Lagi pula, dalam pembangunan candi monumental itu, segenap elemen masyarakat ikut bergabung membantu pembangunan. Narasi itu jadi bukti bahwa perbedaan agama bukan masalah besar. Penguasa kala itu membebaskan rakyatnya memeluk agama sesuai dengan keyakinannya masing-masing, bahkan difasilitasi.
"Perang agama jarang terjadi dalam sejarah pulau yang beruntung ini (baca: Nusantara), bahkan ketika Islam mulai masuk. Penjelasan yang lebih masuk akal atas peristiwa-peristiwa yang sedang kita bahas ini muncul dengan sendirinya kalau kita berasumsi bahwa keputusan menganut Buddhisme atau Siwaisme adalah urusan yang ditentukan para raja dan bahwa masuknya satu agama baru tidak menimbulkan perubahan mendasar dalam praktik pemujaan populer, walaupun mungkin ada tambahan unsur-unsur baru."
"Juga tidak ada tuntutan terhadap rakyat banyak untuk menganut ajaran Buddha atau secara eksklusif menyembah dewa-dewa Siwaisme. Penghormatan kepada keduanya pada waktu yang sama dianggap bukan hanya diperbolehkan tapi bahkan sangat dianjurkan. Pencapaian-pencapaian besar dianggap bukti kekuatan batin yang besar sehingga keberhasilan penguasa-penguasa asing dianggap berasal dari kekuatan gaib yang mereka peroleh dari dewa-dewa mereka," terang Bernard H.M. Vlekke dalam buku Nusantara (2008).
Orang-orang pun menyebut mahakarya Wangsa Sailendra Candi Borobudur sebagai wujud moderasi beragama. Bahkan, gema toleransi agama dari laku hidup Wangsa Sailendra dengan Candi Borobudurnya terus kesohor hingga hari ini.
Narasi itu terus didorong oleh Kementerian Agama (KEMENAG). Semua itu untuk menyebarkan nuansa kebersamaan dan keberagaman di Indonesia. Â
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud), Hilmar Farid mengamininya. Baginya, Candi Borobudur dapat memberikan gambaran bahwa masalah keyakinan (agama) tak pernah menimbulkan perpecahan di kalangan nenek moyang bangsa Indonesia.
Sikap toleransi dianggapnya sebagai kunci yang dapat menyatukan rakyat dan hidup damai, seperti yang dilakukan wangsa Sailendra. Farid juga menambahkan pada perkembangannya kehadiran Candi Borobudur bukan cuma monopoli kebudayaan agama Buddha semata. Namun, Borobudur telah menjadi simbol kebhinekaan Indonesia sesuai nafas Bhineka Tunggal Ika (Berbeda-beda tapi satu tujuan).
Semangat itulah yang seharusnya terus disebar; sebagai bukti kalau Indonesia mampu menjelma sebagai bangsa besar karena menghargai keberagaman. Oleh karena itu, narasi Piagam Asoka, Wangsa Sailendra, dan Candi Borobudur dapat membawa angin segar untuk keberagaman bangsa dan negara.
"Borobudur (kini) bisa dimanfaatkan ibadah oleh orang beragama Buddha. Padahal, Borobudur berada di tengah masyarakat beragama Islam. Borobudur telah berdiri selama 1.200 tahun dan terus dirawat dan dilestarikan. Yang hebat adalah masyarakat yang bisa menjaganya. Kita ini bagian dari masyarakat di tengah dunia yang terpecah belah", tutup Hilmar dalam Orasi Kebangsaannya dalam acara Perkemahan Wira Pramuka Ma'arif NU Nasional di Magelang, sebagaimana ditulis laman Kemendikbud, 21 September 2017.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H