Rabu 14 Desember 2016 lalu, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan mengabulkan sebagian gugatan Fahri Hamzah. Inti dari putusan tersebut menyebutkan bahwasanya semua tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum dan seluruh keputusan yang dibuat tergugat dinyatakan batal demi hukum. Artinya, segala implikasi yang diharapkan terjadi oleh DPP PKS berkaitan dengan pemecatan Fahri Hamzah dari keanggotaan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mulai dari pencopotan dari pimpinan DPR sampai dengan pemberhentian sebagai sebagai Anggota DPR RI dinyatakan tidak sah serta tetap berlaku sebagaimana sedia kala (status quo).
Putusan ini sesungguhnya menegaskan putusan provisi yang sebelumnya telah diketuk oleh majelis hakim PN Jaksel. Hal yang lebih mendasar dari putusan tersebut adalah, bahwa secara hukum logika yang dipakai oleh Pimpinan PKS dalam melakukan pemecatan terhadap Fahri Hamzah keliru baik secara substansi maupun secara formal. Kekeliruan atau yang dalam terminologi jawa disebut ‘keblinger’ ini tentu saja amat mendasar bagi sebuah partai yang selalu mendengungkan slogan keadilan. Namun sayang, dalam perjalanannya slogan PKS tersebut justru mengalami pendangkalan makna dan justru menghantarkannya pada tindakan dzhalim kepada anggotanya.
Sebagai seorang akademisim saya merasa perlu menyampaikan bahwa, ada beberapa kesalahan logika yang sungguh menggelikan dan dilakukan secara terstruktur oleh pimpinan PKS, yakni:
1. Pembangkang
DPP PKS melalui arahannya meminta segenap struktur, kader dan simpatisan diseluruh daerah untuk menghindari interaksi dengan Fahri Hamzah karena pembangkangannya terhadap pimpinan partai. Sebuah logika yang sengaja dijejalkan meski sangat berbahaya dan berpotensi menjadi “senjata makan tuan” bila kasus ini dibuka secara terang benderang. Publik PKS dipaksa hanya menerima informasi tunggal bahwa Fahri Hamzah adalah orang yang “tidak tahu diri dan haus kekuasaan”. Logika ini bahkan secara sadis di rangkaikan dengan cerita Sahabat Khalid bin Walid yang dengan ikhlas merelakan jabatan Panglima perang di era khalifah Umar bin Khatab. Cerita sahabat yang tidak utuh tersebut sengaja diputus dari konteks nya dan cenderung ditempatkan secara manipulatif.
Publik perlu mengetahui, bahwa sampai dengan putusan PN Jaksel diketuk oleh Majelis Hakim, PKS tidak pernah bisa menjelaskan apa sesungguhnya alasan atau latar belakang mengapa Fahri Hamzah harus dicopot dari jabatan wakil ketua DPR RI bahkan sampai dari keanggotaan PKS. Kesan (bahwa) Ketua Majelis syuro PKS adalah absolut justru seakan makin menjadi-jadi dengan prosedur proses pemecatan Fahri Hamzah yang dilakukan secara serampangan. PKS justru melakukan pendekatan kuasa ketimbang menjabarkan dasar dari semua upaya pemecatan dan pelengseran jabatan. Penggunaan terminologi “ketaatan” kader terhadap pimpinanannya seakan ditempatkan terlepas dari konteksnya. Miris mendengarnya namun celakanya itulah fakta yang terjadi dan terungkap di pengadilan.
Tidak bersedianya Fahri Hamzah mengikuti permintaan Ketua Majelis Syuro untuk mundur dari jabatan Wakil Ketua DPR RI dijadikan dasar pemecatannya sebagai anggota partai. PKS mencoba mendalilkan bahwa otoritas ini adalah bagian dari independensi partai sebagaimana dijamin Undang-Undang. Mereka seakan memiliki dasar bahwa perikatan partai dengan anggotanya mengikat layaknya undang-undang sebagaimana yang diatur pasal 1338 KUH Perdata.
Entah Pimpinan PKS yang tidak paham atau memang Kuasa Hukum mereka yang tidak kapabel, sehingga mereka lupa bahwa Jabatan Anggota DPR dan Pimpinan DPR adalah ruang hukum publik yang rezim hukumnya berbeda dengan hukum privat. UU Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik pasal 10 ayat 1 huruf c menyatakan bahwa salah satu tujuan partai politik adalah untuk mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Artinya meskipun Negara memberikan independensi kepada partai dan pimpinannya, namun disaat yang sama juga mereka memiliki kewajiban mengembangkan kehidupan politik yang demokratis dan menjauhi kesan absolutisme.
Logika hukum PKS ini sungguh keblinger. Bahkan mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan di Fakultas Hukum tingkat satu sekalipun paham bahwa rezim hukum yang lebih privat harus tunduk dengan rezim hukum publik. Jika sudah seperti ini, maka timbul pertanyaan dibenak kita, apakah Fahri Hamzah yang membangkang ataukah justru PKS yang tidak mau mematuhi peraturan perundang-undangan?.
2. Organisasi Ekspansif menjadi DEGENERATIF
Dalam Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) yang lalu PKS memiliki target yang sangat obsesif. Serperangkat Program strategis dan kegiatan dicanangkan untuk meningkatkan elektabilitas PKS pada pemilu 2019. Harapan memenangkan serangkaian Pilkada yang akan dihadapi dipaparkan sedemikian rupa dengan justifikasi moral namun sepi dari metode pencapaiannya. Optimisme membuncah dan kerja-kerja ekspansif pun diniatkan untuk dilaksanakan. Namun sayang, belum genap setahun hal tersebut disahkan, PKS seakan kehabisan energi dan tak mampu mengeksekusi kerja-kerja besar yang direncanakannya sendiri. Kelelahan ini semakin nampak ketika secara bergelombang Majelis Pertimbangan Pusat (MPP) PKS melakukan roadshowke daerah-daerah dengan agenda re-idiologisasi. Suatu hal yang janggal, mengingat kader PKS selama ini telah ditempa dengan proses kaderisasidan telah teruji bertahun-tahun. PKS seakan sanksi dengan kestiqohan (kepercayaan) kader terhadap pimpinan partai. Berulang acara dilakukan di banyak daerah justru semakin membingungkan kader di tingkatan lapangan.