Keberagaman selama Ramadan tak hanya terlihat dari mereka yang berbeda keyakinan ikut larut dalam romantisme bulan penuh berkah, seperti turut berpuasa, berbagi takjil, beramal, berpartisipasi dalam pawai budaya, hingga merayakan hari kemenangan (idul fitri) bersama-sama alias mencoba melebur dalam tradisi maaf-maafan.
Lebih dari itu, karena dalam beberapa tradisi (termasuk Betawi), keberagaman justru muncul dari meja makan saat lebaran atau yang biasa dikenal dengan meja panjang yang tak jarang disebut "meja nyai."Â
Apa yang disajikan diatasnya mulai dari kue kering seperti nastar, kue semprit, kue satu, kue kiju, dodol, serta aneka manisan. Itu baru kue kering, makanan berat juga hadir, dan sering kali berupa semur daging kerbau dan minuman yang berupa teh hangat dan sirup-sirup manis beragam warna penggugah selera.
Tanpa kita sadari, dari barisan nama makanan yang disebutkan, dari situlah nyawa dari keberagaman hadir dalam lebaran. Bahkan JJ Rizal (sejarawan) turut mengungkap, kalau ingin melihat persilangan budaya, maka lihat saja meja makan orang Betawi. Â
Menurutnya "Ramadan itu peristiwa besar, karena orang betawi sering diidentikkan dengan islam. Namun pada saat lebaran tiba, anehnya, hampir tidak ada makanan islam, gak ada makanan Arab, mayoritas makanan dari dunia etnis, ras, kultur, diluar kultur yang ras etnis islam."
Betapa tidak, makanan-makanan itu tak hanya datang dari daratan bumi nusantara saja, tetapi juga turut hadir dari dapur orang Cina, Belanda, dan portugis yang notabene jauh dari unsur islam maupun kebudayaan arab. Apalagi kebudayaan arab sendiri, tak begitu banyak menyumbang makanan diatas meja makan selama lebaran, hal yang terdeksi paling-paling kurma ataupun nasi kebuli.
Oleh karenanya, mari kita ulas satu persama makanan mulai dari kue kering. Misalkan nastar. Kue ini diketahui berasal dari Belanda dengan nama ananastar yang identik dihidangkan saat natal, saat tahun baru Belanda.Â
Ada pula kue Belanda lainnya seperti kaas stengels (kue kiju), dan botersprits yang disesuaikan dengan pelafalan orang betawi menjadi kue semprit. Barisan kue ini lazim terlihat pada saat natal, dan oleh orang Betawi, kue ini diadopsi dan dimodifikasi untuk menjadi kue lebaran mereka.
Pada makanan berat, jelas sudah terlihat nama semur daging kerbau yang hampir mendominasi rumah-rumah orang Betawi saat lebaran. Nama semur itu sendiri berasal dari orang Belanda, dan dari kata Stomerijj. Karena terdengar smoor sehingga dalam proses pelafalannya menjadi semur.Â
Melalui cara masaknya, semur memang murni dari nusantara, namun jauh sebelum islam masuk. Adanya kecap sebagai pelengkap semur, menjadi bukti bahwa cita rasanya dipengaruhi unsur Tionghoa peranakan.
Begitu pula prihal dihidangkannya teh manis hangat kala lebaran, hal itu menjadi bukti diserapnya budaya nge-teh ala negeri tirai bambu, serta adanya sirup-sirup manis beragam rasa yang jelas-jelas itu diadopsi dari tradisi Eropa.
Hal ini membuktikan, sesuai yang diungkap JJ Rizal kepada saya, bahwa "makanan itu tak sekedar maknyus-maknyus-an, ajib-ajib-an, tetapi ada nilai, ada kearifan dalam makanan." Dan dari makanan kita ajarkan nilai-nilai yang lebih dari keberagaman ataupun pluralisme.
Ketika kita bisa berdamai memasukkan unsur luar dari islam kedalam meja makan, lalu kenapa kita bersatu padu dalam memetakan kehidupan? Semangattt...
Kita terngadahkan muka keatas
Ke alam bebas dan lepas
dimana pluralisme bisa hidup
dan anti pluralisme tak menemukan ruangnya
dimana perkawinan pendapat bukan pengkhianatan
dimana pertentangan pendapat bukan pengacauan
dimana pembaharuan sikap bukan kejelekan.
(Sepenggal Sajak dari Ahmad Wahib) Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H