PKS menderita penyakit degeneratif yang mulai membahayakan. Dalam beberapa definisi dinyatakan bahwa degeneratif merupakan penyakit yang menyebabkan terjadinya kerusakan atau penghancuran terhadap jaringan atau organ tubuh. Proses dari kerusakan ini dapat disebabkan oleh penggunaan organ, seiring dengan usia maupun karena gaya hidup yang tidak sehat. Gambaran tersebut seakan serupa dengan apa yang hari ini terjadi terhadap PKS. Partai ini seakan kehilangan ide, narasi dan aksi dilapangan, karena mungkin terkuras bermain pada konflik internal yang dibumbui dengan ancaman sanksi disiplin organisasi bila ada yang melawan. Alih-alih bermimpi untuk memperbanyak kursi dan pengaruh di kancah perpolitikan nasional, PKS justru tampak tumpul dan gagap melihat dinamika yang terjadi. Beberapa kasus dan peristiwa membuktikan bahwa PKS sedang mengalami itu, yaitu:
- Dilengserkannya jabatan Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan DPR RI yang berasal dari PKS tanpa adanya dukungan dari satu fraksi-pun;
- Tidak diperhitungkannya PKS dalam Pilkada DKI dengan ketiadaan kader yang diusung sebagai calon Gubernur atau calon wakil Gubernur;
- Kecanggungan PKS berhadapan dengan Setya Novanto yang kembali sebagai Ketua DPR RI setelah sebelumnya dijadikan alasan dalam proses pemecatan Fahri Hamzah;
- Piihan sikap politik PKS terhadap sistem pemilu yang tertutup, ditengah semua partai kelas menengah yang tidak setuju; dengan hal tersebut dan
- Kurang diperhitungkannya posisi Presiden PKS sehingga pernah dalam sehari (25 November 2016) merasa perlu beberapa kali me “mention” twitter Presiden Jokowi untuk sekedar mencari perhatian
Persepsi PKS adalah partai yang diisi oleh kader-kader calon pemimpin dengan pemikiran cerdas dan mampu bermanufer secara cantik, hari ini drastis memudar. PKS kerap ditinggalkan dalam serangkaian isu nasional. Terlepas diakui atau tidak, pimpinan PKS hari ini hanya berpuas dengan otoritas kedalam yang dimilikinya. Jangankan untuk menemukan faktor pengungkit elektabilitas partai dengan narasi dan aksi yang cadas, menanggung beban operasional partai sehari-hari saja tampak betul begitu kelelahan.
3. Destruktif
Pendekatan zero-sum game (menang-kalah) yang hari ini dipilih oleh Pimpinan PKS dalam menghadapi kasus Fahri Hamzah seakan menambah kekhawatiran bahwa cara berpikir mereka bukanlah menggunakan metode rasional yang lazim dipraktekan dalam politik modern. Pendekatan menang-kalah dalam partai politik kerap kali merusak (destruktif) serta berujung pada mengkerdilnya ukuran sebuah partai. Hal tersebut logis terjadi seiring dengan melemahnya tingkat kepercayaan publik terhadap mereka dalam hal ini PKS. Kepercayaan publik tentu akan menurun karena mereka pun amat paham, jangankan berharap diperjuangkan kepentingannya, bahkan PKS pun terbukti tidak mampu memperjuangkan kepentingannya sendiri.
Pendekatan zero sum dalam politik modern bahkan bisnis sekalipun telah lama ditinggalkan. Kunci dari perbedaan sesungguhnya ada pada dialog diantara para pihak. Sebagian kader yang hari ini berteriak meminta diadakannya ishlah justru dianggap tidak mengerti persoalan dan tak jarang ditegur oleh struktur partai. Sejumlah kader di banyak daerah sudah di alienasi dari komunitas pengkaderan PKS tanpa ada kejelasan. Kalau dahulu PKS selalu mengedepankan logika dan menjauhi sikap-sikap taklid, hari justru merekalah yang mempertontonkan secara vulgar. Ini hanya soal waktu, bila tidak ada perubahan yang mendasar dalam mengelola hal ini, maka tak perlu banyak teori PKS akan mengecil dengan sendirinya. Kalau sudah begini mungkin jurus teori konspirasi yang dibumbui dengan keterlibatan Yahudi dan Faktor eksternal akan disajikan kembali untuk menutupi kelemahan mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H