Harmoni dan suara yang menyenangkan dari gabungan semua instrumen tersebut menyebabkan musik Jawa mempunyai karakter yang khas di antara daerah Asiatik lainnya. Saking pentingnya gamelan, setiap penguasa lokal di Jawa paling tidak memiliki satu atau lebih gamelan.
"Satu set gamelan pelog mempunyai harga mulai dari seribu hingga 600 dolar (250 hingga 400 pounds), namun satu set gamelan bekas pakai sering dibuang. Pabrik terbesar terdapat di Gresik. Secara khusus gong merupakan barang ekspor yang mahal. Setiap penguasa lokal memiliki satu atau lebih gamelan, dan kurang lebih terdapat perlengkapan gamelan lengkah di kota-kota besar di propinsi sebelah timur," ujar Thomas Stamford Raffles dalam mahakaryanya, The History of Java (1817).
Gamelan Mendunia
Keterpesonaan orang Barat terhadap gamelan mempunyai sejarah yang panjang. Salah satu yang terpesona adalah Naturalis, Alfred Russel Wallace. Dalam pengembaraannya menjelajahi Nusantara dari 1854 hingga 1862, ia pernah terpesona dengan gamelan kala berkunjung ke Jawa. Alfred Russel Wallace menyaksikan permainan gamelan sebagai bagian dari acara pesta --lima hari, lima malam-- sunatan kerabat Wedana Mojoagung (Jombang).
Buahnya, muncul sebuah kombinasi irama nan harmonis dari permainan gamelan. Harmonisasi itu disebutnya serupa mendengarkan kotak musik, tapi versi kotak musik raksasa.
"Seluruh pemusik adalah pemuda yang bermain musik dengan ketepatan tinggi. pertunjukan tersebut sangat menyenangkan namun, karena hampir semua alat musiknya sama, pertunjukan itu lebuh menyerupai sebuah kotak musik raksasa, daripada sebuah band. Untuk bisa menikmatinya, kita perlu melihat langsung seluruh pemain gamelan," cerita Alfred Russel Wallace dalam buku Kepulauan Nusantara (2009).
Keterpesonaan akan gamelan lainnya muncul dari penulis Belanda Leonhard Huizinga (1906-1980). Gamelan, kata Leonhard Huizinga hanya dapat dibandingkan keindahannya dengan dua hal: cahaya bulan dan air mengalir.Â
Dirinya mengakui musik yang tercipta dari permainan gamelan memang bukan untuk telinga orang Eropa. Kendati demikian, keindahannya alunan nadanya dapat dinikmati oleh setiap bangsa. Serupa dengan menikmati ketenangan yang ditawarkan cahaya bulan ataupun air mengalir.
"(Gamelan) seperti cahaya bulan dituangkan di atas ladang. Ia mengalir dan mengalir, berkotek, berdenting hingga menggelegak, seraya air turun dari pegunungan. Namun tak pernah monoton. Sekarang suaranya mengalir lebih cepat dan lebih keras, sama seperti air yang mengalir tiba-tiba berbicara lebih keras di malam hari, dan kemudian menghilang lagi menjadi sunyi," pungkas Leonhard Huizinga dikutip Jaap Kunst dalam buku Music in Java (1949).