Pemandangan seperti itulah yang terlihat pada hari kedua. Sebagai pembuka, suara-suara dukungan begitu semangat dilontarkan oleh Band Indie yang digawangi oleh Ari, Nuwi, & Roots, bernama Fourtwenty.Â
Setelah menyanyikan lagu hits mereka mulai dari Hitam Putih, Puisi Alam, Zona Nyaman, & Aku Tenang. Tiba-tiba di penampilan terakhir mereka, sang vokalis berucap "Di penampilan terakhir kami, saya ingin menyanyikan lagu untuk teman saya, teman kita yang sudah meninggal."
Lagu tersebut ialah Indonesia Pusaka (karya dari Ismail Marzuki) dengan modal nyanyian akustik, mereka sejenak mengajak para penonton untuk bernyanyi bersama, sembari menaikkan tinggi-tinggi kedua tangan (tanda dari kedukaan).
Semua menyanyi dan semuanya bersuara. Sangking khusyuknya, dalam tiap nyanyian seakan berbalut sebuah doa: Agar mereka terus berjuang, terus menyuarakan ketidakadilan, dan terus bergerak maju.
Moment ini mengingatkan diri pribadi oleh apa yang pernah diucap oleh El Comandante, Che Gueavara, ia berucap "Jika Anda bergetar dengan geram setiap melihat ketidakadilan, maka Anda adalah kawan saya."
Kiranya, siapapun yang hadir disore hari itu, kiranya telah bersatu padu menjadi seorang kawan. Betapa tidak, kita telah sama-sama geram melihat ketidakadilan, bukan?
Berbeda Fourtwenty, berbeda pula dengan Band yang pernah diperkuat oleh Almarhum Rully Annas, The Brandals. Dalam salah satu lagu yang dibawakan, ia menghimbau kepada mereka yang berujuang (utamanya mahasiswa) untuk selalu waspada ketika aksi. Oleh karenanya, lagu berjudul 'Awas Polizei' yang begitu energik dengan lirik-lirik berisikan sarkasme kepada aparat.
"Berdiri tegak tepat perempatan/ Mata memandang lihat siapa yang sial/ Kasak kusuk kiri kanan cari-cari kesempatan/ Otot urat keringat ayo tawar di trotoar/ Awas polizei!," begitulah isi liriknya.