Dahulu, di jalanan ini ditanami pohon-pohon waringin tinggi dengan kampung yang tertata rapi. Kini kiranya telah bermetamorfosis menjadi tempat komersial yang didominasi toko-toko, yang sejatinya telah mengubah Malioboro dan mempercepat proses komersialisasi.
Kondisi inilah membuat Peter Carey bersuara "Kiranya tak perlu dibayangkan pikiran apa yang ada dalam benak Mangkubumi sendiri tentang hilangnya kenangan yang disayangkan ini. (hlm 25)"Â
Diripun ingin berucap hal yang sama, dan mencoba sedikit berharap agar Malioboro (kembali) di restorasi seperti semula, sehingga jargon "Make Malioboro Great Again" cukup tepat diungkap sekarang-sekarang ini.
Tentang Pentingnya Nama Jalan
Meski begitu, merujuk pendapat dari JJ Rizal (Sejarawan) "Nama jalan sering dianggap bukan sesuatu yang penting. Aneh memang, kalau tidak dapat dikatakan ironis. Sebab, hal itu terjadi justru ditengah semangat menggebu menemukan symbol dan identitas seiring kota-kota di Indonesia keranjingan menggarap proyek mentereng city branding."
Hal itu ada benarnya, jika meneropong kasus yang pernah terjadi di ibukota (Jakarta) pada tahun 2018. Kala itu gubernurnya ingin mengganti nama jalan raya yang secara sadar tanpa dibekali  pengetahuan memadai akan sejarah nama jalan, dan tanpa melibatkan budayawan maupun sejarawan sedikit-pun. Syukurnya, rencana tersebut kemudian ditunda (tapi belum tentu tak berlanjut).
Kejadian diatas sedikit membuktikan, bahwa kepedulian orang-orang (apalagi kepala daerah)Â dalam perkara nama jalan sungguh minim.Â
Padahal, dari nama jalan-jalan yang ada nantinya dapat menduduki posisi sangat kuat pembawa symbol dan identitas suatu kota (serupa dengan jalan Malioboro). Apakah kita ingin kondisi seperti itu terus berlanjut? I don't think so.
Menggugat (Nama) Jalan Daendels