Mohon tunggu...
Detha Arya Tifada
Detha Arya Tifada Mohon Tunggu... Editor - Content Writer

Journalist | Email: dethazyo@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Adopsi Budaya Malu, Cara "Elegan" Perangi Korupsi

29 September 2019   23:47 Diperbarui: 30 September 2019   11:22 530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
saatnya perangi korupsi/ dethazyo

Alkisah perang ini terjadi karena penolakan raja membayar denda pada pemilik kapal, yang kebetulan warga Hindia, dianggap pembangkangan terhadap gubernemen yang telah bertekad menyelesaikan lewat jalur hukum.

Belanda pun kemudian menyerang sehingga pihak kerajaan Badung terdesak dan tak lagi kuat. Opsi-pun muncul, untuk menjaga harga diri, Raja beserta rakyatnya melakukan ritual puputan dengan menuju kearah musuh untuk berperang sampai titik darah penghabisan.

Sedikit gambaran akan peristiwa ini turut diulas oleh Iksaka Banu, ia mengungkap "rombongan indah ini tampaknya memang menghendaki kematian. Setiap kali satu deret manusia tumbang tersapu peluru, segera terbentuk lapisan lain di belakang mereka, meneruskan maju menyambut maut."

Ia pun menambahkan "Seorang lelaki tua, mungkin seorang pendeta, merapal doa sambil melompat ke kiri -- kanan menusukkan kerisnya ke tubuh rekan-rekannya yang sekarat, memastikan agar nyawa mereka benar-benar lepas dari raga. Setelah itu ia membenamkan keris ke tubuhnya sendiri. Kurasa ini malapetaka terburuk dalam hidup semua orang yang ada disini."

Tak lupa, pada peristiwa itu pula, para wanita yang berada dalam barisan pun sengaja melempar uang kepeng atau perhiasan sebagai tanda pembayaran bagi serdadu Belanda yang bersedia mencabut nyawa mereka. Benar-benar heroik, bukan?

Maka dari itu, diri pribadi (tak bosan-bosannya) mengingatkan bahwa bangsa ini sesungguhnya sudah menanamkan bagaimana pentingnya memiliki rasa malu. Mulai dari Raja hingga Rakyatnya, semua senada mempertahankan kehormatan hingga tetes darah penghabisan.

Budaya Siri Na Pacce
Melirik kondisi Indonesia yang sekarang memiliki elit-elit politik yang jiwa kepemimpinan cukup diragukan. Sekalipun mereka dipilih langsung oleh puluhan ribu rakyat Indonesia lewat lajur pemilihan umum (PEMILU), tetap saja hal-hal seperti kasus korupsi, jual beli jabatan, hingga suap-menyuap membuat kebanyakkan orang malu menyebut mereka seorang pemimpin.

budaya siri na pacce/ dethazyo
budaya siri na pacce/ dethazyo
Itulah yang membuat diri pribadi ingat dengan sesuatu yang pernah diungkap Sejarawan Anhar Gonggong, "Kita pernah punya pemimpin bangsa sekaliber Sukarno, Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka, yang sudah merevolusi mental masing-masing, tapi sekarang kita tak pernah memiliki pemimpin bangsa. Kita hanya punya Pejabat."

Merespon hal tersebut, jika tak ada langkah pencegahan, maka kondisi yang sama, akan terlihat kembali pada beberapa tahun yang mendatang. Untuk itu, sudah selayak bangsa Indonesia mulai membentengi diri dengan falsafah positif asli nusantara bernama Siri Na Pacce.

Falsafah ini kiranya telah dipegang teguh oleh masyarakat di Sulawesi Selatan, khususnya etnis Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja.

Siri' yang berarti rasa malu (harga diri), sedangkan Pacce atau dalam bahasa Bugis disebut Pesse yang berarti : pedih atau pedas (keras, kokoh pendirian). Atau dengan kata lain, Pacce berarti semacam kecerdasan emosional untuk turut merasakan kepedihan atau kesusahan orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun