Jikalau memang diingini, Aku bisa menghujanimu dengan ribuan senyuman, aku bisa menghujanimu dengan ribuan kata sayang, aku bisa menghujanimu dengan ribuan nada-nada kerinduan, dan aku bisa saja menghujanimu dengan ribuan rayuan.
Namun itu tak ku lakukan, karena apapun yang berdiam ditataran pikiran, niscaya akan terbaca sendirinya oleh dirimu. Bisa dibilang kamu selangkah lebih maju dalam segalanya, sehingga aku tak malu mengakui: kamu jagonya dalam memahami rasa cinta maupun bicara kerinduan.
Mencoba sejenak melirik masa lalu, tepatnya beberapa bulan ke belakang. Jelas kita buka siapa-siapa. Aku dan kamu, hanya dua orang manusia yang mencoba saling mengenal, mencoba saling mengerti dan mencoba saling melengkapi, walau hanya via suara ponsel pintar. serasa aku mengenal dirimu seperti sedia kala dan tak ada satupun yang berubah, kecuali sedikit kerutan diwajah, yang sejenak menandakan bahwa kamu telah dewasa.
Pada akhirnya, benih-benih keberanian dipupukkan kembali melalui jiwa. Melalui jiwa pula, tenunan masa depan sedikitnya mampu memberikan gambaran akan indahnya dapat menyatukan perbedaan hingga bersatu tuju. Melengkapi apa tak terlengkapi, mengungkap apa yang tak terungkap dan mengenal apa yang belum dikenal. Hingga diripun secara paripurna berani berikrar sehidup semati dengan-mu, Kekasih hati.
Masa-masa indah diawal, setidaknya membawa ingatan menarik tentang bagaimana pipi-mu memerah, tawa-mu yang sering terdengar, wajah-mu yang cantik jelita, hingga rindu-mu yang selalu mampu tercium.
Tak hanya sampai situ, karena melukiskan diri-mu dalam kata-kata secara detail, jelas membutuhkan ketelitian dan tentu saja waktu. Yang oleh karenanya, bisa menjadi kisah cinta yang terus berjalan dari hari ke hari, sehingga kala kita meresapi cerita, cerita tersebut akan terlihat seperti sebuah legenda yang hidup dalam sanubari kita berdua.
Namun, tak elok kala hanya membahas ingatan masa-masa indah. Sebab, itu hanya sebagian kecil dalam hubungan yang terbina. Selebihnya aku dan kamu justru banyak belajar dalam masa-masa sulit. Masa-masa dimana emosi yang mudah meledak-ledak, masa dimana arti memiliki hanya sebatas ucapan, masa dimana niatan melangkah ke jenjang berikutnya, tapi diisi keseriusan dan masa dimana ego nyaris mempengaruhi seisi otak.
Apakah itu salah? Tidak. Sekalipun narasi cinta datang dan pergi sesuka hati menjadi penghias hubungan. Ya biarlah seperti itu, kadang cinta sejati ditandai dengan narasi seperti itu. Selain bagian cinta sejati hadir saat melakukan tatapan dan hati bergetar, tentu saja.
Menariknya, hampir tak ada kata menyerah, semangat mempertahankan hubungan ini rasanya hampir mirip dengan epos Ramayana. Aku sebagai Rama, Kamu sebagai Dewi Sinta, dan Rahwana macam cecunguk kompeni aka pengganggu.
Alkisah Rama dan Dewi Sinta yang telah lama memadu kasih, tiba-tiba harus berhadapan dengan jeda, dikarenakan Dewi Sinta diculik oleh Rahwana dengan niatan ingin mempersunting, lalu dibawah Dewi Sinta menuju istananya di Alengka dan berdiam disana kiranya selama 3 tahun. Saat itu, siapa yang tak gentar dengan Rahwana dengan gelar raja di tiga dunia. Mulai dari para ras manusia, para dewa, hingga makhluk surgawi telah ia taklukkan.
Tapi jangan lupa, aku ini seorang Rama, Raja Ayodya. Seorang yang telah memenangkan hati Dewi Sinta melalui sayembara kerajaan Mantili. Atas dasar hal tersebut, tidaklah gentar hati seorang Rama untuk seraya menyerang, seraya memberi perlawanan, dan seraya ingin memiliki kembali gadis impiannya, hingga kembali lagi mengisi hari-hari Rama.
Kisah itu pula yang menjadi landasan kenapa hati ini begitu kuat kala badai-badai mulai menghantam kisah kita. Diri pun dengan ego seraya berujar "walau 1000 Rahwana menghampiri istirahat siang-mu. Aku takkan gentar. Karena gentar menghadapi tantangan bukanlah sifatku. Aku terlalu kuat jika hanya dirasuki rasa takut. Dan aku siap berperang dengan realitas untuk membawa-mu (kembali) mengisi hari-hari dalam balutan kebersamaan."
Guna merangkum seluruh kisah yang sudah terlalui bersama serta mencoba mengenang kembali titik awal perjumpaan, yang oleh banyak orang disebut sebut dengan rumah. Rumah dimana kita berpulang, rumah dimana kisah-kisah diawali, rumah dimana kita merajut mimpi, dan rumah dimana setiap mimpi selalu ada campur tangan bersama.
Untuk itu, sudah saatnya kita kembali pulang, memulai semuanya kembali dalam balutan semangat Ramadan. Hingga kita bagaikan selembar kertas putih yang siap digoreskan oleh kisah-kisah baru di hari lebaran. Mencoba saling memaafkan akan kesalahan terdahulu, tuk meraih kemenangan bersama.
Sembari berucap, "Dan kita adalah metamorfosa sempurna dari keabadian."
Teruntuk Kamu Sang Dewi Sinta
Sumbawa Besar, 1 Juni 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H