Mohon tunggu...
Detha Arya Tifada
Detha Arya Tifada Mohon Tunggu... Editor - Content Writer

Journalist | Email: dethazyo@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Istimewanya Malioboro dan Cerita di Balik Jalan Daendels

10 Oktober 2019   23:45 Diperbarui: 10 Oktober 2019   23:57 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jalan Malioboro & Daendels/ dethazyo

Kala mendengar nama jalan Malioboro saja dapat mendatangkan nostalgia yang mendalam akan sebuah daerah istimewa bernama Yogyakarta. 

Maka jelas, diri pun penasaran, apakah nama jalan ini mempunyai arti tersendiri bagi masyarakat Yogya, atau cuma mungkin karena ada kemiripan pelafalan antara Marlboro (merek dari brand rokok), dengan Malioboro yang kini telah ber-metamorfosis sebagai kawasan wisata belanja belaka.

Jawabannya, perkara ini perlu digali lebih dalam. Meski begitu, Bagi diri pribadi Malioboro selalu memiliki arti tersendiri, yaitu sebagai penanda kenangan, penanda masih diberi umur panjang, dan penanda kebahagiaan, yang mirip-mirip seperti yang diungkap Noah Webster (leksikograf), "Perasaan Menyenangkan yang berasal dari kenikmatan rasa senang."

Berdasarkan hal itu, maka (tak hanya sekali) diri berucap, bahwa di jalan Malioboro-lah salah satu tempat di belahan bumi nusantara yang mampu menjaga diri pribadi agar selalu bahagia (karena menyenangkan), sehingga muncul keinginan untuk berkunjung lagi dan lagi.

Namun, makin hari, pertanyaan akan sejarah Jalan Malioboro sudah mencapai puncak. Oleh karenanya, berawal dari rasa skeptis diataslah, kemudian diri berjodoh dengan Buku dari Sejarawan Inggris, Peter Carey, yang selain fokus meneliti tentang Perang Jawa, dan Pangeran Diponegoro, ternyata (pernah) juga mencari asal muasal dari nama Jalan Malioboro, yang terkenalnya (kadang) melebihi megahnya Keraton Yogyakarta.

Kalau tidak salah, judul bukunya ialah "Asal Usul Nama Yogyakarta & Malioboro." Bukunya itu di terbitkan oleh Komunitas Bambu (yang sekiranya menjadi pelopor dalam penerbitan buku sejarah). Setali dengan itu, anggapan diri yang mengganggap ada hubungan antara Malioboro dan Marlboro (sudah) tentu salah.

Betapa tidak, kebanyakkan orang malah berpikiran lain, yaitu mempercayai bahwa Jalan Malioboro, asal muasalnya diberi nama menurut gelar John Churchill, Duke of Marlborough pertama (1650 -- 1722). 

Sejumlah lainnya beropini bahwa penguasa Yogyakarta mengubah nama jalan utama ibukota mereka karena begitu terkesan oleh orang-orang inggris dan letnan Gubernurnya yang tersohor Thomas Stamford Raffles (1811 -- 1816).

Tetapi, bagi Peter Carey, pendapat diatas sudah sepenuhnya ditolak (karena tak masuk akal). Beliau mengungkap "bagaimana-pun juga, jalan raya ini telah dibagun dan digunakan untuk tujuan seremonial tertentu selama lima puluh tahun sebelum orang inggris mendirikan pemerintahan di jawa, dan besar kemungkinan jalan ini sejak awal telah dikenal sebagai jalan Malioboro = jalan berhiaskan untaian bunga. (Hlm 9)"

Buku asal usul nama yogyakarta & Malioboro/ dethazyo
Buku asal usul nama yogyakarta & Malioboro/ dethazyo
Awal argumentasinya ialah dikarenakan dalam sebuah kota India, jalan-jalan utama (rajamrga) membentang dari timur ke barat dan dari Utara ke Selatan. Malioboro (maliabara) membentang dari Selatan ke Utara dan kemungkinan memang hanya merupakan rajamrga atau jalan kerajaan.

Hal itu dikuatkan dengan argumentasi beliau: "Menurut tradisi India, Jalan-jalan kerajaan ini, terutama pada hari perayaan, dihiasi antara lain dengan "Malya" atau untaian (bunga). Dalam bahasa sanskerta "dihiasi dengan untaian bunga adalah "Malyabhara" atau "malyabhra." Dan inilah asal usul nama Malioboro. (hlm 14)"

Ragam asal usul nama jalan malioboro/ dethazyo
Ragam asal usul nama jalan malioboro/ dethazyo
Bahkan, kala dilihat, jalan yang dulunya digunakan sebagai seremonial masuknya Gubernur Jendral, dan kadang kala tetap digunakan sebagai parade seremonial seperti defile tahunan pasukan garnisun Yogya dalam perayaan hari angkatan bersenjata pada 5 oktober, tentu kondisi diatas agak berbeda dengan kondisi kekinian yang seakan tak lagi semagis dahulu.

Dahulu, di jalanan ini ditanami pohon-pohon waringin tinggi dengan kampung yang tertata rapi. Kini kiranya telah bermetamorfosis menjadi tempat komersial yang didominasi toko-toko, yang sejatinya telah mengubah Malioboro dan mempercepat proses komersialisasi.

Kondisi inilah membuat Peter Carey bersuara "Kiranya tak perlu dibayangkan pikiran apa yang ada dalam benak Mangkubumi sendiri tentang hilangnya kenangan yang disayangkan ini. (hlm 25)" 

Diripun ingin berucap hal yang sama, dan mencoba sedikit berharap agar Malioboro (kembali) di restorasi seperti semula, sehingga jargon "Make Malioboro Great Again" cukup tepat diungkap sekarang-sekarang ini.

Tentang Pentingnya Nama Jalan

pentingnya nama jalan/ dethazyo
pentingnya nama jalan/ dethazyo
Nama jalan bukan cuma menjadi penting bagi perusahaan jasa pengiriman logistik belaka, terlebih nama jalan sudah sedemikian penting sebagai identitas suatu daerah, dan penting pula sebagai penegas dari rangkuman kejadian bersejarah yang pernah (sudah) terjadi di tempat tersebut.

Meski begitu, merujuk pendapat dari JJ Rizal (Sejarawan) "Nama jalan sering dianggap bukan sesuatu yang penting. Aneh memang, kalau tidak dapat dikatakan ironis. Sebab, hal itu terjadi justru ditengah semangat menggebu menemukan symbol dan identitas seiring kota-kota di Indonesia keranjingan menggarap proyek mentereng city branding."

Hal itu ada benarnya, jika meneropong kasus yang pernah terjadi di ibukota (Jakarta) pada tahun 2018. Kala itu gubernurnya ingin mengganti nama jalan raya yang secara sadar tanpa dibekali  pengetahuan memadai akan sejarah nama jalan, dan tanpa melibatkan budayawan maupun sejarawan sedikit-pun. Syukurnya, rencana tersebut kemudian ditunda (tapi belum tentu tak berlanjut).

Kejadian diatas sedikit membuktikan, bahwa kepedulian orang-orang (apalagi kepala daerah) dalam perkara nama jalan sungguh minim. 

Padahal, dari nama jalan-jalan yang ada nantinya dapat menduduki posisi sangat kuat pembawa symbol dan identitas suatu kota (serupa dengan jalan Malioboro). Apakah kita ingin kondisi seperti itu terus berlanjut? I don't think so.

Menggugat (Nama) Jalan Daendels

asal usul jalan daendels/ dethazyo
asal usul jalan daendels/ dethazyo
Setiap orang yang langsung mendengar nama daendels, pasti akan langsung menghubungkan nama tersebut dengan Sang Marsekal Guntur, aka Gubernur Jenderal Herman Williem Daendels yang dalam pemerintahannya menjalankan mega proyek Jalan Raya Pos (De Grote Postweg), yang melintang dari Anyer hingga Penarukan.

kusus disini, bukan deandels sang gubernur Jenderal (rekomendasi Napoleon Bonaparte) yang diulas, terlebih diri akan membahas perkara nama Jalan Daendels yang membelah pulau Jawa satunya, yaitu jalur Pantai Selatan (memiliki panjang sekitar 130 kilometer yang membentang dari Kabupaten Cilacap di ujung barat Jawa Tengah, hingga Kabupaten Bantul Daerah Iistimewa Yogyakarta).

Jalan ini sejatinya mengambil nama dari seorang asisten residen (pada waktu itu) diwilayah Ambal (sekarang salah satu kecamatan di kabupaten Kebumen), A.D Daendels (yang awal memerintah pada tahun 1838).

Kalau membandingkan kiprah kedua daendels, jelas bagaikan langit dan bumi. H.W Deandels yang sempat membuat kas Hindia-Belanda diambang kebangkrutan dengan megaproyeknya, tentu begitu superior bila dibanding A. D Daendels yang hanya menjabat asisten residen yang hanya memliki kontribusi mengganti nama jalur dulunya dikenal sebagai jalur Diponegoro dengan namanya.

Alasan penggantian nama jalan hanya untuk sejenak meredam, sejenak menghilangkan, dan sejenak mengaburkan sisa-sisa semangat perlawanan dari Diponegoro sesuai perang Jawa (1825 -- 1830). Strategi penggatian nama jalan pun dirasa cukup efektif, karena setelahnya tak ada lagi pemberontakan besar (apalagi memakan waktu bertahun-tahun) melawan Hindia-Belanda.

Ajaibnya, nama jalan tersebut masih bertahan hingga saat ini (bahkan sudah melewati Orde Lama, Orde Baru, Hingga Orde Paling Baru). Kiranya itulah alasan kuat mengapa jalur yang juga dikenal dengan nama Belangrijke Wegen atau Jalan Raya Utama patut dikiritisi.

Kenapa? karena jalur ini dulunya sudah dikenal dengan nama dari Pangeran Jawa keturunan Jawa -- Madura - Sumbawa, sebagai jalan dimana ia dan pengikutnya bergerilya di ruas jalan tersebut selama Perang Jawa.

Maka dari itu, seperti kata anak millennial #sekedarmengigatkan: sebaiknya pemerintah sudah tentu mengganti nama Daendels, lalu kemudian diganti dengan nama Pangeran Diponegoro seperti sedia kala, guna mengingat kembali keberanian beliau melawan Belanda, keberanian Beliau melawan penindasan, serta keberanian beliau melawan ketidakadilan (pada masanya).

Bahkan, tak hanya diri pribadi yang mengidolakan sosok Pangeran Diponegoro, karena hal yang sama terjadi pada orang-orang lain diseluruh pelosok nusantara bahkan dunia. Hal itu sesuai gambaran yang diberikan oleh Iksaka Banu dalam cerpen yang berjudul "Pollux"  dari bukunya "Semua untuk Hindia."

Ia menuliskan "Pelaut macam kita memang cuma mendengarkan kabar. Tapi, pangeran Jawa ini, ah aku selalu sulit mengucapkan namanya. Dia sungguh luar biasa. Mampu menandingi pasukan Eropa pimpinan Letnan Kolonel Sollewijn, Cochius, Michiels, bahkan Mayor Jenderal Van Geen."

"sayang, kudengar Pangeran itu akhirnya berhasil dikalahkan. Aku hanya ingin mengatakan, seharusnya rakyat Belgia memiliki hati sekeras pangeran ini. Vercingerotix dulu juga mampu menahan balatentara Romawi yang perkasa. Kita butuh revolusi. Merekalah yang tinggal di tanah kita, bukan sebaliknya!" -- tambahnya.

Oleh karena itu, atas nama mereka yang berjuang untuk kemerdekaan, atas nama mereka yang berjuang menutut keadilan, dan atas mereka yang berjuang untuk mendapatkan haknya. Sekiranya nama jalan tersebut sudah layak untuk diubah dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Paling tidak, ketika ada yang melewati jalan tersebut dikemudian hari, semburat semangat dari Pangeran Diponegoro bisa menjadi secerah harapan dalam hidup, dalam bermasyarakat dan bernegara. Salam...

"Zaman Edan, terkutuklah nasib ku, karena aku lahir untuk meluruskan mu" -- William Shakespeare dalam Bukunya Hamlet.

signature
signature

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun