Secara resmi, pandemi COVID-19 tercatat masuk Indonesia pada awal Maret. Tak sedikit yang ragu akan hal itu. Beberapa ahli memperkirakan virus telah masuk sebelum kasus 01 dan 02 di Depok, Jawa Barat. Namun, bagaimanapun, yang jelas kita sudah banyak melakukan kesalahan dalam langkah pencegahan. Kita gagal belajar, bahkan dari beberapa wabah terbesar yang pernah kita alami sebelumnya: cacar, kolera, pes, dan flu Spanyol.
Alhasil, masyarakat terlanjur dilanda oleh kepanikan besar. Beberapa di antaranya ada yang melakukan penarikan simpanan di bank secara besar-besaran (rush), bertransaksi spekulasi sekedar mencari keuntungan pribadi, melakukan panic selling atau panic redeeming terhadap produk-produk investasi yang dimiliki, serta melakukan penimbunan barang-barang.
Yang mana, hal itu dapat merusak stabilitas keuangan sehingga membuat bahan stok barang menipis dan berharga mahal. Kendati demikian, kepanikan terus diperparah oleh adanya oknum-oknum yang menyebarkan informasi bohong. Alih-alih dapat meredakan kepanikan, justru menambah kepanikan karena dalam informasi yang tersebar disinyalir mengandung hoaks atau berita bohong.
Jika ditelusuri, Kepanikan diatas jelas bukanlah hal yang pertama dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Dahulu, kepanikan yang dikenal dengan istilah La Grande Peur (kepanikan besar), malah sudah muncul semenjak zaman kolonial. Bahkan, gejala kepanikan besar telah hadir pula di Benua Eropa sejak dulu.
'La Grande Peur' di Luar Negeri
Pada abad ke-19, kepanikan besar pernah terjadi di Prancis. Kala itu, kaum tani di Prancis sudah kelewat panik akan desas-desus gerombolan perampok yang akan menyerang mereka atas suruhan kaum bangsawan. Akibatnya, Para petani yang panik sesegera mungkin mempersenjatai diri, dan bersiap menghadapi datangnya serangan perampok.
Sayangnya, gerombolan perampok yang ditunggu tak kunjung datang. Para petani kemudian meluapkan amarahnya pada para bangsawan, dan situlah pemberontakan meledak.
Melihat fenomena ini, Sejarawan Prancis, Georges Lefebvre sempat mengungkap alasan pemberontakan selain disebabkan oleh faktor ekonomi dan politik, ada faktor lainnya yang membuat kaum tani memberontak yaitu kepanikan besar.
"Untuk membuat petani bangkit dan memberontak, tidak perlu Revolusi Perancis, seperti yang banyak disarankan oleh sejarawan: ketika kepanikan datang, dia sudah naik dan pergi," Ucap Georges Lefebvre. (voi.id)
Menguatkan pendapat diatas, Andrew Hussey yang menulis buku berjudul Paris: Sejarah yang tersembunyi (2006), ia berujar "Walaupun kadang pemberontakan rakyat yang dipimpin petani sering kali tak memiliki fokus -- biasanya (pemberontakan) dipicu oleh rasa lapar dan kenaikkan pajak."
Wilayah Asia pun tak mau ketinggalan. Jepang yang dikenal sebagai negeri Matahari Terbit pun sempat merasakan kepanikan besar. Pada 1932, Jepang dilanda oleh gempa besar yang memakan korban sebanyak kurang lebih 120 ribu jiwa di Kanto.