Pada suatu kesempatan saya bersama rombongan mahasiswa program studi Pascasarjana Sejarah UGM mengunjungi Kotagede, sebuah wilayah yang berjarak sekitar 6 km dari pusat kota Yogyakarta. Atmosfer kota tua sudah terasa ketika saya memasuki gapura berlanggam Hindu-Jawa. Jika membayangkan wisata sejarah ini dipandu kuncen berusia sepuh, ternyata kesan itu tidak demikian. Para pemandunya adalah tim dari Divisi Jelajah Pusaka Kotagede Forum Joglo di bawah koordinasi seorang perempuan muda bernama Shinta Noor Kumala.
[caption caption="Shinta Noor Kumala. (Dok. Fadly)"][/caption]
Melalui Forum Joglo, Shinta dkk mengintegrasikan potensi sejarah, budaya, dan sumber daya masyarakat lokal untuk memajukan Kotagede sebagai salah satu destinasi wisata terpenting di Yogyakarta. Selaku warga Kotagede serta ditunjang kompetensinya sebagai lulusan dari program studi Pariwisata UGM, Shinta terpanggil jiwanya untuk melestarikan sejarah dan budaya daerahnya yang merupakan warisan dari Jawa masa Mataram Islam abad ke-16. Alasan Kotagede dianggap penting untuk dilestarikan dapat dirasakan dari berbagai tinggalan sejarah Mataram Islam, di antaranya masjid, pasar, kedhaton (keraton), keliling bangunan bertembok, benteng, pemukiman penduduk, hingga makam raja-raja.
Tinggalan-tinggalan bersejarah itu adalah bagian dari tata ruang Kotagede yang didirikan oleh Panembahan Senopati ketika berkuasa pada ± 1579 – 1601 dan kemudian dijadikan sebagai ibukota kerajaan Mataram pada kurun ± 1582 –1640. Setelah mangkatnya, jasad Senopati dikebumikan di Kotagede. Masa kepemimpinannya telah mengantarkan Mataram menjadi sebuah dinasti kekuasaan di Jawa yang paling kuat dan paling lama berkuasa. Salah satu keturunannya yang termashur adalah Sultan Agung. Di bawah kekuasaannya yang berlangsung pada ± 1613 – 1646, Mataram berkembang menjadi penakluk terbesar di Nusantara setelah era Majapahit. Pada tahun 1640 Sultan Agung memindahkan ibukota Mataram Islam ke Pleret, Bantul, yang berjarak sekitar 9 km dari arah barat Kotagede.
Menyimak sejarahnya, jelas Kotagede adalah pusaka Yogyakarta yang bagi Shinta dkk penting untuk dilestarikan. Apalagi, penguasa Yogyakarta saat ini tak bisa dilepaskan sebagai keturunan dari para penguasa Mataram. Kotagede juga adalah sumber sejarah dan budaya Jawa yang boleh dikatakan masih asli. Sebab, di sini sebagian besar warganya masih hidup dalam suasana dan nilai-nilai tradisi Jawa yang diwariskan secara turun-temurun.
Mengedukasi Budaya Pariwisata bagi Generasi Muda Kotagede
Dengan pengetahuan pariwisata yang dikuasainya, Shinta tentu menangkap isyarat bahwa industri pariwisata bagaikan dua sisi mata uang. Pada satu sisi, pariwisata memang identik memantik pertumbuhan sosial ekonomi di kalangan masyarakat lokal sebagai bagian dari pelaku industri pariwisata. Setidaknya hal ini bisa membuka lapangan kerja bagi masyarakat. Tapi sisi lain, pertumbuhan sosial ekonomi berbasis pariwisata juga berperluang merusak lingkungan alam, sejarah, dan budaya yang sedianya dilestarikan. Hal ini disebabkan kecenderungan masyarakat yang memandang pariwisata hanya pada aspek ekonomi belaka tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan alam, sejarah, dan budaya daerahnya sendiri.
Tentunya Shinta tak ingin kasus-kasus buruknya pengelolaan wisata di berbagai wilayah di Indonesia yang justru malah merusak alam, sejarah, dan budaya lokal itu sendiri juga terjadi di Kotagede. Untuk mengantisipasinya, langkah yang dilakukan oleh Shinta dkk adalah menjaring masyarakat lokal, khususnya generasi muda, untuk berperan aktif melestarikan lingkungan, sejarah, dan budaya daerahnya sebagai potensi wisata. Tidak heran ketika saya dan rombongan berkunjung ke Kotagede, Shinta diiringi seorang pria paruh baya serta tiga anak muda berstatus siswa SMU untuk memandu kami.
[caption caption="Masyarakat diberdayakan menjadi pemandu wisata (Dok. Fadly)"]
Menanamkan pendidikan pariwisata bagi generasi muda menjadi aset tersendiri bagi Divisi Jelajah Pusaka Kotagede Forum Joglo yang dikelola Shinta. Banyak anak muda Indonesia yang akrab dengan berbagai gadget serta melek internet dan aktif di media sosial, tapi belum banyak pihak yang menganggapnya sebagai potensi untuk diberdayakan. Tapi Shinta justru memberdayakan potensi anak-anak muda di Kotagede dengan mengembangkan pariwisata di wilayahnya melalui teknologi berbasis komunikasi dan informasi. Shinta menghimpun mereka dalam wadah Komunitas Muda Jelajah Pusaka Kotagede. Komunitas ini memiliki blog dengan alamat http://kotagedeheritagetrail.wordpress.com dan akun Facebook “Kotagede Heritage Trail” sebagai sarana bagi Shinta dkk untuk menginformasikan dan mendokumentasikan berbagai aktivitas komunitasnya. Melalui sarana informasi dan komunikasi seperti ini, wisatawan bisa mencari dan membantu menyiarkan informasi seputar wisata Kotagede kepada keluarga, teman, atau koleganya.
Langkah yang dilakukan Shinta dkk itu ternyata memunculkan dampak positif dalam peningkatan kunjungan wisatawan domestik dan asing ke Kotagede. Shinta menyilakan siapa saja yang ingin berpatisipasi melestarikan pusaka sejarah dan budaya Kotagede. Bagi yang ingin mendonasikan bantuan finansial, bisa mengkonfirmasinya melalui nomor pesawat telpon dan ponsel yang dicantumkan dalam blog komunitasnya. Komunitas yang beralamat di Perum Sendok Indah KG/II 374 Prenggan Kotagede ini menyalurkan donasi-donasi yang masuk untuk mengembangkan berbagai kegiatan seni, budaya, dan ilmu pengetahuan dengan tujuan menanamkan nilai-nilai edukasi budaya pariwisata di kalangan masyarakat Kotagede.