Begitu pula prihal dihidangkannya teh manis hangat kala lebaran, hal itu menjadi bukti diserapnya budaya nge-teh ala negeri tirai bambu, serta adanya sirup-sirup manis beragam rasa yang jelas-jelas itu diadopsi dari tradisi Eropa.
Hal ini membuktikan, sesuai yang diungkap JJ Rizal kepada saya, bahwa "makanan itu tak sekedar maknyus-maknyus-an, ajib-ajib-an, tetapi ada nilai, ada kearifan dalam makanan." Dan dari makanan kita ajarkan nilai-nilai yang lebih dari keberagaman ataupun pluralisme.
Ketika kita bisa berdamai memasukkan unsur luar dari islam kedalam meja makan, lalu kenapa kita bersatu padu dalam memetakan kehidupan? Semangattt...
Kita terngadahkan muka keatas
Ke alam bebas dan lepas
dimana pluralisme bisa hidup
dan anti pluralisme tak menemukan ruangnya
dimana perkawinan pendapat bukan pengkhianatan
dimana pertentangan pendapat bukan pengacauan
dimana pembaharuan sikap bukan kejelekan.
(Sepenggal Sajak dari Ahmad Wahib) Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H