru melakukan pendekatan kuasa ketimbang menjabarkan dasar dari semua upaya pemecatan dan pelengseran jabatan. Penggunaan terminologi “ketaatan” kader terhadap pimpinanannya seakan ditempatkan terlepas dari konteksnya. Miris mendengarnya namun celakanya itulah fakta yang  terjadi dan terungkap di pengadilan.

Tidak bersedianya Fahri Hamzah mengikuti permintaan Ketua Majelis Syuro untuk mundur dari jabatan Wakil Ketua DPR RI dijadikan dasar pemecatannya sebagai anggota partai. PKS mencoba mendalilkan bahwa otoritas ini adalah bagian dari independensi partai sebagaimana dijamin Undang-Undang. Mereka seakan memiliki dasar bahwa perikatan partai dengan anggotanya mengikat layaknya undang-undang sebagaimana yang diatur pasal 1338 KUH Perdata.

Entah Pimpinan PKS yang tidak paham atau memang Kuasa Hukum mereka yang tidak kapabel, sehingga mereka lupa bahwa Jabatan Anggota DPR dan Pimpinan DPR adalah ruang hukum publik yang rezim hukumnya berbeda dengan hukum privat. UU Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik pasal 10 ayat 1 huruf c menyatakan bahwa salah satu tujuan partai politik adalah untuk  mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Artinya meskipun Negara memberikan independensi kepada partai dan pimpinannya, namun disaat yang sama juga mereka memiliki kewajiban mengembangkan kehidupan politik yang demokratis dan menjauhi kesan absolutisme.

Logika hukum PKS ini sungguh keblinger. Bahkan mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan di Fakultas Hukum tingkat satu sekalipun paham bahwa rezim hukum yang lebih privat harus tunduk dengan rezim hukum publik. Jika sudah seperti ini, maka timbul pertanyaan dibenak kita, apakah Fahri Hamzah yang membangkang ataukah justru  PKS yang tidak mau mematuhi peraturan perundang-undangan?.

2. Organisasi Ekspansif menjadi DEGENERATIF

Dalam Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) yang lalu PKS memiliki target yang sangat obsesif. Serperangkat Program strategis dan kegiatan dicanangkan untuk meningkatkan elektabilitas PKS pada pemilu 2019.  Harapan  memenangkan serangkaian Pilkada yang akan dihadapi dipaparkan sedemikian rupa dengan justifikasi moral namun sepi dari metode pencapaiannya. Optimisme membuncah dan kerja-kerja ekspansif pun diniatkan untuk dilaksanakan. Namun sayang, belum genap setahun hal tersebut disahkan, PKS seakan kehabisan energi dan tak mampu mengeksekusi kerja-kerja besar yang direncanakannya sendiri. Kelelahan ini semakin nampak ketika secara bergelombang Majelis Pertimbangan Pusat (MPP) PKS melakukan roadshowke daerah-daerah dengan agenda re-idiologisasi. Suatu hal yang janggal, mengingat kader PKS selama ini telah ditempa dengan proses kaderisasidan telah teruji bertahun-tahun. PKS seakan sanksi dengan kestiqohan (kepercayaan) kader terhadap pimpinan partai. Berulang acara dilakukan di banyak daerah justru semakin membingungkan kader di tingkatan lapangan.

PKS menderita penyakit degeneratif yang mulai membahayakan. Dalam beberapa definisi dinyatakan bahwa degeneratif merupakan penyakit yang menyebabkan terjadinya kerusakan atau penghancuran terhadap jaringan atau organ tubuh. Proses dari kerusakan ini dapat disebabkan oleh penggunaan organ, seiring dengan usia maupun karena gaya hidup yang tidak sehat. Gambaran tersebut seakan serupa dengan apa yang hari ini terjadi terhadap PKS. Partai ini seakan kehilangan ide, narasi dan aksi dilapangan, karena mungkin  terkuras bermain pada konflik internal yang dibumbui dengan ancaman sanksi disiplin organisasi bila ada yang melawan. Alih-alih bermimpi untuk memperbanyak kursi dan pengaruh di kancah perpolitikan nasional, PKS justru tampak tumpul dan gagap melihat dinamika yang terjadi. Beberapa kasus dan peristiwa membuktikan bahwa PKS sedang mengalami itu, yaitu:

  • Dilengserkannya jabatan Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan DPR RI yang berasal dari PKS tanpa adanya dukungan dari satu fraksi-pun;
  • Tidak diperhitungkannya PKS dalam Pilkada DKI dengan ketiadaan kader yang diusung sebagai calon Gubernur atau calon wakil Gubernur;
  • Kecanggungan PKS berhadapan dengan Setya Novanto yang kembali sebagai Ketua DPR RI setelah sebelumnya dijadikan alasan dalam proses pemecatan Fahri Hamzah;
  • Piihan sikap politik PKS terhadap sistem pemilu yang tertutup, ditengah semua partai kelas menengah yang tidak setuju; dengan hal tersebut dan
  • Kurang diperhitungkannya posisi Presiden PKS sehingga pernah dalam sehari (25 November 2016) merasa perlu beberapa kali me “mention” twitter Presiden Jokowi untuk sekedar mencari perhatian

Persepsi PKS adalah partai  yang diisi oleh kader-kader calon pemimpin dengan pemikiran cerdas dan mampu bermanufer secara cantik, hari ini drastis memudar. PKS kerap ditinggalkan dalam serangkaian isu nasional. Terlepas diakui atau tidak, pimpinan PKS hari ini hanya berpuas dengan otoritas kedalam yang dimilikinya. Jangankan untuk menemukan faktor pengungkit elektabilitas partai  dengan narasi dan aksi yang cadas, menanggung beban operasional partai sehari-hari saja tampak betul begitu kelelahan.

3. Destruktif

Pendekatan zero-sum game (menang-kalah) yang hari ini dipilih oleh Pimpinan PKS dalam menghadapi kasus Fahri Hamzah seakan menambah kekhawatiran bahwa cara berpikir mereka bukanlah menggunakan metode rasional yang lazim dipraktekan dalam politik modern. Pendekatan menang-kalah dalam partai politik kerap kali merusak (destruktif) serta berujung pada mengkerdilnya ukuran sebuah partai. Hal tersebut logis terjadi seiring dengan melemahnya tingkat kepercayaan publik terhadap mereka dalam hal ini PKS. Kepercayaan publik tentu akan menurun karena mereka pun amat paham, jangankan berharap diperjuangkan kepentingannya, bahkan PKS pun terbukti tidak mampu memperjuangkan kepentingannya sendiri.

Pendekatan zero sum dalam politik modern bahkan bisnis sekalipun telah lama ditinggalkan. Kunci dari perbedaan sesungguhnya ada pada dialog diantara para pihak. Sebagian kader yang hari ini berteriak meminta diadakannya ishlah justru dianggap tidak mengerti persoalan dan tak jarang ditegur oleh struktur partai. Sejumlah kader di banyak daerah sudah di alienasi dari komunitas pengkaderan PKS tanpa ada kejelasan. Kalau dahulu PKS selalu mengedepankan logika dan menjauhi sikap-sikap taklid, hari justru merekalah yang mempertontonkan secara vulgar. Ini hanya soal waktu, bila tidak ada perubahan yang mendasar dalam mengelola hal ini, maka tak perlu banyak teori PKS akan mengecil dengan sendirinya. Kalau sudah begini mungkin jurus teori konspirasi yang dibumbui dengan keterlibatan Yahudi dan Faktor eksternal akan disajikan kembali untuk menutupi kelemahan mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun