Mohon tunggu...
Detha Arya Tifada
Detha Arya Tifada Mohon Tunggu... Editor - Content Writer

Journalist | Email: dethazyo@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Adopsi Budaya Malu, Cara "Elegan" Perangi Korupsi

29 September 2019   23:47 Diperbarui: 30 September 2019   11:22 530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
saatnya perangi korupsi/ dethazyo

Bagi mereka yang menganut falsafah ini, mereka menjadikannya sebagai landasan berpikir, merasakan, bertindak, serta melaksanakan aktivitas untuk menjadi sebaik-baiknya manusia (ialah manusia yang bermanfaat) dalam masyarakat.

Oleh karenanya, antara siri' dan pacce' keduanya saling mengisi, dan tidak dapat dipisahkan antara yang satu dari lainnya.

Bisa dibayangkan jika budaya ini dijadikan acuan dasar dalam mendidik generasi muda. Bukan hanya generasi muda yang anti korupsi saja yang dihadirkan. Tetapi, reinkarnasi sesosok pemimpin layaknya Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka, tak lagi perlu menunggu ribuan tahun untuk dihadirkan dalam era kekinian.

***
Ketiga hal diatas, setidaknya membuktikan bahwa masih ada di belahan dunia maupun bumi nusantara yang setidaknya mengedepankan prinsip pentingnya memiliki budaya malu. Maka dari itu, dalam memberantas korupsi, kiranya langkah pencegahan seperti koruptor di miskinkan, dicabut hak politiknya, maupun dibuat malu, sungguh diperlukan.

Namun, lebih penting lagi ialah melakukan langkah pencegahan agar memutus rantai korupsi dengan menggalakkan pendidikan anti korupsi sedini mungkin, mulai dari bangku sekolah dasar, hingga bangku perkuliahan, yang hal-hal didalamnya turut mengenalkan budaya luar maupun dalam negeri seperti yang disebutkan diatas.

Kenapa? Karena dalam institusi pendidikan-lah kita percaya bahwa pendidikan mampu mencerdaskan anak bangsa, sembari terus berdoa agar pemerintah turut menguatkan lembaga independen seperti KPK dalam memberantas korupsi (bukan melemahkannya).  Semangatt..

"Uang mungkin disumbangkan, batu dan kapur mungkin dapat dibeli, tukang gambar bisa dibayar untuk membuat rencana, dan tukang batu mungkin dipekerjakan untuk memasang batu -- tapi iman yang hilang dan masih dihormati, yang melihat puisi dalam bentuk marmer, yang tegak di sana sebagai doa abadi yang terus menerus dan tak tergoyahkan, tidak bisa dibeli dengan uang. -- Multatuli dalam buku Max Havelaar."  

Referensi Buku:

  • Korupsi Dalam Silang Sejarah Indonesia | Peter Carey
  • Wahyu Yang Hilang, Negeri yang Guncang| Ong Hok Ham
  • Max Havelaar | Multatuli

 Artikel:

1 | 2

signature
signature

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun