Mohon tunggu...
Detha Arya Tifada
Detha Arya Tifada Mohon Tunggu... Editor - Content Writer

Journalist | Email: dethazyo@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Tersesat di Rimba Informasi Bernama "Matinya Kepakaran"

8 April 2019   23:44 Diperbarui: 9 April 2019   00:15 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Matinya kepakaran/ dethazyo

Kala pertanyaan "mana pendapat orang yang paling didengar dizaman serba cepat seperti sekarang ini?" datang menghampiri. Maka kita akan mendapatkan fakta, bahwa mereka biasanya orang yang memiliki waktu luang, alias tak memiliki kesibukkan berarti selain berkomentar. Mereka yang dengan latar pendidikan tak terlalu tinggi, namun berpendapat bagaikan seorang ahli. Mereka yang memiliki banyak pengikut (baik didunia nyata, maupun dunia maya) yang sering kala memaksakan pemahamannya untuk diamini, dan mereka yang sudah terlanjur terkenal hingga sering kali mengomentari banyak hal, namun dengan tanggapan yang cenderung tak mendalam.

Saya pribadi, jelas tak akan menyebut siapa-siapa saja yang masuk dalam golongan tersebut. Tapi satu hal yang pasti, mereka akan terus eksis dan menebar pemikiran ala cocokologi (asal cocok) hingga kini. Sekalipun, pendapatnya sering kali menyesatkan banyak orang, termasuk didalamnya orang-orang yang memiliki pendidikan tinggi.

Efeknya, masyarakat yang sehari-hari menggali informasi melalui perangkat ponsel pintar, rasanya dijebak dengan opini membingungkan bin menimbulkan Tanya: mana yang seharusnya diikuti, opini dari seorang awam atau opini dari seorang ahli? Karena sekarang, keduanya hampir samar dan sulit dibedakan, bagaikan membedakan antara Via Vallen dan Nella Kharisma (umpamanya). Hahahhaa.._

Atau boleh jadi, kita saat ini berada dalam tingkat egoisme yang parah, serupa dengan pendapat dari Albert Camus, yang mengungkap "usia dua puluh lima tahun, usia ketika seseorang meragukan segala sesuatu kecuali dirinya sendiri." Tentu, ini bukan cuma keresahan diri pribadi, karena Tom Nichols turut serta menyampaikan keresahannya terkaitnya matinya kepakaran para ahli dalam buku berjudul "The Death of Expertise" atau yang dalam bahasa Indonesia berarti matinya kepakaran.

Tom Nichols secara gamblang mengungkap fenomena dimana banyak orang menggunakan ketidaktahuan sebagai senjata yang justru mengaburkan opini dari pada ahli. Hal ini terjabar jelas olehnya dengan mengatakan bahwa "belum pernah begitu banyak orang memiliki begitu banyak akses ke begitu banyak pengetahuan tetapi sangat enggan untuk mempelajari." (hlm 3)

Benar saja, generasi sekarang rasanya begitu percaya dengan pesan berantai yang hanya tersebar via chat grup WhatsApp (WA), dibanding sedikit mengambil waktu jeda, guna mempelajari masalah yang diulas serta mencari tahu kebenaran akan informasi. 

Sangking mudahnya memanfaatkan teknologi, pesan yang semula berdiam dalam satu chat grup, langsung diteruskan ke ragam chat grup berikutnya dengan segenap kepercayaan diri, suatu sikap yang sungguh kurang bijak, karena percaya akan ketidaktahuan.

Itu baru dari chat grup WA saja, belum lagi pendapat publik figur yang menjadikan jejaring berbagi video, seperti Youtube untuk bersuara akan banyak hal, sekalipun mereka tak pernah mendengar atau lebih paham akan isu yang dibicarakan. Asal trending dan viral, maka suatu masalah wajib diberikan komentar dengan iming-iming yang cukup mengganggu "biarkan masyarakat yang menilai?."

Padahal, disatu sisi mereka dengan mudahnya berpihak tanpa netralitas, namun meminta masyarakat untuk menilai. Sungguh ajaib, bukan?

Jika kita sadari, media sosial, situs web, dan ruang obrolan mampu mengubah mitos, cerita simpang siur, dan rumor menjadi "fakta." Bahkan cenderung tak bisa membedakan mana yang murni Jurnalisme, dan mana yang hanya corat-coret di blog pribadi semata.

Terkait problema seperti itu, saya langsung setuju dengan Tom Nichols, yang menjabarkan "di internet, sayangnya sama seperti di kehidupan nyata, uang dan popularitas sangatlah penting." Namun, tambahnya "Internet tidak cukup membantu bagi pelajar atau orang awam tak telatih, yang belum pernah diajar cara menilai sumber informasi atau reputasi seorang penulis." (hlm 133)

Semua itu tentu ada sebab musababanya, apalagi kalau bukan tempat yang kita agung-agungkan sebagai wadah kita menimbah ilmu, yaitu ruang sekolah atau ruang perkuliahan. Wujud pendidikan kita sungguh jauh dari kata mencerdaskan. 

Fakta itu turut diungkap Tom Nichols dengan berucap "kampus bukanlah tempat untuk penjelajahan intelektual. Kampus adalah rumah mewah, yang disewa selama empat tahun sampai enam tahun, Sembilan bulan setiap tahun, oleh anak-anak golongan atas yang boleh berteriak kepada dosen, seolah-olah mereka memarami pelayan yang ceroboh di sebuah rumah kolonial." (hlm 122)

Hal inilah yang disinyalir menjadi penyebab setahun belakangan sempat ada sindiran keras dari mahasiswa salah satu kampus terkenal tanah air melalui medium poster, mencoba mengkritik pendidikan kekinian dengan narasi "kuliah rasa pabrik."

Maka jelas, kala perguruan tinggi sudah menjadi sebuah bisnis, otomatis stigma "pelanggan adalah raja yang mendominasi." Oleh karenanya, bijaklah dalam membedakan mana yang ahli dan mana yang awam dalam mengumpulkan informasi.

Pada penutup, saya ingin berterima kasih kepada penulis (Tom Nichols) yang telah mewakili diri pribadi menyuarakan fenomena polusi informasi rawan hoax yang terjadi belakangan ini. Ingat, bijaklah berselancar di internet dan segera tanamkan, bahwa internet hanya sebuah wadah, bukan wasit. Terima kasih...

Detail

Judul Buku : Matinya Kepakaran
Penulis : Tom Nichols
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun Terbit : Desember 2018
Jumlah Halaman : 320

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun