Mencari tahu tentang kota Jakarta aka Batavia zaman dahulu, tentu tak cukup dengan belajar di bangku sekolahan, membaca buku ataupun artikel saja. Betapa tidak, seperti yang diungkap oleh Kate Fox (Antropolog), "kalau ingin mempelajari sebuah kota di Inggris, Anda perlu menyisihkan waktu pergi ke pub setempat."
Nah, hal yang sama berlaku juga bagi Batavia (atau yang sekarang dikenal dengan nama ibukota: Jakarta), meski bukan pub, terlebih karena museum. Maka jelas, jejak langkah membawa diri pribadi melangkah ke dalam museum-museum yang ada, seperti museum Fatahillah, Prasasti, Bahari, dan lainnya.
Namun, dari seluruh museum yang disebutkan, gelar kunjungan ke museum paling banyak ialah kala bertandang ke Stadhuis (Museum Fatahilah), yang (entah) memiliki magnet untuk dikunjungi. Baik kala siang maupun mengamati megahnya bangunan yang dulu sempat menjadi balai kota pada masa pemerintahan Vereenigde Oostindische Compagnie  (VOC) saat malam mulai disambut cahaya rembulan.
Jelas, ada perbedaan yang berarti antara berkunjung siang hari dan malam hari.  Hal itu terlihat dari nuansa ketenangan, magis, dan penuh kebanggaan yang didapat ketika berkunjung pada malam hari (meski tak masuk, hanya diluar).
Berbeda hal jikalau kunjungan di siang hari, saat rasa lelah dan panas (bahkan polusi) mendominasi. Tak ayal yang didapat hanya berupa suasana tak nyaman, sehingga di otak hanya berpikir, untuk segera menyelesaikan kunjungan, kemudian mencari tempat ternyaman untuk ngaso (istirahat).
Setali dengan perbedaan itu, diripun sempat memiliki harapan agar kebanyakkan museum yang ada (di Jakarta) juga di buka pada malam hari. Tujuannya, Pertama, untuk memberikan pengalaman berbeda. Kedua, agar sejarah bisa sedemikian menarik bagi anak muda. Ketiga, supaya masyarakat paham, bahwa museum bukan melulu tempat yang membosankan, terlebih banyak hal yang bisa dilakukan di museum selain, melihat dan mengagumi masa lalu, karena sebuah obrolan menarik serta ide-ide kreatif dapat pula dihasilkan dari melakukan kunjungan ke museum.
Beruntungnya, harapan tersebut selangkah menuju kenyataan (sekalipun bukan secara resmi digulirkan pemerintah, terlebih karena ada acara) berkat adanya acara bertajuk "Menginap di Museum" yang selenggarakan oleh Komunitas Historia.
Tanpa menunggu lama, diri pribadi pun langsung mendaftarkan diri, dan berharap dapat menjadi 1 dari 100 peserta yang nantinya terpilih untuk menginap di Museum Bahari yang berada di utara Jakarta pada malam minggu (27/4/2019).
Meski sempat dijadikan peserta cadangan, namun, sehari sebelum hari H pihak panitia memberi kabar, jikalau diri pribadi, telah sah dan dapat berpartisipasi dalam acara yang digadang-gadang pertama kali dilakukan di daratan Asia.
Dalam hati, jelas agenda ini menjadi ajang belajar sekaligus sarana pelesir (yang diambil dari bahasa Belanda, Plezier yang berarti bersenang-senang). Sangking senangnya, diri pribadi (pada hari H), sehabis magrib langsung memutuskan berangkat menuju museum yang dulunya pernah menjadi gudang rempah-rempah VOC.
Berlanjut dengan pemutaran profil KHI, lalu menikmati cerita dari Sejarawan sekaligus pendiri Komunitas Historia, Asep Kambali. Topic yang dibawakan cukup menarik karena masih berhubungan dengan sejarah rempah-rempah, kolonialisme, penalukkan dunia.
Banyak ilmu, banyak paham, dan banyak keseruan. Semuanya, sesuai dengan yang diekspektasikan oleh diri pribadi. Meski begitu, acara diatas hanya awalan saja. karena berikutnya, empunya acara akan menuntun para peserta untuk merasakan keseruan yang sesungguhnya melalui Jelajah Malam, dan tentu saja moment yang ditunggu-tunggu: menginap di museum.
Jelajah Malam
Setelah dialog bersama sejarawan telah usai, bersamaan dengan itu, seluruh peserta rasanya seperti mendapat suntikan semangat kembali. Betapa tidak, Rasa kantuk maupun lelah, rasanya telah dikalahkan oleh nuansa penasaran, antusias dan magis saat mengelilingi museum tengah malam dalam jelajah malam.
Sebelum dimulai, pihak panitia dengan cekatan membagi seluruh peserta ke dalam 4 kelompok. Satu kelompok berisi 25 orang dengan satu orang narasumber yang dengan cekatan memberikan informasi seputar museum yang sempat terbakar tahun 2018 lalu.
Lantas, momen seperti ini mengingatkan diri pribadi kepada film ber-genre komedi yang rilis sekitar tahun 2006, Night At The Museum. Film tersebut bercerita tentang seorang penjaga malam museum (Ben Stiller), yang mampu merasakan kejaiban bagaimana kala seisi museum menjadi hidup dan mampu menceritakan sejarah dari dirinya masing-masing.
Walau kedengarannya tak mungkin, tetap saja, sensasi merasakan jelajah malam yang hanya bermodalkan senter dapat menjadi pengalaman yang menarik, unik dan layak untuk menjadi salah satu pengalaman yang paling di kenang dalam hidup.
Menginap di Museum
Salah satu hal menarik dari belajar sejarah di museum ialah kala sudah berkeliling dari satu ruang ke ruang lainnya, maupun dari satu lantai ke lantai lainnya, tetap saja raga tak kunjung lelah dibuatnya. Apalagi kala yang memimpin rombongan ialah sejarawan yang mampu bertutur akan fakta-fakta yang belum akrab ditelinga, bisa-bisa informasi darinya menjadi candu awal untuk segera mencari candu (sejarah) lainnya.
Oleh karenanya, saat penjelajahan museum malam hari diakhiri, maka jelas moment berikutnya diisi dengan sesi menginap, yang digadang oleh Komunitas Historia sebagai langkah revolusioner agar sejarah menjadi menarik bagi generasi muda.
Benar saja, sekembalinya ke cafe Museum (lokasi semua peserta menginap), raut wajah kekaguman begitu mendominasi seisi ruangan. Bahkan, banyak diantara mereka yang tak langsung tidur, terlebih karena merasa pengalaman malam ini patut dicerita kan kepada teman sebelah, hingga teman yang berada di dunia maya melalui update-an di media sosial masing-masing, sembari menanti mata mulai lelah, raga mulai lemas, dan mimpi indah menyambut.
Salah seorang peserta pun, turut memberikan keterangannya, kepada diri pribadi. Bahwa acara ini ialah salah satu acara terkeren yang pernah dia hadiri seumur hidup. itu kata orang, berbeda dengan kekaguman yang dimunculkan oleh diri pribadi.Â
Rasa kagum tersebut mungkin bebentuk euphoria, mirip-mirip seperti ungkapan dibawah ini:
Sejarah itu dapat mengundang rindu,
karena yang dipelajari bukan cuma itu-itu.
Sejarah itu dapat mengundang kekaguman,
karena yang dipelajari bukan cuma satu golongan.
Sejarah itu dapat mengundang Tanya,
Karena yang dipelajari bukan cuma seadanya.
Semangattt....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H