kusus disini, bukan deandels sang gubernur Jenderal (rekomendasi Napoleon Bonaparte)Â yang diulas, terlebih diri akan membahas perkara nama Jalan Daendels yang membelah pulau Jawa satunya, yaitu jalur Pantai Selatan (memiliki panjang sekitar 130 kilometer yang membentang dari Kabupaten Cilacap di ujung barat Jawa Tengah, hingga Kabupaten Bantul Daerah Iistimewa Yogyakarta).
Jalan ini sejatinya mengambil nama dari seorang asisten residen (pada waktu itu) diwilayah Ambal (sekarang salah satu kecamatan di kabupaten Kebumen), A.D Daendels (yang awal memerintah pada tahun 1838).
Kalau membandingkan kiprah kedua daendels, jelas bagaikan langit dan bumi. H.W Deandels yang sempat membuat kas Hindia-Belanda diambang kebangkrutan dengan megaproyeknya, tentu begitu superior bila dibanding A. D Daendels yang hanya menjabat asisten residen yang hanya memliki kontribusi mengganti nama jalur dulunya dikenal sebagai jalur Diponegoro dengan namanya.
Alasan penggantian nama jalan hanya untuk sejenak meredam, sejenak menghilangkan, dan sejenak mengaburkan sisa-sisa semangat perlawanan dari Diponegoro sesuai perang Jawa (1825 -- 1830). Strategi penggatian nama jalan pun dirasa cukup efektif, karena setelahnya tak ada lagi pemberontakan besar (apalagi memakan waktu bertahun-tahun) melawan Hindia-Belanda.
Ajaibnya, nama jalan tersebut masih bertahan hingga saat ini (bahkan sudah melewati Orde Lama, Orde Baru, Hingga Orde Paling Baru). Kiranya itulah alasan kuat mengapa jalur yang juga dikenal dengan nama Belangrijke Wegen atau Jalan Raya Utama patut dikiritisi.
Kenapa? karena jalur ini dulunya sudah dikenal dengan nama dari Pangeran Jawa keturunan Jawa -- Madura - Sumbawa, sebagai jalan dimana ia dan pengikutnya bergerilya di ruas jalan tersebut selama Perang Jawa.
Maka dari itu, seperti kata anak millennial #sekedarmengigatkan:Â sebaiknya pemerintah sudah tentu mengganti nama Daendels, lalu kemudian diganti dengan nama Pangeran Diponegoro seperti sedia kala, guna mengingat kembali keberanian beliau melawan Belanda, keberanian Beliau melawan penindasan, serta keberanian beliau melawan ketidakadilan (pada masanya).
Bahkan, tak hanya diri pribadi yang mengidolakan sosok Pangeran Diponegoro, karena hal yang sama terjadi pada orang-orang lain diseluruh pelosok nusantara bahkan dunia. Hal itu sesuai gambaran yang diberikan oleh Iksaka Banu dalam cerpen yang berjudul "Pollux"Â dari bukunya "Semua untuk Hindia."
Ia menuliskan "Pelaut macam kita memang cuma mendengarkan kabar. Tapi, pangeran Jawa ini, ah aku selalu sulit mengucapkan namanya. Dia sungguh luar biasa. Mampu menandingi pasukan Eropa pimpinan Letnan Kolonel Sollewijn, Cochius, Michiels, bahkan Mayor Jenderal Van Geen."
"sayang, kudengar Pangeran itu akhirnya berhasil dikalahkan. Aku hanya ingin mengatakan, seharusnya rakyat Belgia memiliki hati sekeras pangeran ini. Vercingerotix dulu juga mampu menahan balatentara Romawi yang perkasa. Kita butuh revolusi. Merekalah yang tinggal di tanah kita, bukan sebaliknya!" -- tambahnya.